RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama

2009-03-07 Terurut Topik agoeng_set
Yup kadang2 sedih jg klo pas ke klenteng yg di"selamat"kan vihara. Org2 pada 
rame datang tp ga menyapa tuan rumah malah langsung ke bangunan baru, pas 
pulang juga ga permisi or basa basi sedikit pun. 
-Original Message-
From: "Hendri Irawan" 

Date: Sat, 07 Mar 2009 16:11:36 
To: 
Subject: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama


Dua tahun yang lalu saya menjumpai masalah yang hampir sama di kota T. Fokus 
utama masalah adalah sebuah tempat yang bernama WD miao yang juga bernama 
vihara P. Sebagai petunjuk lebih lanjut di pelataran depan WD miao ada sebuah 
lonceng tua yang dibuat pada masa Dao Guang (kalau tidak salah ingat, apa masa 
Guang Xu ?).

Ceritanya juga serupa, WD miao yang usianya sudah ratusan tahun terpaksa harus 
mencari penyamaran bersalin rupa menjadi vihara P. Semuanya adalah karena 
politik dan berupaya mempertahankan diri. Sampai-sampai papan nama WD miao 
harus diturunkan dan diganti dengan nama vihara P. Namanya "terpaksa" maka 
banyak umat WD miao yang juga sakit hati dan tidak bisa menerima sepenuhnya 
kejadian ini.

1 generasi berlalu, 30 tahunan kemudian, peta politik berubah lagi. Eksistensi 
budaya tionghua kembali dipertontonkan di mana-mana. Orang WD miao juga kembali 
mempraktekkan keyakinannya. Dan papan nama WD miao kembali dipasang.

Masalah yang terjadi:
- vihara P dianggap terlalu mendominasi WD miao, sampai-sampai di ruang 
ibadahnya hanya boleh mengikuti aturan aliran mereka (aliran T), sikap ini 
ditantang keras umat WD miao karena menurut mereka sikap demikian tidak toleran 
terhadap kepercayaan umat kelenteng / Tri Dharma yang sinkretis
- muncul suara-suara agar vihara P pindah dari WD miao, karena secara status 
hukum (menurut pihak WD miao), tanah dan bangunan vihara P adalah milik WD miao

Menurut saya pribadi, ini saya sampaikan langsung ke pihak WM miao cuma sekali 
saja:
- ini masalah konyol yang saya tidak mau ikut campur lebih lanjut, saya sendiri 
tahunya setelah berdiskusi dengan orang-orang WM miao, setelah itu tidak turut 
campur lagi, hanya merekalah (WM miao & vihara P) yang bisa menyelesaikan 
sendiri
- sifat kaku aliran T yang memang terkenal tidak toleran, maunya menang 
sendiri, apalagi umat T yang "setengah-setengah jadi" tetapi sangat keras 
sekali menuju ke "kemurnian" ajaran Buddha, ya murni menurut mereka, yang lain 
tidak murni (baca: 1/4-1/2 sesat), contohnya: dewa(i) utama WM miao adalah Guan 
Yin yang notabene harusnya termasuk dalam salah satu tokoh paling suci di 
lingkup Buddhisme, namun karena vihara P menganut aliran T garis keras, maka 
Guan Yin tidak boleh nongol di ruang ibadah mereka, walaupun sama-sama Buddhis 
(konyol tidak ?)
- banyak kelenteng-kelenteng lain yang juga menjadi vihara tetapi tidak 
mengalami clash yang sedemikian keras, aliran Buddhisme yang masuk ke 
kelenteng-kelenteng tersebut lebih lunak (biasanya Buddhisme M), karena 
sebenarnya yang dinamakan kelenteng itu adalah tempat ibadah orang Buddhis juga 
selain orang Tao dan KHC, walaupun ada kelenteng yang memang khusus ke Tao, KHC 
ataupun Buddhis
- pihak WM miao (ini yang saya tekankan ke mereka) seharusnya tidak boleh 
mengambil jalan keras, generasi muda mereka suka tidak suka lebih mendapatkan 
pengaruh dari vihara P, karena proses kaderisasi dan pendidikan spiritual WM 
miao praktis sudah berhenti selama 30an tahun akibat tekanan politik, kalau 
sampai pecah kongsi (vihara P pindah) maka WM miao otomatis tidak akan 
dikunjungi sebagian besar generasi muda mereka lagi karena ikut pindah
- pihak WM miao juga memiliki kesalahan kenapa tidak menempuh jalur kerjasama 
ataupun karena vihara P terus menolak, ya buat saja persaingan sehat, galakkan 
kembali pendidikan spiritual dan ibadah versi WM miao sendiri

Inilah remah-remah dari pertarungan politik puluhan tahun yang lalu, ibarat 
Korea Utara dan Korea Selatan. Perang dingin setengah panas ini kejadian di 
banyak tempat yang sialnya mungkin salah memilih aliran buddhisme yang masuk ke 
tempat mereka.

Perkembangan sekarang ini lebih gila lagi. Adanya organisasi resmi salah satu 
kepercayaan Tri Dharma yang diakui pemerintahan negara ternyata semakin 
memanaskan perang dingin. Karena ada juga suara seharusnya kelenteng-kelenteng 
dikembalikan ke mereka. Toh sejak dulu semua orang tahunya "istilah Khonghucu", 
tidak begitu mengenal "istilah Tri Dharma". Belum lagi yang setengah diakui 
seperti majelis-majelis Tao yang juga sedikit banyak mulai bergerilya merebut 
kembali tempat ibadah mereka.

Indonesia gitu loh. Bikin malu saja.

Hormat saya,

Yongde
cat: nama-namanya saya singkat, soalnya saya menolak terlibat dan dilibatkan 
dalam hal beginian, dah males


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, iwan kustiawan  wrote:
>
> benar sih.tapi apa untungnya bagi Budhism besar dan kecil? toch sekarang 
> juga minoritas di Indonesia. lagi pula jangan cepat mengambil kesimpulan 
> bahwa Budhism di Indonesia cuman bisa besar oleh satu faktor saja yaitu orang 
> orang tionghoa. Dengan jumlah 

RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama

2009-03-07 Terurut Topik agoeng_set
Menyelamatkan itu artinya setelah selamat yah dikembalikan seperti semula kan? 
Klo yg diselamatkan balik mengusir yg menyelamatkan yah itu seh emang malu2in n 
bagai kacang lupa kulitnya. Tapi klo maksudnya menyelamatkan trus setelah 
selamat tetap juga ga dibalikin bukankah itu menilap atau mencuri? 
Btw napa gak tanya langsung aja yah ke altar utama klenteng itu, mau balik lg 
ke semula atau tetap seperti saat ini, klo ga bisa nanya yah dilelang aja, 
masing2 pihak mau jadikan klenteng itu seperti apa n gimana caranya, yg paling 
baik yg menang ( tanya ke altar utama) atau mau yg praktir yah adu duit aja, 
sapa yg brani " beli" dgn harga tertinggi yg menang. Klo ga adu otot aja, 
brantem gebuk2an kayak di film2 triad HK yg menang yg berkuasa.  
-Original Message-
From: iwan kustiawan 

Date: Sat, 7 Mar 2009 01:34:44 
To: 
Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama


benar sih.tapi apa untungnya bagi Budhism besar dan kecil? toch sekarang 
juga minoritas di Indonesia. lagi pula jangan cepat mengambil kesimpulan bahwa 
Budhism di Indonesia cuman bisa besar oleh satu faktor saja yaitu orang orang 
tionghoa. Dengan jumlah yang mini pun saya yakin Budhism tetap akan diakui 
sebagai 5 agama resmi di Indonesia mengingat fakta sejarah yang ditinggalkannya 
di Indonesia.
Jadi menurut saya sih yah wajarlah kalau boleh saya umpamakan ada pembersihan 
terhadap misalnya etnis tertentu (A), lalu ada keluarga (B) yang bersedia 
menyelamatkan anak A, lalu diterimanya dalam rumahnya, supaya tidak kena 
pembersihan yah buatlah disamar anak tersebut dengan nama dari etnis B, supaya 
si A tetap selamat dan tidak ketahuan toh? Lah apa yang terjadi khan seolah 
olah tulisan JK bercerita setelah si A boleh bebas dan keluar rumah kembali 
kemasyarakat berbicara bahwa dia telah dipaksa untuk ganti nama dari etnis B 
dllini sih namanya tidak berbudi, tak tahu balas budi...bukankan lebih 
besar usaha penyelamatan yang telah dilakukan oleh B untuk menyelamatkan nyawa 
si A ketimbang sakit hati si  A selama hidup dalam keluarga B?
Dalam berkeluargapun pasti ada beda beda pendapat dan wajar jika ada sakit 
hatinya toch, tapi bicara tanpa mempertimbangkan kedua sisi ( baik buruk) itu 
namanya sempit dan picik lah...seperti kacang lupa kulitnya


Peace
--- On Sat, 3/7/09, agoeng_...@yahoo.com  wrote:

From: agoeng_...@yahoo.com 
Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Saturday, March 7, 2009, 12:27 PM

Yah paling buddhism ga berkembang sebesar skrg. Kan jmn itu yg bener2 buddha 
itu jrg banget. Kebanyakan sam kauw.
-Original Message-
From: iwan kustiawan 

Date: Fri, 6 Mar 2009 11:39:55 
To: 
Subject: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama


he..he.he..tapi coba kalau diliat dari prospektif yang berbeda...andai saat itu 
organisasi budhis bilang gini : " wah kelenteng (Bio) itu milik Tao atau Kong 
Hu Cu bukan Budhis ."
nah loh apa yang akan terjadi ?..

bakti
balas budi
santun
berterima kasih
adakah yang ideal di dunia ini?
siapakah yang mampu memberikan semua yang aku mau di dunia ini?






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

Yahoo! Groups Links






  


Re: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama

2009-03-07 Terurut Topik Dr. Irawan
Kawan2 yb,
Kalau boleh say kasih komentar , urusan semacam ini sebenarnya tidak akan
terjadi kalau negara tidak ikut campur urusan dalam kepercayaan masyarakat
(beragama), dan praktek kebudayaan. Jadi biang keladinya adalah negara atau
rezim . Jadi janganlah kawan2 menjadi teradudomba dikarenakan kelakuan
negara. jadi janganlah diperalat oleh negara atau rezim ,kuncinya adalah
jadilah bagian dari alat pengatur negara, agar dikemudian hari Indonesia
tidak direpotkan oleh urusan gontok2an sesama anak bangsa, dan bisa
menggunakan energinya maju kedepan sebagai negara yang kuat dan makmur.

salam,
Dr.Irawan.

On Sat, Mar 7, 2009 at 8:11 AM, Hendri Irawan  wrote:

> Dua tahun yang lalu saya menjumpai masalah yang hampir sama di kota T.
> Fokus utama masalah adalah sebuah tempat yang bernama WD miao yang juga
> bernama vihara P. Sebagai petunjuk lebih lanjut di pelataran depan WD miao
> ada sebuah lonceng tua yang dibuat pada masa Dao Guang (kalau tidak salah
> ingat, apa masa Guang Xu ?).
>
> Ceritanya juga serupa, WD miao yang usianya sudah ratusan tahun terpaksa
> harus mencari penyamaran bersalin rupa menjadi vihara P. Semuanya adalah
> karena politik dan berupaya mempertahankan diri. Sampai-sampai papan nama WD
> miao harus diturunkan dan diganti dengan nama vihara P. Namanya "terpaksa"
> maka banyak umat WD miao yang juga sakit hati dan tidak bisa menerima
> sepenuhnya kejadian ini.
>
> 1 generasi berlalu, 30 tahunan kemudian, peta politik berubah lagi.
> Eksistensi budaya tionghua kembali dipertontonkan di mana-mana. Orang WD
> miao juga kembali mempraktekkan keyakinannya. Dan papan nama WD miao kembali
> dipasang.
>
> Masalah yang terjadi:
> - vihara P dianggap terlalu mendominasi WD miao, sampai-sampai di ruang
> ibadahnya hanya boleh mengikuti aturan aliran mereka (aliran T), sikap ini
> ditantang keras umat WD miao karena menurut mereka sikap demikian tidak
> toleran terhadap kepercayaan umat kelenteng / Tri Dharma yang sinkretis
> - muncul suara-suara agar vihara P pindah dari WD miao, karena secara
> status hukum (menurut pihak WD miao), tanah dan bangunan vihara P adalah
> milik WD miao
>
> Menurut saya pribadi, ini saya sampaikan langsung ke pihak WM miao cuma
> sekali saja:
> - ini masalah konyol yang saya tidak mau ikut campur lebih lanjut, saya
> sendiri tahunya setelah berdiskusi dengan orang-orang WM miao, setelah itu
> tidak turut campur lagi, hanya merekalah (WM miao & vihara P) yang bisa
> menyelesaikan sendiri
> - sifat kaku aliran T yang memang terkenal tidak toleran, maunya menang
> sendiri, apalagi umat T yang "setengah-setengah jadi" tetapi sangat keras
> sekali menuju ke "kemurnian" ajaran Buddha, ya murni menurut mereka, yang
> lain tidak murni (baca: 1/4-1/2 sesat), contohnya: dewa(i) utama WM miao
> adalah Guan Yin yang notabene harusnya termasuk dalam salah satu tokoh
> paling suci di lingkup Buddhisme, namun karena vihara P menganut aliran T
> garis keras, maka Guan Yin tidak boleh nongol di ruang ibadah mereka,
> walaupun sama-sama Buddhis (konyol tidak ?)
> - banyak kelenteng-kelenteng lain yang juga menjadi vihara tetapi tidak
> mengalami clash yang sedemikian keras, aliran Buddhisme yang masuk ke
> kelenteng-kelenteng tersebut lebih lunak (biasanya Buddhisme M), karena
> sebenarnya yang dinamakan kelenteng itu adalah tempat ibadah orang Buddhis
> juga selain orang Tao dan KHC, walaupun ada kelenteng yang memang khusus ke
> Tao, KHC ataupun Buddhis
> - pihak WM miao (ini yang saya tekankan ke mereka) seharusnya tidak boleh
> mengambil jalan keras, generasi muda mereka suka tidak suka lebih
> mendapatkan pengaruh dari vihara P, karena proses kaderisasi dan pendidikan
> spiritual WM miao praktis sudah berhenti selama 30an tahun akibat tekanan
> politik, kalau sampai pecah kongsi (vihara P pindah) maka WM miao otomatis
> tidak akan dikunjungi sebagian besar generasi muda mereka lagi karena ikut
> pindah
> - pihak WM miao juga memiliki kesalahan kenapa tidak menempuh jalur
> kerjasama ataupun karena vihara P terus menolak, ya buat saja persaingan
> sehat, galakkan kembali pendidikan spiritual dan ibadah versi WM miao
> sendiri
>
> Inilah remah-remah dari pertarungan politik puluhan tahun yang lalu, ibarat
> Korea Utara dan Korea Selatan. Perang dingin setengah panas ini kejadian di
> banyak tempat yang sialnya mungkin salah memilih aliran buddhisme yang masuk
> ke tempat mereka.
>
> Perkembangan sekarang ini lebih gila lagi. Adanya organisasi resmi salah
> satu kepercayaan Tri Dharma yang diakui pemerintahan negara ternyata semakin
> memanaskan perang dingin. Karena ada juga suara seharusnya
> kelenteng-kelenteng dikembalikan ke mereka. Toh sejak dulu semua orang
> tahunya "istilah Khonghucu", tidak begitu mengenal "istilah Tri Dharma".
> Belum lagi yang setengah diakui seperti majelis-majelis Tao yang juga
> sedikit banyak mulai bergerilya merebut kembali tempat ibadah mereka.
>
> Indonesia gitu loh. Bikin malu saja.
>
> Hormat saya,
>
> Yongde
> cat: nama-namanya saya singkat, 

[budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama

2009-03-07 Terurut Topik Hendri Irawan
Dua tahun yang lalu saya menjumpai masalah yang hampir sama di kota T. Fokus 
utama masalah adalah sebuah tempat yang bernama WD miao yang juga bernama 
vihara P. Sebagai petunjuk lebih lanjut di pelataran depan WD miao ada sebuah 
lonceng tua yang dibuat pada masa Dao Guang (kalau tidak salah ingat, apa masa 
Guang Xu ?).

Ceritanya juga serupa, WD miao yang usianya sudah ratusan tahun terpaksa harus 
mencari penyamaran bersalin rupa menjadi vihara P. Semuanya adalah karena 
politik dan berupaya mempertahankan diri. Sampai-sampai papan nama WD miao 
harus diturunkan dan diganti dengan nama vihara P. Namanya "terpaksa" maka 
banyak umat WD miao yang juga sakit hati dan tidak bisa menerima sepenuhnya 
kejadian ini.

1 generasi berlalu, 30 tahunan kemudian, peta politik berubah lagi. Eksistensi 
budaya tionghua kembali dipertontonkan di mana-mana. Orang WD miao juga kembali 
mempraktekkan keyakinannya. Dan papan nama WD miao kembali dipasang.

Masalah yang terjadi:
- vihara P dianggap terlalu mendominasi WD miao, sampai-sampai di ruang 
ibadahnya hanya boleh mengikuti aturan aliran mereka (aliran T), sikap ini 
ditantang keras umat WD miao karena menurut mereka sikap demikian tidak toleran 
terhadap kepercayaan umat kelenteng / Tri Dharma yang sinkretis
- muncul suara-suara agar vihara P pindah dari WD miao, karena secara status 
hukum (menurut pihak WD miao), tanah dan bangunan vihara P adalah milik WD miao

Menurut saya pribadi, ini saya sampaikan langsung ke pihak WM miao cuma sekali 
saja:
- ini masalah konyol yang saya tidak mau ikut campur lebih lanjut, saya sendiri 
tahunya setelah berdiskusi dengan orang-orang WM miao, setelah itu tidak turut 
campur lagi, hanya merekalah (WM miao & vihara P) yang bisa menyelesaikan 
sendiri
- sifat kaku aliran T yang memang terkenal tidak toleran, maunya menang 
sendiri, apalagi umat T yang "setengah-setengah jadi" tetapi sangat keras 
sekali menuju ke "kemurnian" ajaran Buddha, ya murni menurut mereka, yang lain 
tidak murni (baca: 1/4-1/2 sesat), contohnya: dewa(i) utama WM miao adalah Guan 
Yin yang notabene harusnya termasuk dalam salah satu tokoh paling suci di 
lingkup Buddhisme, namun karena vihara P menganut aliran T garis keras, maka 
Guan Yin tidak boleh nongol di ruang ibadah mereka, walaupun sama-sama Buddhis 
(konyol tidak ?)
- banyak kelenteng-kelenteng lain yang juga menjadi vihara tetapi tidak 
mengalami clash yang sedemikian keras, aliran Buddhisme yang masuk ke 
kelenteng-kelenteng tersebut lebih lunak (biasanya Buddhisme M), karena 
sebenarnya yang dinamakan kelenteng itu adalah tempat ibadah orang Buddhis juga 
selain orang Tao dan KHC, walaupun ada kelenteng yang memang khusus ke Tao, KHC 
ataupun Buddhis
- pihak WM miao (ini yang saya tekankan ke mereka) seharusnya tidak boleh 
mengambil jalan keras, generasi muda mereka suka tidak suka lebih mendapatkan 
pengaruh dari vihara P, karena proses kaderisasi dan pendidikan spiritual WM 
miao praktis sudah berhenti selama 30an tahun akibat tekanan politik, kalau 
sampai pecah kongsi (vihara P pindah) maka WM miao otomatis tidak akan 
dikunjungi sebagian besar generasi muda mereka lagi karena ikut pindah
- pihak WM miao juga memiliki kesalahan kenapa tidak menempuh jalur kerjasama 
ataupun karena vihara P terus menolak, ya buat saja persaingan sehat, galakkan 
kembali pendidikan spiritual dan ibadah versi WM miao sendiri

Inilah remah-remah dari pertarungan politik puluhan tahun yang lalu, ibarat 
Korea Utara dan Korea Selatan. Perang dingin setengah panas ini kejadian di 
banyak tempat yang sialnya mungkin salah memilih aliran buddhisme yang masuk ke 
tempat mereka.

Perkembangan sekarang ini lebih gila lagi. Adanya organisasi resmi salah satu 
kepercayaan Tri Dharma yang diakui pemerintahan negara ternyata semakin 
memanaskan perang dingin. Karena ada juga suara seharusnya kelenteng-kelenteng 
dikembalikan ke mereka. Toh sejak dulu semua orang tahunya "istilah Khonghucu", 
tidak begitu mengenal "istilah Tri Dharma". Belum lagi yang setengah diakui 
seperti majelis-majelis Tao yang juga sedikit banyak mulai bergerilya merebut 
kembali tempat ibadah mereka.

Indonesia gitu loh. Bikin malu saja.

Hormat saya,

Yongde
cat: nama-namanya saya singkat, soalnya saya menolak terlibat dan dilibatkan 
dalam hal beginian, dah males


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, iwan kustiawan  wrote:
>
> benar sih.tapi apa untungnya bagi Budhism besar dan kecil? toch sekarang 
> juga minoritas di Indonesia. lagi pula jangan cepat mengambil kesimpulan 
> bahwa Budhism di Indonesia cuman bisa besar oleh satu faktor saja yaitu orang 
> orang tionghoa. Dengan jumlah yang mini pun saya yakin Budhism tetap akan 
> diakui sebagai 5 agama resmi di Indonesia mengingat fakta sejarah yang 
> ditinggalkannya di Indonesia.
> Jadi menurut saya sih yah wajarlah kalau boleh saya umpamakan ada pembersihan 
> terhadap misalnya etnis tertentu (A), lalu ada keluarga (B) yang bersedia 
> menyelamatkan anak A, lalu diterimanya dalam 

RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama

2009-03-07 Terurut Topik iwan kustiawan
benar sih.tapi apa untungnya bagi Budhism besar dan kecil? toch sekarang 
juga minoritas di Indonesia. lagi pula jangan cepat mengambil kesimpulan bahwa 
Budhism di Indonesia cuman bisa besar oleh satu faktor saja yaitu orang orang 
tionghoa. Dengan jumlah yang mini pun saya yakin Budhism tetap akan diakui 
sebagai 5 agama resmi di Indonesia mengingat fakta sejarah yang ditinggalkannya 
di Indonesia.
Jadi menurut saya sih yah wajarlah kalau boleh saya umpamakan ada pembersihan 
terhadap misalnya etnis tertentu (A), lalu ada keluarga (B) yang bersedia 
menyelamatkan anak A, lalu diterimanya dalam rumahnya, supaya tidak kena 
pembersihan yah buatlah disamar anak tersebut dengan nama dari etnis B, supaya 
si A tetap selamat dan tidak ketahuan toh? Lah apa yang terjadi khan seolah 
olah tulisan JK bercerita setelah si A boleh bebas dan keluar rumah kembali 
kemasyarakat berbicara bahwa dia telah dipaksa untuk ganti nama dari etnis B 
dllini sih namanya tidak berbudi, tak tahu balas budi...bukankan lebih 
besar usaha penyelamatan yang telah dilakukan oleh B untuk menyelamatkan nyawa 
si A ketimbang sakit hati si  A selama hidup dalam keluarga B?
Dalam berkeluargapun pasti ada beda beda pendapat dan wajar jika ada sakit 
hatinya toch, tapi bicara tanpa mempertimbangkan kedua sisi ( baik buruk) itu 
namanya sempit dan picik lah...seperti kacang lupa kulitnya


Peace
--- On Sat, 3/7/09, agoeng_...@yahoo.com  wrote:

From: agoeng_...@yahoo.com 
Subject: RE: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Saturday, March 7, 2009, 12:27 PM

Yah paling buddhism ga berkembang sebesar skrg. Kan jmn itu yg bener2 buddha 
itu jrg banget. Kebanyakan sam kauw.
-Original Message-
From: iwan kustiawan 

Date: Fri, 6 Mar 2009 11:39:55 
To: 
Subject: [budaya_tionghua] Re: Kisah Dewata yang Pindah Agama


he..he.he..tapi coba kalau diliat dari prospektif yang berbeda...andai saat itu 
organisasi budhis bilang gini : " wah kelenteng (Bio) itu milik Tao atau Kong 
Hu Cu bukan Budhis ."
nah loh apa yang akan terjadi ?..

bakti
balas budi
santun
berterima kasih
adakah yang ideal di dunia ini?
siapakah yang mampu memberikan semua yang aku mau di dunia ini?






.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

Yahoo! Groups Links






  

[budaya_tionghua] Re: kereta api kehidupan achir

2009-03-07 Terurut Topik Han Hwie Song
Kereta api kehidupan (bagian achir)

Seperti yang saya katakan pandangan orang itu tidak sama, maka dapat
dimengerti kalau dalam kereta api ini, ada yang pro dan ada pula yang anti
pada keputusan bapak konductur yang dianggap tidak social, tidak demokratis.
Bagi mereka yang tidak puas dengan konduktur ada berapa yang berani turun
distasion dan naik kereta api yang lain menuju kejurusan yang mereka pikir
lebih tenang dan komfortabel. Mereka ini bertani menghadapi tantangan
penghidupan. Untung juga bagi mereka, karena bertambah banyaknya
penumpang-penumpang terutama yang masih muda-muda, maka jaringan kendaraan
kereta api ini luas sekali, banyak jurusannya keberbagai horison-horison
yang virtual.

Memang penghidupan manusia itu orang harus banyak mengambil keputusan, apa
yang mereka akan kerjakan kemudian, keputusan "tinggal dikereta api ini atau
transit ke kereta api yang lain," keputusan cari partner hidup, beli atau
sewah tempat duduk yang tetap  etc.etc. Tetapi keputusan untuk ganti kereta
api kehidupan adalah keputusan yang besar. Orang-orang tua yang bijaksana
dan banyak pengalaman hidup dalam kereta api berkata: "Untuk mengambil
keputusan orang harus berani, teguh, berkeyakinan dan kadang-kadang berani
beravontur." Tetapi sayang beliau tidak bisa mengatakan jawaban yang tegas
yaitu: "ke kereta api yang mana tujuan yang benar?" 

Lain dengan penumpang yang di coupe kereta api kelas satu, keadaannya
tenang, di hormati dan mendapatkan prioritas istimewa dari konduktur kereta
api. Orang-orang ini tidak memperdulikan penumpang yang lain, yang
dipentingkannya ialah keluarganya. Puas dengan keadaan di kereta api ini,
tempat duduknya yang cukup ruang, makanan yang enak, tenang dan terutama
mendapatkan kehormatan dari bapak konduktur. 

. Kalau mereka bercakap-cakap dengan penduduk di pinggirnya pelahan-lahan,
tetapi yang dikatakan itu bukan sebenarnya, dapat disamakan dengan
aktor-aktris perfilman. Mereka ini biasanya berkata: "jangan banyak memikir,
kerjakan! Tetapi tidak memberi keterangan jalannya pikiran, logikanya. Yang
mereka mau hanya hasilnya. Kalau orang tanya megapa demikian ? Jawabannya
jelas: "jangan banyak memimikir, percayalah!" Karena itu orang menjadi
bodoh, acuh tidak acuh dan publik tidak bisa mengabdikan inteleknya atau
kekuatan kerja otaknya untuk masyarakat. Ini juga mengakibatkan karena
situasinya membuat orang kehilangan keberanian dan keyakinan untuk merobah
keadaan seperti yang tadi kita lihat bersama di coupe kelas kambing (tiga). 

Dan untuk membuat agak tetap comfortable bagi mereka yang salah memilih
coupe yang luks dapat ditanyakan: anda merasakan kenyamanan, keindahan,
konfortabelnya di coupe yang anda duduk, tetapi bagaimana pikiran kami
mayoritas?

Kehidupan manusia itu abadi, kalau kita pandang naik ke- dan turunnya
manusia dari Kereta api kehidupan, yang bergantian tanpa hentinya. Maka
kereta api kehidupan berjalan terus dengan abadi menuju ke horison yang
virtual tanpa ada tempo dan ruang, atau stasion yang tidak terhingga
(infinite)! 

 

Dr. Han Hwie-Song

Breda,5 Maret 2009 Negeri Belanda