Tulisan yang baik untuk disimak,
supaya kepala kita semua dibersihkan dari semua hal yang berbau
'pembedaan' atas dasar hal-hal yang kita sendiri tidak punya kuasa untuk
mengubahnya....
 
kalau Anda terlahir dari keluarga Bugis, atau Makassar, apakah lantas
kita berhak atas perasaan dominansi atas kultur lainnya yang kebetulan
nenek moyang nya tidak sewarna kulit, tidak se-gesture dengan nenek
moyang Bugis Makassar itu..
 
mudah2an kita semua mendapat pencerahan....
 
Salam
Muhammad Ruslailang Noertika
+6221 7854 9422
 
-- People are enemies of what they don't know --
 

________________________________

From: panying...@yahoogroups.com [mailto:panying...@yahoogroups.com] On
Behalf Of halim hd
Sent: Thursday, January 29, 2009 5:32 PM
To: panying...@yahoogroups.com; rumah dunia; WONG BANTEN; warung gayeng;
M Faizi ~Guluk-Guluk~; fahrudin nasrulloh
Subject: [panyingkul] Perlukah Lagi Ada Sebutan Pribumi dan Nonpribumi?



tulisan menarik; penulisnya ini keturunan tionghoa, anak jogja, angkatan
emha, linus, di jaman persada (persatuan sasterawan muda) taon 1970-an.
maaf kalou dobel.
hhd.

--- On Tue, 1/27/09, Sunny <am...@tele2.se> wrote:


        From: Sunny <am...@tele2.se>
        Subject: [Jurnal Perempuan] Perlukah Lagi Ada Sebutan Pribumi
dan Nonpribumi?
        To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
        Date: Tuesday, January 27, 2009, 3:37 PM
        
        

        http://www.balipost .co.id/mediadeta il.php?module=
kategoriminggu& kid=15&id= Budaya
<http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=kategoriminggu&kid=15&;
id=Budaya> 
        
        Minggu, 25 Januari 2009 
        
        Perlukah Lagi Ada Sebutan Pribumi dan Nonpribumi?
        
        SIAPA yang disebut peranakan Cina atau Cina peranakan? Kenapa
keturunan Tionghoa yang sudah menyatakan berwarganegara Indonesia masih
ditanyakan akte kelahiran asli ketika mengurus paspor atau ada
tanda-tanda khusus ketika membuat KTP?
        
        Masalah seputar Cina atau Tionghoa mengemuka dalam diskusi panel
bertopik "Keindonesiaan dan Ketionghoan : Menuju Harmoni Identitas dan
Budaya" di Bentara Budaya, Jakarta baru-baru ini. Diskusi ini digelar
oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia menyongsong Tahun Baru Imlek yang
jatuh pada Senin (26/1) besok.
        
        Sineas Ariani Darmawan yang membuat film pendek "Anak Naga
Beranak Naga" dan "Sugiharti Halim" mempertanyakan dirinya yang lahir
dan kelak akan meninggal di Indonesia masih acap ditanyakan surat-surat
asli ketika mengurus KTP dan paspor. "Padahal, saya tidak bisa berbahasa
Mandarin, sehari-hari dengan teman di kampus dan sesama insan film
berbahasa Jawa. Kalau papa mama saya yang tinggal di Purwokerto memang
masih berbahasa Cina dan bahasa Belanda," keluhnya.
        
        Ihwal asimilasi atau pembauran sesama etnis, Ariani sangat
mendukung, asal tidak dipaksakan. Seperti mbak Ester Indahyati Jusuf
(penerima "Yap Thiam Hien Award 2001") menikah dengan orang Jawa. "Kalau
dipaksakan, hasilnya instan dan kita akan jadi generasi banci yang tidak
kenal siapa diri kita. Ganti nama dari nama Cina menjadi nama Indonesia
dipaksakan dan diharuskan. Asimilasi harus berjalan secara alamiah dan
saya lebih setuju jika pembauran terjadi di bidang budaya atau makanan,"
jelas Ariani.
        
        Wanita sineas muda ini melanjutkan, ketika ia membuat film
dokumenter tentang gambang kromong dan cokek -- musik tradisi Betawi
yang hidup di Tangerang, Ariani tersentuh dan tersentak. Ternyata,
penari cokek bernama Asnah (80) yang tinggal di rumah sederhana di
Tangerang itu aslinya dari Tiongkok. Suami, anak-anak dan cucu-cucunya
sudah lama membaur dengan penduduk pribumi. Dari wajah, kulit sampai
adat istiadat mereka sudah tidak bisa lagi yang mana non-pribumi dan
yang mana pribumi. Semuanya sudah menyatu.
        
        Jadi Korban
        
        Di bidang kuliner atau makanan, banyak makanan khas Cina kini
sudah menjadi makanan Indonesia. Dari bakmi, bakso, tahu, tempe, capcay,
siomay, kecap, tauco, kucai (sayuran) dan banyak lagi. Bahkan,
istilah-istilah bahasa Tionghoa dari Hokian atau Sinkek (asli dari Cina
daratan) sudah lama terserap dan menjadi bahasa sehari-hari seperti
cepe, jigo, jeceng, gope, kamsia (terima kasih), wo ai ni (aku cinta
padamu) dan masih seabreg lagi.
        
        Yang lucu, kalau ada pengendara sepeda motor melanggar rambu
lalu lintas dan disemprit polisi, langsung ada yang teriak, "Prit,
jigo!" Istilah pungli (pungutan liar) yang dulu pernah populer di zaman
Pangkopkamtib Sudomo juga berasal dari bahasa Kuo Yu (Mandarin) yang
artinya kurang lebih sama yaitu "pungutan tidak resmi".
        
        Pertanyaannya, apakah masih relevankah istilah pri, nonpri, atau
Cina, Chinese, Tionghoa atau "cina lole" di zaman globalisasi saat kini,
sementara RRC kini sudah menjadi negara modern dan menerapkan
kapitalisme modern?
        
        Pokoknya, setiap ada kerusuhan rasial dari zaman Soekarno sampai
Soeharto, selalu yang jadi korban adalah orang Cina. Baperki dilarang
dan dibubarkan karena dianggap pro-PKI. Menteri Oei Tjoe Tat yang pro
Bung Karno dan pendiri partai Partindo dibui dan dibuang ke Pulau Buru
tanpa disidang. Siauw Gok Tjhan (pendiri Baperki) dikucilkan sampai
tutup usia karena sudah tua.
        
        Lihat pulalah peristiwa Mei 1963 sampai September 1965 hingga
reformasi 1998 saat jatuhnya Soeharto. Dari golongan Tionghoa memang
muncul demonstran seperti Liem Bian Koen, Liem Bian Kie, Soe Hok Gie,
Arif Budiman (Soe Hok Djien) sampai pahlawan reformasi yang ditembak
sebagai mahasiswa Trisaksi, Hendrawan Sie. Tetapi, semuanya tidak pernah
dihargai oleh Pemerintah.
        
        "Memang ada orang Tionghoa yang jadi menteri, seperti Liem Koen
Hian, Oei Tjoe Tat, Marie Pangestu sebagai Menteri Perdagangan di zaman
SBY dan Menkeu Kwik Kian Gie di zaman ibu Megawati, tapi jumlahnya masih
sedikit," ujar Ester Indahyani Jusuf, seorang aktifis dan sarjana hukum
yang mengamati masalah-masalah perempuan Cina yang jadi korban politik.
        
        Banyak Berjasa
        
        Di bidang ekonomi, ada istilah konglomerat dan selalu yang kena
tuding adalah golongan Tionghoa. Padahal, ada konglomerat asli pribumi
dan dia menduduki nomor satu sebagai orang terkaya di Asia. Dulu ada
istilah Ali Baba, lalu di zaman Soeharto terkenal persekutuan dan
kong-kali-kong ketika beliau mengajak ratusan pengusaha nonpri ke Tapos
dan siapa tak kenal Liem Sioe Liong alias Soedomo Salim.
        
        Seakan yang jelek-jelek saja yang diceritakan, dimuat di koran
dan menghiasi layar televisi. Padahal, di dunia olahraga, Indonesia
punya Tan Yoe Hok, Rudy Hartono, Ivana Lie, Liem Swie King, serta
pasangan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang mengukir prestasi
Olimpiade di Eropa. Bahkan, Alan jadi Ketua RT di suatu kawasan di
Jakarta Utara. Di bidang budaya, orang kenal Teguh Karya (Liem Tjoan
Hok), pelawak Ateng, Tan Tjeng Bok, Fifi Young, Agnes Monica, Sandra
Dewi, Olga Lidya, Ferry Salim, sampai Tina Toon.
        
        Ironisnya, meski banyak dari golongan Tionghoa berjasa terhadap
negara Indonesia, di masa tuanya mereka masih ditanyakan surat akte
kelahiran ketika mengurus KTP dan paspor. Ivana Lie ketika mudanya,
kalau mau bertanding bulutangkis di luar negeri, segera dibuatkan paspor
meminjam orang lain atas perintah seorang Menteri Olahraga, karena dia
kala itu masih state-less alias tidak punya warganegaraan. Ada cerita,
Alan dan Susi Susanti diperintah kalau menjawab pertanyaan wartawan di
luar negeri, dilarang menggunakan nama Tionghoa mereka dan dilarang
menggunakan tanda salib (mereka berdua Katolik). "Ini kan rasis dan
sara," urai Ester.
        
        Memang, berbeda-beda tapi tetap satu. Bhinneka Tunggal Ika
seperti yang dicanangkan founthing father Bung Karno jalannya masih
terseok-seok dan penuh onak. Atau dalam istilah Ester, "biarkan seribu
bunga mekar bersama di taman Indonesia". Banyak etnis dan suku di
Nusantara, termasuk Tionghoa dan biarkan mereka berprestasi, jangan lagi
dihalangi dan dicurigai.
        
        Prof. Dr. Gondomono, antropolog budaya Tionghoa dari UI
menegaskan, ketika zaman Orde Baru, banyak orang Cina ketika mengurus
KTP dan paspor diperas oleh oknum-oknum Lurah dan Imigrasi. "Namun,
beberapa teman saya menceritakan kepada saya, ketika Mendagri-nya pak
Rudini di tahun 1992, ada pemutihan SBKRI bagi orang-orang Cina dan
langsung menjadi warganegara Indonesia asal orang-orang Tionghoa
tersebut memilih Golkar," cerita Gondomono.
        
        Mona Lohanda, penulis buku "Growing Pains" sependapat dengan
Gondomono. "Saya setuju jika istilah pri dan nonpri dihapus saja. Kita
kan sudah jadi bangsa Indonesia seutuhnya, apapun suku dan agamanya.
Kenyataannya, tidak semua orang Tionghoa kaya dan jadi konglomerat atau
jadi pengisap darah rakyat. Masih banyak orang Tionghoa melarat dan
miskin di Tangerang (dikenal istilah Cina Benteng) dan menjadi petani
serta nelayan di Singkawang, Pontianak dan Bagan Siapi-api," ujar Mona.
        
        Juga, lanjut Mona, di bidang apapun, dari politik, hukum, budaya
dan olahraga kita kenal banyak tokoh orang Tionghoa yang harum namanya
dan membuat prestasi bagi nusa dan bangsa. "Ada Lie Tek Tjeng, Yap Thiam
Hien, Soe Hok Gie (difilmkan dengan judul "Gie" oleh Riri Riza), Oyong
Peng Koen (PK Oyong, pendiri harian Kompas) sampai Kwik Kian Gie, Rudy
Hartono dan Teguh Karya," katanya.
        
        Di zaman globalisasi, sudah sepatutnya prasangka anti-Cina
dibuang jauh-jauh. Prasangka historis ini sengaja diciptakan oleh
kolonial Belanda yang memisah dan memilah bangsa Timur Asing kelas dua
seperti Cina dan bangsa nomor satu Eropa yang beradab Belanda, Inggris,
dll. Bangsa pribumi Indonesia sendiri acap disebut hanya menjadi
kelompok paling bawah, tertindas dan melarat.
        
        Dulu ada kelompok Pecinan dan Kampung Arab, bahkan kapitan Cina
yang sengaja dibuat eksklusif menjadi warga berpendidikan. Zaman kini,
setelah Indonesia merdeka dengan falsafah Pancasila dan Bhinneka Tunggal
Ika, seyogyanyalah dipertanyakan "kontribusi apa yang diberikan orang
Jawa, Bali, Batak, Ambon, Papua, Padang, Tionghoa, Arab dll kepada
negara". Jangan katakan "apa yang sudah diberikan negara kepada Anda".
Itu dikatakan JF Kennedy, presiden AS yang menolak adanya perbedaan ras
dan etnis.
        
        * ipik tanoyo
        
        
        [Non-text portions of this message have been removed]
        
        


 

Kirim email ke