[blogger_makassar] [Renungan] Jintu Memilih Sendiri

2010-07-06 Thread deNun
Jintu Memilih Sendiri

Pagi ini, enam Juli dua ribu sepuluh, bersama Intan dan Donnie, kami baru
saja pulang dari pusat instalasi penjernihan air Somba Opu, poros Jalan
Malino, Sungguminasa. Mereka sempat foto-foto di depan area PDAM namun
mereka akhirnya kecewa saat hendak minta izin dipotret di dekat air mancur
kompleks. Satpam melarangnya dengan alasan mesti ada izin dari pimpinan.

Jarum waktu 07.30 di kompleks perumahan kami. Saat mengarah ke rumah,
seorang wanita mengenakan rok merah hati kusam dan baju ungu sedang duduk
santai di pos ronda, selebar dua meter dengan tangga beranak tunggal di
sebelah kiri jalan. Di samping kirinya terdapat kotak plastik berisi kue.

Awalnya, saya ingin memotretnya tapi kemudian urung. Saya mendekat. Saya
kira, mengobrol langsung lebih asik dibanding memotretnya. Wanita tua dengan
tutup kepala khas umumnya wanita itu sedang memilah uang receh dan kertas.
Uang putih dan perak. Dia duduk dengan kaki kiri dilipat di atas paha. Kedua
jemarinya sibuk menggeser jenis uang. Sangat santai.

“Pas lima puluh ribu rupiah,” Katanya saat saya tanyakan berapa uang hasil
jualannya hari ini.

***

Sudah lima tahun ini Jintu (atau Daeng Jintu) mondar mandir antara kompleks
perumahan Nusa Tamarunang, Somba Opu Gowa dengan rumahnya di Jalan Matahari,
Kallongtala. Dia tinggal di belakang rumah sakit terbesar di Kabupaten Gowa
itu.

“Bukan rumah yang layak karena saya menumpang di sela rumah dan pagar orang
lain,” Aku Jintu. Sejak ditinggal mati suaminya yang didera sakit paru-paru
Jintu lebih memilih tinggal sendiri. “Saya tinggal di rumah reot tapi ya,
begitulah,” sambungnya.

“Saya punya empat anak dengan 16 cucu, eh ada juga enam cucu buyutku (cucu *
kulantu*, bahasa Makassar),” Terangnya. Keempat anaknya tinggal di kabupaten
di selatan Makassar. Suaminya orang Bugis. Jintu lahir dan besar di Kampung
Samata, Gowa. Dia mengaku berumur 75 tahun dan asli Makassar. Salah satu
alasannya tinggal sendiri karena dia mau berusaha sendiri.

”Saya mau berusaha sendiri, meski harus menumpang tinggal di pekarangan
orang. Rumah yang sebenarnya tak layak. Saya ingin berusaha sendiri,”
Tegasnya. Di usia yang mulai renta, wajah Jintu masih kencang. Hanya di
sekitar daerah matanya yang berkerut. Pipi dan dagunya masih licin.

“Saya suka jalan kaki sejak tinggal di Samata. Sejak puluhan tahun lalu,”
Ungkapnya.

“Hari ini saya dapat pas lima puluh ribu rupiah,” Ungkap Jintu. Dia akan
dapat uang sepuluh ribu rupiah karena dari perjanjiannya dengan penjual kue
dia dapat mengutip dua ratus lima puluh dari harga kue Rp.500,- yang dipatok
pembuatnya.

“Kue ini dibikin oleh kakak-beradik. Dia mahasiswa di *IKIT*, (maksudnya
IKIP – kini UNM),” Terangnya tentang pembuat kue yang dia jajakan.

Hari dia menikmati jerih payahnya setelah menempuh jalan kaki dari rumahnya
ke kompleks kami. Jaraknya sekitar empat kilometer atau delapan kilometer
setiap pagi. Hari ini dia tinggalkan rumahnya setelah shalat shubuh. Dia
mulai menjajakan kue sepanjang jalan menuju kompleks kami.

Pagi ini, setelah memisahkan uang kertas dan koin, kini dia bersiap untuk
jalan lagi.

“E..eee.dona’…putu…, dadarak…” Teriaknya. Masih ada lima kue *putu,
dadar enam gulung dan donat. *Juga sekantung beras dalam plastik putih.
Beras yang diberikan cuma-cuma oleh pelanggannya.

Jintu yang semampai ini, dengan kaki telanjang berbelok ke arah barat
kompleks perumahan kami. Sepertinya, Jintu percaya, di usia rentanya ini,
rezeki dan masa depan memang harus dijajal.

Makassar 06072010

-- 
_
www.denung.wordpress.com
www.denun.net


Re: [blogger_makassar] [Renungan] Jintu Memilih Sendiri

2010-07-06 Thread Ipul
mantap daeng tulisanta'..
makin hari saya makin bisa mengenali karakter khas dan kuat milik DeNun..
:)

one of my favorite writer..

2010/7/6 deNun 

>
>
> Jintu Memilih Sendiri
>
> Pagi ini, enam Juli dua ribu sepuluh, bersama Intan dan Donnie, kami baru
> saja pulang dari pusat instalasi penjernihan air Somba Opu, poros Jalan
> Malino, Sungguminasa. Mereka sempat foto-foto di depan area PDAM namun
> mereka akhirnya kecewa saat hendak minta izin dipotret di dekat air mancur
> kompleks. Satpam melarangnya dengan alasan mesti ada izin dari pimpinan.
>
> Jarum waktu 07.30 di kompleks perumahan kami. Saat mengarah ke rumah,
> seorang wanita mengenakan rok merah hati kusam dan baju ungu sedang duduk
> santai di pos ronda, selebar dua meter dengan tangga beranak tunggal di
> sebelah kiri jalan. Di samping kirinya terdapat kotak plastik berisi kue.
>
> Awalnya, saya ingin memotretnya tapi kemudian urung. Saya mendekat. Saya
> kira, mengobrol langsung lebih asik dibanding memotretnya. Wanita tua dengan
> tutup kepala khas umumnya wanita itu sedang memilah uang receh dan kertas.
> Uang putih dan perak. Dia duduk dengan kaki kiri dilipat di atas paha. Kedua
> jemarinya sibuk menggeser jenis uang. Sangat santai.
>
> “Pas lima puluh ribu rupiah,” Katanya saat saya tanyakan berapa uang hasil
> jualannya hari ini.
>
> ***
>
> Sudah lima tahun ini Jintu (atau Daeng Jintu) mondar mandir antara kompleks
> perumahan Nusa Tamarunang, Somba Opu Gowa dengan rumahnya di Jalan Matahari,
> Kallongtala. Dia tinggal di belakang rumah sakit terbesar di Kabupaten Gowa
> itu.
>
> “Bukan rumah yang layak karena saya menumpang di sela rumah dan pagar orang
> lain,” Aku Jintu. Sejak ditinggal mati suaminya yang didera sakit paru-paru
> Jintu lebih memilih tinggal sendiri. “Saya tinggal di rumah reot tapi ya,
> begitulah,” sambungnya.
>
> “Saya punya empat anak dengan 16 cucu, eh ada juga enam cucu buyutku (cucu
> *kulantu*, bahasa Makassar),” Terangnya. Keempat anaknya tinggal di
> kabupaten di selatan Makassar. Suaminya orang Bugis. Jintu lahir dan besar
> di Kampung Samata, Gowa. Dia mengaku berumur 75 tahun dan asli Makassar.
> Salah satu alasannya tinggal sendiri karena dia mau berusaha sendiri.
>
> ”Saya mau berusaha sendiri, meski harus menumpang tinggal di pekarangan
> orang. Rumah yang sebenarnya tak layak. Saya ingin berusaha sendiri,”
> Tegasnya. Di usia yang mulai renta, wajah Jintu masih kencang. Hanya di
> sekitar daerah matanya yang berkerut. Pipi dan dagunya masih licin.
>
> “Saya suka jalan kaki sejak tinggal di Samata. Sejak puluhan tahun lalu,”
> Ungkapnya.
>
> “Hari ini saya dapat pas lima puluh ribu rupiah,” Ungkap Jintu. Dia akan
> dapat uang sepuluh ribu rupiah karena dari perjanjiannya dengan penjual kue
> dia dapat mengutip dua ratus lima puluh dari harga kue Rp.500,- yang dipatok
> pembuatnya.
>
> “Kue ini dibikin oleh kakak-beradik. Dia mahasiswa di *IKIT*, (maksudnya
> IKIP – kini UNM),” Terangnya tentang pembuat kue yang dia jajakan.
>
> Hari dia menikmati jerih payahnya setelah menempuh jalan kaki dari rumahnya
> ke kompleks kami. Jaraknya sekitar empat kilometer atau delapan kilometer
> setiap pagi. Hari ini dia tinggalkan rumahnya setelah shalat shubuh. Dia
> mulai menjajakan kue sepanjang jalan menuju kompleks kami.
>
> Pagi ini, setelah memisahkan uang kertas dan koin, kini dia bersiap untuk
> jalan lagi.
>
> “E..eee.dona’…putu…, dadarak…” Teriaknya. Masih ada lima kue *putu,
> dadar enam gulung dan donat. *Juga sekantung beras dalam plastik putih.
> Beras yang diberikan cuma-cuma oleh pelanggannya.
>
> Jintu yang semampai ini, dengan kaki telanjang berbelok ke arah barat
> kompleks perumahan kami. Sepertinya, Jintu percaya, di usia rentanya ini,
> rezeki dan masa depan memang harus dijajal.
>
> Makassar 06072010
>
> --
> _
> www.denung.wordpress.com
> www.denun.net
>
>  
>



-- 
Salam,

Ipul
Pokoknya Pearl Jam, Titik ! ™
http://daenggassing.com
http://bukitbaruga.wordpress.com/