Re: [blogger_makassar] Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN

2010-05-11 Terurut Topik haerulsohibkamu
Salut, sepertinya ini bisa jadi acuan untuk daerah2 lainnya. *apa bisa ngak
ya?, dengan kondisi alam setiap daerah berbeda, belum lagi karakter tiap
daerah juga punya perbedaan walau persamaannya banyak, hehehe*

PISS

Pada 11 Mei 2010 12:55, deNun daeng.c...@gmail.com menulis:



 yang menarik dari Batang Uru, karena disain dan konstruksi turbin
 dihasilkan di sana
 yang jadi karyawan hanya tamanan SD, yang mandori, alumni meknisasi
 pertanian unhas...
 :)

 2010/5/11 haerulsohibkamu haerulso...@gmail.com



 mantap, kira-kira ada lagi ngak desa yang seperti itu?, khususnya di
 sulsel?

 Pada 11 Mei 2010 07:06, deNun daeng.c...@gmail.com menulis:



 *Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN*

 Beberapa orang sibuk mengatur letak CPU dan monitor komputer. Ada yang
 memegang kabel, ada pula memeriksa colokan. Mereka serius, Mereka
 bersemangat. Penonton yang memenuhi ruangan berukuran tidak lebih delapan x
 delapan meter itu juga tak kalah seriusnya.

 Lalu, kamera menyorot wajah seorang dari para pria yang sibuk memasang
 komputer tersebut. Komputer telah terinstal, wajah pria ini sumringah. Tapi,
 pria ini dengan polos berujar,”Yang mana yang ditekan,?” dengan aksen
 Toraja. Penonton tergelak. Suasana jadi riuh.

 ***

 Adegan pertama di film berjudul “Cahaya Air Dari Batang Uru” ini
 mengisahkan manfaat sejak berjalannya pembangkit listrik mini tenaga hidro
 yang dirintis oleh Ir.Linggi dan warga desa setempat. Linggi adalah alumni
 jurusan Mekanisasi Pertanian Unhas yang bertanggungjawab di balik inisiatif
 murni swadaya warga tersebut.  Wajah Linggi dan suaranya yang dominan dalam
 film itu.

 Tanggal 10 Mei 2010, sejak pukul 16.30 puluhan orang yang hadir di ruang
 utama kantor Yayasan Bakti di jalan Dr. Soetomo menikmati alur cerita dari
 film berdurasi tiga puluh menit tersebut. Mereka datang dari berbagai
 kalangan seperti mahasiswa, staf proyek donor, wartawan, pegiat LSM, Bappeda
 Propinsi, Penanaman Modal, bahkan staf Perusahaan Listrik Nasional. Mereka
 antusias mengikuti pemutaran film istimewa yang dibesut oleh Rumah Ide asal
 Makassar.

 Yang lebih istimewa karena Ir. Linggi, pria berperawakan sedang dan
 sederhana , warga Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat itu hadir di
 tengah para penoton. Setelah pemutaran film, dialog pun digelar. Linggi yang
 juga terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mamasa karena prestasinya ini
 terlihat cekatan menyampaikan pengalaman kerjanya.

 Dari cerita film tergambar bagaimana warga memanfaatkan aliran sungai
 sebagai sumber energi listrik. Tugas Linggi mendisain dan menyiapkan mesin
 pembangkit yang dapat mengubah energi dari alam tersebut. Material dan
 tenaga murni swadaya Linggi dan beberapa warga desa. Lampu menyala, rumah
 warga terang benderang. Kegiatan ekonomi juga berjalan. Warga dapat membuka
 usaha meubel, menikmati masakan dari rice cooker, dan tentu saja anak-anak
 dapat belajar pada malam hari dengan cahaya melimpah.

 “Kami over tenaga listrik,” Kata Linggi kalem.

 Rupanya, Linggi mempunyai kelebihan tersendiri dan cita-cita mulia. Dia
 mengelola pengetahuan dan keterampilannya untuk memproduksi  mesin
 pembangkit mikro hidro. Bersama dia, kini bekerja 20an karyawan lulusan SD
 asal kampung tersebut. Dia merintis jaringan kerjasama dengan perusahaan di
 Bandung yang juga memiliki fokus kerjaan yang sama.

 “Di Batang Uru, saya tidak mempekerjakan lulusan SMA karena mereka
  potensial menjadi pegawai pemerintah. Saya memberi kesempatan kepada yang
 hanya tamat SD,” kata Linggi diplomatis.

 Dari satu bagian film yang diputar terlihat bagaimana Linggi memimpin
 pertemuan antar warga membahas instalasi, pengaturan dan rincian pembiayaan
 dan pembayaran bagi setiap pemakai. “Kami kini menggaji karyawan setiap
 bulan dengan total gaji 20an juta,” Katanya bangga. Darinya puluhan mesin
 pembangkit hidro telah didistribusi ke beberapa wilayah lainnya di Sulawesi.
 “Biaya pembuatan satu unit pembangkit tidak sampai Rp.50 Juta. Ini di luar
 biaya instalasi dan kebutuhan lainnya”. Dari usaha inilah Linggi memberikan
 nilai ekonomi kepada kampung halamannya.

 Linggi memanfaatkan sarana ibadah gereja sebagai forum diskusi, membangun
 kesepakatan dengan warga.  Linggi terlihat optimis dengan apa yang telah
 dilakukannya. Warga menikmati limpahan energi listrik dari pemangkit dan dia
 mengembangkan usaha perakitan pembangit listrik tenaga hidro.

 Biaya operasional listrik warga ini telah berjalan langgeng tanpa kendala
 pembiayaan. Jika pada proyek bantuan listrik di beberapa desa terpencil
 gagal karena warga tidak membiayai biaya operasional maka pengelola listrik
 di Batang Uru telah surplus pemasukan. Linggi layak diganjar sebagai
 inovator pembangunan desa mandiri energi. Cahaya mengalir dari Batang Uru di
 atas jerih payah mereka.

 Kreasi Linggi dan cahaya yang mengalir dari air sungai Batang Uru muncul
 karena solidaritas dan kerjasama antar warga. Sekaligus menjadi bukti bahwa
 perpaduan keahlian, keterampilan dan sumberdaya 

[blogger_makassar] Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN

2010-05-10 Terurut Topik deNun
*Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN*

Beberapa orang sibuk mengatur letak CPU dan monitor komputer. Ada yang
memegang kabel, ada pula memeriksa colokan. Mereka serius, Mereka
bersemangat. Penonton yang memenuhi ruangan berukuran tidak lebih delapan x
delapan meter itu juga tak kalah seriusnya.

Lalu, kamera menyorot wajah seorang dari para pria yang sibuk memasang
komputer tersebut. Komputer telah terinstal, wajah pria ini sumringah. Tapi,
pria ini dengan polos berujar,”Yang mana yang ditekan,?” dengan aksen
Toraja. Penonton tergelak. Suasana jadi riuh.

***

Adegan pertama di film berjudul “Cahaya Air Dari Batang Uru” ini mengisahkan
manfaat sejak berjalannya pembangkit listrik mini tenaga hidro yang dirintis
oleh Ir.Linggi dan warga desa setempat. Linggi adalah alumni jurusan
Mekanisasi Pertanian Unhas yang bertanggungjawab di balik inisiatif murni
swadaya warga tersebut.  Wajah Linggi dan suaranya yang dominan dalam film
itu.

Tanggal 10 Mei 2010, sejak pukul 16.30 puluhan orang yang hadir di ruang
utama kantor Yayasan Bakti di jalan Dr. Soetomo menikmati alur cerita dari
film berdurasi tiga puluh menit tersebut. Mereka datang dari berbagai
kalangan seperti mahasiswa, staf proyek donor, wartawan, pegiat LSM, Bappeda
Propinsi, Penanaman Modal, bahkan staf Perusahaan Listrik Nasional. Mereka
antusias mengikuti pemutaran film istimewa yang dibesut oleh Rumah Ide asal
Makassar.

Yang lebih istimewa karena Ir. Linggi, pria berperawakan sedang dan
sederhana , warga Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat itu hadir di
tengah para penoton. Setelah pemutaran film, dialog pun digelar. Linggi yang
juga terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mamasa karena prestasinya ini
terlihat cekatan menyampaikan pengalaman kerjanya.

Dari cerita film tergambar bagaimana warga memanfaatkan aliran sungai
sebagai sumber energi listrik. Tugas Linggi mendisain dan menyiapkan mesin
pembangkit yang dapat mengubah energi dari alam tersebut. Material dan
tenaga murni swadaya Linggi dan beberapa warga desa. Lampu menyala, rumah
warga terang benderang. Kegiatan ekonomi juga berjalan. Warga dapat membuka
usaha meubel, menikmati masakan dari rice cooker, dan tentu saja anak-anak
dapat belajar pada malam hari dengan cahaya melimpah.

“Kami over tenaga listrik,” Kata Linggi kalem.

Rupanya, Linggi mempunyai kelebihan tersendiri dan cita-cita mulia. Dia
mengelola pengetahuan dan keterampilannya untuk memproduksi  mesin
pembangkit mikro hidro. Bersama dia, kini bekerja 20an karyawan lulusan SD
asal kampung tersebut. Dia merintis jaringan kerjasama dengan perusahaan di
Bandung yang juga memiliki fokus kerjaan yang sama.

“Di Batang Uru, saya tidak mempekerjakan lulusan SMA karena mereka
 potensial menjadi pegawai pemerintah. Saya memberi kesempatan kepada yang
hanya tamat SD,” kata Linggi diplomatis.

Dari satu bagian film yang diputar terlihat bagaimana Linggi memimpin
pertemuan antar warga membahas instalasi, pengaturan dan rincian pembiayaan
dan pembayaran bagi setiap pemakai. “Kami kini menggaji karyawan setiap
bulan dengan total gaji 20an juta,” Katanya bangga. Darinya puluhan mesin
pembangkit hidro telah didistribusi ke beberapa wilayah lainnya di Sulawesi.
“Biaya pembuatan satu unit pembangkit tidak sampai Rp.50 Juta. Ini di luar
biaya instalasi dan kebutuhan lainnya”. Dari usaha inilah Linggi memberikan
nilai ekonomi kepada kampung halamannya.

Linggi memanfaatkan sarana ibadah gereja sebagai forum diskusi, membangun
kesepakatan dengan warga.  Linggi terlihat optimis dengan apa yang telah
dilakukannya. Warga menikmati limpahan energi listrik dari pemangkit dan dia
mengembangkan usaha perakitan pembangit listrik tenaga hidro.

Biaya operasional listrik warga ini telah berjalan langgeng tanpa kendala
pembiayaan. Jika pada proyek bantuan listrik di beberapa desa terpencil
gagal karena warga tidak membiayai biaya operasional maka pengelola listrik
di Batang Uru telah surplus pemasukan. Linggi layak diganjar sebagai
inovator pembangunan desa mandiri energi. Cahaya mengalir dari Batang Uru di
atas jerih payah mereka.

Kreasi Linggi dan cahaya yang mengalir dari air sungai Batang Uru muncul
karena solidaritas dan kerjasama antar warga. Sekaligus menjadi bukti bahwa
perpaduan keahlian, keterampilan dan sumberdaya alam yang tersedia adalah
kombinasi yang apik dan dapat melanggengkan kehidupan warga, bahkan menuju
kegemilangan generasi.

Di Batang Uru, desa penerima gelar desa mandiri energi  tahun 2008 dalam
ihwal kelistrikan, fungsi pelayanan negara menjadi pengecualian karena
mereka dapat memenuhi kebutuhan energinya dengan leluasa. Betul sekali,
sebagaimana pesan ending film itu yang dengan angkuh mengakui kelebihannya
dari PLN yang kelimpungan karena krisis listrik. Menurut cerita Linggi dari
kreasi ini, desa mampu menghasilkan listrik hingga 50 kilowatt. Besaran
listrik yang dihasilkannya tergantung debit dan elevasi aliran air sungai.
Seperti terlihat dari film itu, warga desa sedang menyiapkan fasilitas
turbin untuk 

Re: [blogger_makassar] Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN

2010-05-10 Terurut Topik haerulsohibkamu
mantap, kira-kira ada lagi ngak desa yang seperti itu?, khususnya di sulsel?

Pada 11 Mei 2010 07:06, deNun daeng.c...@gmail.com menulis:



 *Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN*

 Beberapa orang sibuk mengatur letak CPU dan monitor komputer. Ada yang
 memegang kabel, ada pula memeriksa colokan. Mereka serius, Mereka
 bersemangat. Penonton yang memenuhi ruangan berukuran tidak lebih delapan x
 delapan meter itu juga tak kalah seriusnya.

 Lalu, kamera menyorot wajah seorang dari para pria yang sibuk memasang
 komputer tersebut. Komputer telah terinstal, wajah pria ini sumringah. Tapi,
 pria ini dengan polos berujar,”Yang mana yang ditekan,?” dengan aksen
 Toraja. Penonton tergelak. Suasana jadi riuh.

 ***

 Adegan pertama di film berjudul “Cahaya Air Dari Batang Uru” ini
 mengisahkan manfaat sejak berjalannya pembangkit listrik mini tenaga hidro
 yang dirintis oleh Ir.Linggi dan warga desa setempat. Linggi adalah alumni
 jurusan Mekanisasi Pertanian Unhas yang bertanggungjawab di balik inisiatif
 murni swadaya warga tersebut.  Wajah Linggi dan suaranya yang dominan dalam
 film itu.

 Tanggal 10 Mei 2010, sejak pukul 16.30 puluhan orang yang hadir di ruang
 utama kantor Yayasan Bakti di jalan Dr. Soetomo menikmati alur cerita dari
 film berdurasi tiga puluh menit tersebut. Mereka datang dari berbagai
 kalangan seperti mahasiswa, staf proyek donor, wartawan, pegiat LSM, Bappeda
 Propinsi, Penanaman Modal, bahkan staf Perusahaan Listrik Nasional. Mereka
 antusias mengikuti pemutaran film istimewa yang dibesut oleh Rumah Ide asal
 Makassar.

 Yang lebih istimewa karena Ir. Linggi, pria berperawakan sedang dan
 sederhana , warga Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat itu hadir di
 tengah para penoton. Setelah pemutaran film, dialog pun digelar. Linggi yang
 juga terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mamasa karena prestasinya ini
 terlihat cekatan menyampaikan pengalaman kerjanya.

 Dari cerita film tergambar bagaimana warga memanfaatkan aliran sungai
 sebagai sumber energi listrik. Tugas Linggi mendisain dan menyiapkan mesin
 pembangkit yang dapat mengubah energi dari alam tersebut. Material dan
 tenaga murni swadaya Linggi dan beberapa warga desa. Lampu menyala, rumah
 warga terang benderang. Kegiatan ekonomi juga berjalan. Warga dapat membuka
 usaha meubel, menikmati masakan dari rice cooker, dan tentu saja anak-anak
 dapat belajar pada malam hari dengan cahaya melimpah.

 “Kami over tenaga listrik,” Kata Linggi kalem.

 Rupanya, Linggi mempunyai kelebihan tersendiri dan cita-cita mulia. Dia
 mengelola pengetahuan dan keterampilannya untuk memproduksi  mesin
 pembangkit mikro hidro. Bersama dia, kini bekerja 20an karyawan lulusan SD
 asal kampung tersebut. Dia merintis jaringan kerjasama dengan perusahaan di
 Bandung yang juga memiliki fokus kerjaan yang sama.

 “Di Batang Uru, saya tidak mempekerjakan lulusan SMA karena mereka
  potensial menjadi pegawai pemerintah. Saya memberi kesempatan kepada yang
 hanya tamat SD,” kata Linggi diplomatis.

 Dari satu bagian film yang diputar terlihat bagaimana Linggi memimpin
 pertemuan antar warga membahas instalasi, pengaturan dan rincian pembiayaan
 dan pembayaran bagi setiap pemakai. “Kami kini menggaji karyawan setiap
 bulan dengan total gaji 20an juta,” Katanya bangga. Darinya puluhan mesin
 pembangkit hidro telah didistribusi ke beberapa wilayah lainnya di Sulawesi.
 “Biaya pembuatan satu unit pembangkit tidak sampai Rp.50 Juta. Ini di luar
 biaya instalasi dan kebutuhan lainnya”. Dari usaha inilah Linggi memberikan
 nilai ekonomi kepada kampung halamannya.

 Linggi memanfaatkan sarana ibadah gereja sebagai forum diskusi, membangun
 kesepakatan dengan warga.  Linggi terlihat optimis dengan apa yang telah
 dilakukannya. Warga menikmati limpahan energi listrik dari pemangkit dan dia
 mengembangkan usaha perakitan pembangit listrik tenaga hidro.

 Biaya operasional listrik warga ini telah berjalan langgeng tanpa kendala
 pembiayaan. Jika pada proyek bantuan listrik di beberapa desa terpencil
 gagal karena warga tidak membiayai biaya operasional maka pengelola listrik
 di Batang Uru telah surplus pemasukan. Linggi layak diganjar sebagai
 inovator pembangunan desa mandiri energi. Cahaya mengalir dari Batang Uru di
 atas jerih payah mereka.

 Kreasi Linggi dan cahaya yang mengalir dari air sungai Batang Uru muncul
 karena solidaritas dan kerjasama antar warga. Sekaligus menjadi bukti bahwa
 perpaduan keahlian, keterampilan dan sumberdaya alam yang tersedia adalah
 kombinasi yang apik dan dapat melanggengkan kehidupan warga, bahkan menuju
 kegemilangan generasi.

 Di Batang Uru, desa penerima gelar desa mandiri energi  tahun 2008 dalam
 ihwal kelistrikan, fungsi pelayanan negara menjadi pengecualian karena
 mereka dapat memenuhi kebutuhan energinya dengan leluasa. Betul sekali,
 sebagaimana pesan ending film itu yang dengan angkuh mengakui kelebihannya
 dari PLN yang kelimpungan karena krisis listrik. Menurut cerita Linggi dari
 kreasi ini, desa 

Re: [blogger_makassar] Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN

2010-05-10 Terurut Topik deNun
yang menarik dari Batang Uru, karena disain dan konstruksi turbin dihasilkan
di sana
yang jadi karyawan hanya tamanan SD, yang mandori, alumni meknisasi
pertanian unhas...
:)

2010/5/11 haerulsohibkamu haerulso...@gmail.com



 mantap, kira-kira ada lagi ngak desa yang seperti itu?, khususnya di
 sulsel?

 Pada 11 Mei 2010 07:06, deNun daeng.c...@gmail.com menulis:



 *Cahaya Batang Uru, Kami Tidak Byarpet Seperti PLN*

 Beberapa orang sibuk mengatur letak CPU dan monitor komputer. Ada yang
 memegang kabel, ada pula memeriksa colokan. Mereka serius, Mereka
 bersemangat. Penonton yang memenuhi ruangan berukuran tidak lebih delapan x
 delapan meter itu juga tak kalah seriusnya.

 Lalu, kamera menyorot wajah seorang dari para pria yang sibuk memasang
 komputer tersebut. Komputer telah terinstal, wajah pria ini sumringah. Tapi,
 pria ini dengan polos berujar,”Yang mana yang ditekan,?” dengan aksen
 Toraja. Penonton tergelak. Suasana jadi riuh.

 ***

 Adegan pertama di film berjudul “Cahaya Air Dari Batang Uru” ini
 mengisahkan manfaat sejak berjalannya pembangkit listrik mini tenaga hidro
 yang dirintis oleh Ir.Linggi dan warga desa setempat. Linggi adalah alumni
 jurusan Mekanisasi Pertanian Unhas yang bertanggungjawab di balik inisiatif
 murni swadaya warga tersebut.  Wajah Linggi dan suaranya yang dominan dalam
 film itu.

 Tanggal 10 Mei 2010, sejak pukul 16.30 puluhan orang yang hadir di ruang
 utama kantor Yayasan Bakti di jalan Dr. Soetomo menikmati alur cerita dari
 film berdurasi tiga puluh menit tersebut. Mereka datang dari berbagai
 kalangan seperti mahasiswa, staf proyek donor, wartawan, pegiat LSM, Bappeda
 Propinsi, Penanaman Modal, bahkan staf Perusahaan Listrik Nasional. Mereka
 antusias mengikuti pemutaran film istimewa yang dibesut oleh Rumah Ide asal
 Makassar.

 Yang lebih istimewa karena Ir. Linggi, pria berperawakan sedang dan
 sederhana , warga Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat itu hadir di
 tengah para penoton. Setelah pemutaran film, dialog pun digelar. Linggi yang
 juga terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Mamasa karena prestasinya ini
 terlihat cekatan menyampaikan pengalaman kerjanya.

 Dari cerita film tergambar bagaimana warga memanfaatkan aliran sungai
 sebagai sumber energi listrik. Tugas Linggi mendisain dan menyiapkan mesin
 pembangkit yang dapat mengubah energi dari alam tersebut. Material dan
 tenaga murni swadaya Linggi dan beberapa warga desa. Lampu menyala, rumah
 warga terang benderang. Kegiatan ekonomi juga berjalan. Warga dapat membuka
 usaha meubel, menikmati masakan dari rice cooker, dan tentu saja anak-anak
 dapat belajar pada malam hari dengan cahaya melimpah.

 “Kami over tenaga listrik,” Kata Linggi kalem.

 Rupanya, Linggi mempunyai kelebihan tersendiri dan cita-cita mulia. Dia
 mengelola pengetahuan dan keterampilannya untuk memproduksi  mesin
 pembangkit mikro hidro. Bersama dia, kini bekerja 20an karyawan lulusan SD
 asal kampung tersebut. Dia merintis jaringan kerjasama dengan perusahaan di
 Bandung yang juga memiliki fokus kerjaan yang sama.

 “Di Batang Uru, saya tidak mempekerjakan lulusan SMA karena mereka
  potensial menjadi pegawai pemerintah. Saya memberi kesempatan kepada yang
 hanya tamat SD,” kata Linggi diplomatis.

 Dari satu bagian film yang diputar terlihat bagaimana Linggi memimpin
 pertemuan antar warga membahas instalasi, pengaturan dan rincian pembiayaan
 dan pembayaran bagi setiap pemakai. “Kami kini menggaji karyawan setiap
 bulan dengan total gaji 20an juta,” Katanya bangga. Darinya puluhan mesin
 pembangkit hidro telah didistribusi ke beberapa wilayah lainnya di Sulawesi.
 “Biaya pembuatan satu unit pembangkit tidak sampai Rp.50 Juta. Ini di luar
 biaya instalasi dan kebutuhan lainnya”. Dari usaha inilah Linggi memberikan
 nilai ekonomi kepada kampung halamannya.

 Linggi memanfaatkan sarana ibadah gereja sebagai forum diskusi, membangun
 kesepakatan dengan warga.  Linggi terlihat optimis dengan apa yang telah
 dilakukannya. Warga menikmati limpahan energi listrik dari pemangkit dan dia
 mengembangkan usaha perakitan pembangit listrik tenaga hidro.

 Biaya operasional listrik warga ini telah berjalan langgeng tanpa kendala
 pembiayaan. Jika pada proyek bantuan listrik di beberapa desa terpencil
 gagal karena warga tidak membiayai biaya operasional maka pengelola listrik
 di Batang Uru telah surplus pemasukan. Linggi layak diganjar sebagai
 inovator pembangunan desa mandiri energi. Cahaya mengalir dari Batang Uru di
 atas jerih payah mereka.

 Kreasi Linggi dan cahaya yang mengalir dari air sungai Batang Uru muncul
 karena solidaritas dan kerjasama antar warga. Sekaligus menjadi bukti bahwa
 perpaduan keahlian, keterampilan dan sumberdaya alam yang tersedia adalah
 kombinasi yang apik dan dapat melanggengkan kehidupan warga, bahkan menuju
 kegemilangan generasi.

 Di Batang Uru, desa penerima gelar desa mandiri energi  tahun 2008 dalam
 ihwal kelistrikan, fungsi pelayanan negara menjadi pengecualian karena
 mereka dapat