Puasa dalam Tradisi Salaf
Oleh Rozihan

SITI Maryam ibunda Nabi Isa Al Masih adalah wanita salihah dan terpuji di mata 
Tuhan. Ketika dia hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian 
lama dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, "Hai saudara Harun, ayahmu 
bukanlah orang yang jahat dan ibumu bukanlah seorang pezina. Maka Maryam 
menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara kepada 
anak kecil yang masih dalam ayunan?"

Fragmen Siti Maryam ini terekam dengan indah dalam Alquran surat Maryam Ayat 28 
dan 29.

Mengapa Siti Maryam yang dituduh berbuat mesum itu justru dimuliakan oleh Allah 
? 

Allah
 memerintahkan Siti Maryam untuk
 puasa bicara. Ia disuruh tidak menanggapi tuduhan dari masyarakat yang macam 
macam itu. Maryam hanya menjawab,
 "Sesungguhnya aku telah bernazar
 berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara kepada 
seorang manusia pun pada hari ini. Maryam telah berjanji kepada Allah untuk 
puasa bicara.''

Puasa bicara yang dilakukan oleh Maryam ternyata mampu mendengarkan suara bayi 
yang dikandungnya. Ketika Maryam dihujat habis habisan oleh orang orang waktu 
itu, bayi yang dibawanya menjawab, "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan 
kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku 
dibangkitkan hidup kembali.''( QS Maryam : 33 ).

Berbeda dari Nabi Zakaria as. Jika Siti Maryam puasa bicara dari hujatan, Nabi 
Zakaria. diperintahkan Tuhan untuk berpuasa bicara justru ketika menerima 
nikmat sebagai rasa syukur kepada Nya (QSMaryam : 10 ), karena menerima 
anugerah dari Allah dengan kehadiran seorang putra ketika usia telah senja. 

Seorang anak bernama Yahya yang berhati lembut dan suci serta cerdas dan arif, 
bertakwa kepada Allah, berkhidmat
 kepada orang tua dan nilai nilai terpuji lainnya adalah produk puasa bicara 
Zakaria as ketika istrinya mengandung.

Puasa bicara yang dilakukan oleh Nabi Zakaria as lebih merupakan ungkapan 
syukur yang dicermikan dengan menghindari kebisingan dunia materi dengan 
menempuh jalan hidup suasana keilahian, bersyukur dan bertasbih kepada-Nya.

Demikian pula puasa bicara yang diilhamkan oleh Allah kepada Maryam, karena 
Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesuciannya melalui ucapan bayi 
yang dilahirkannya itu. 

Pesan aplikatifnya, jika kita berdiskusi dengan orang yang hanya bermaksud 
mencari kesalahan atau yang tidak jernih pemikiran dan hatinya, dalam konteks 
ini Rasullah Muhammad bersabda " Meninggalkan sesuatu yang muspra merupakan 
kesempurnaan seorang muslim" (min husnil islaamil mar'i tarkuhu maa laa ya'nih).

Tradisi Salaf

Dalam tradisi salaf (orang orang terdahulu ), puasa bicara atau lebih
 banyak diam ini
 dikenal sebagai sebuah ritus atau ibadah, termasuk oleh masyarakat jahiliah. 

Sisa ritual itu sampai saat ini masih kelihatan bekasnya dalam bentuk 
mengheningkan cipta. Rasulullah Muhammad melarang puasa diam. Maka 
mengheningkan cipta bagi kaum muslimin Indonesia tidak boleh dipandang sebagai 
ibadah, tetapi lebih diapresiasi sebagai rangkaian kegiatan untuk mendoakan 
arwah para syuhada agar memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya.

Memaknai puasa bicara dalam tradisi salaf pada era global berarti meninggalkan 
pembicaraan yang tidak bermanfaat. Kesejatian seorang mukmin diukur ketika 
berbicara itu memberi manfaat atau tidak. 

Pesan nabi tentang produktivitas bicara itu terekam dalam sebuah hadits, ''Al 
muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi" (seorang muslim yang baik 
adalah ketika berbicara dan bertindak selalu memberikan kesejahteraan bagi 
orang lain).

Jika puasa bicara Maryam dan Zakaria berbekas pada diri
 seorang bayi yang suci, maka pembicaraan yang produktif, efektif dan cerdas 
nilainya sama dengan puasa bicara yang dilakukan oleh orang orang saleh yang 
diajarkan dalam Alquran.

Aktivitas membaca dan berpikir serta menulis yang dapat membangun masyarakat 
luas sebagai sebuah karya monumental, dan merupakan ibadah sosial telah 
mengambil alih puasa bicara tradisi salaf pada era modern. 

Demikian pula dengan kerja keras sebagai aktivitas fisik, yang dalam filsafat 
jawa disebut dengan ungkapan rame ing gawe sepi ing pamrih. 

Semua yang disebut di atas merupakan implementasi puasa dalam tradisi salaf. 
Melakukan puasa seperti dilakukan orang saleh terdahulu itu dapat berlangsung 
kapan saja dan tidak terbatas pada bulan Ramadan. 

Tetapi, puasa Ramadan tetap menjadi bulan evaluasi dari keseluruhan kehidupan 
kita. Terlalu banyak kredit kita kepada Allah yang belum terbayarkan. 
Membebaskan yang tertindas selalu menjadi topik aktual
 dalam pembahasan, tetapi masih jauh dalam kenyataan. 

Simbol perjalanan politik Nabi Muhammad ketika mi'raj, beliau melihat seorang 
yang dipotong-potong lidahnya adalah isyarat pentingnya bahasa perbuatan 
ketimbang bahasa lisan. 

Ungkapan ini lebih dikenal dalam adagium orang arab sebagai lisanul hal afsah 
min lisanil maqal.

Istilah amal saleh adalah bahasa perbuatan. Dan sudah selayaknya Allah hanya 
memberi ampunan sebagai pahala terbesar bagi mereka yang beriman dan beramal 
saleh. 

Demikian janji Allah dalam akhir surat Alfath. Masih banyak item amal saleh 
yang ditawarkan. Mari kita perebutkan. Wallahua'lam.

-- Drs Rozihan, SH, MAg, dosen FAI Unissula Semarang, wakil ketua PW 
Muhammadiyah Jawa Tengah, wakil ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah.

*) Dikutip dari Harian Umum Suara Merdeka
Perekat Komunitas Jawa Tengah
Sabtu, 15 September
 2007

[ Diteruskan dari Bapak Abdul Rosyid ]


PH PRO
Indonesia


      Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger. Tambahkan mereka dari 
email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke