From: Dharmajala@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED]
On Behalf Of dh4rm4duta
Sent: Tuesday, September 05, 2006 12:08 PM
To: Dharmajala@yahoogroups.com
Subject: [Dharmajala] Menyanggah Buku Mitologi China Kisah Alkitab
Menyanggah Buku Mitologi China Kisah Alkitab
4 September 2006
Pendahuluan
Pada kesempatan kali ini, saya hendak menyanggah sebuah buku yang
berjudul Mitologi China Kisah Alkitab, karya J.S. Kwek (Penerbit
Andi, 2006). Tidak berbeda dengan buku-buku semacamnya yang pernah
terbit sebelumnya, buku kali ini juga berusaha memberikan berbagai
pelintiran terhadap berbagai aspek budaya Tionghua demi mendukung
keyakinan mereka. Oleh karenanya, pelintiran-pelintiran semacam ini
perlulah diluruskan demi menegakkan kebenaran. Ingatlah bahwa
kebenaran tidak dapat dibangun atas dasar ketidak-benaran.
Penulisan buku ini memperlihatkan perbedaan antara konsep iman
dalam Kekristenan dan saddha dalam Buddhisme, dimana iman dalam
Kekristenan bersifat melekat, kaku, tidak dapat dipertanyakan,
dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan ditulisnya buku-buku
yang memutar-balikkan kebenaran oleh pihak mereka. Sebaliknya,
saddha tidak bersifat demikian. Saddha bersifat apa adanya
dan tidak dibuat-buat (disebut dengan wuwei dalam Dao). Karena
itu, umat Buddha tidak merasa perlu memelintir kebenaran agama lain
demi menegakkan keyakinannya sendiri. Sikap inilah yang perlu kita
pertahankan.
A.Hundun
Pada halaman 3 buku tersebut di atas dapat kita jumpai uraian
sebagai berikut:
Asumsi bangsa China dengan bangsa lainnya mengenai perihal ihwal
penciptaan tidak jauh berbeda. Penciptaan adalah pengurangan dari
bentuk ketidakteraturan menjadi lebih teratur. Dengan demikian
penciptaan dari keadaan bumi yang sebelumnya kacau-balau menjadi
teratur hadir dalam mitologi penciptaan banyan bangsa.
Dunia pra-penciptaan dikenal oleh bangsa China sebagai Hun Dun
yang berarti kacau balau. Cerita mengenai Hun Dun bisa ditemukan
dalam karya Zhuang Zhi (abad ke-3 SM).
Dikatakan, Hun Dun tidak memiliki panca indera untuk melihat,
mendengar, makan, dan bernafas. Shu dan Hu melubanginya setiap hari.
Gabungan dari Shu dan Hu berarti halilintar. Halilintar inilah yang
menghancurkan Hun Dun (kacau-balau) pada ketujuh dan menyebabkan Hun
Dun mati, dari sanalah langit dan bumi tercipta - Chinese Mythology
halaman 51.
Penulis lalu menghubungkan kisah Hun Dun di atas dengan Alkitab,
khususnya Kejadian 1:2:
Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera
raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air
Perhatikan bahwa penulis di halaman 4 mengutip ayat di atas tetapi
menyisipkan kata kacau balau di dalam tanda kurung setelah
kata kosong. Berikutnya pada halaman 4 dapat kita baca kutipan
sebagai berikut:
Ini merupakan pengetahuan orang China Kuno akan kisah Penciptaan
Alkitab. Yahweh yang kehadiran-Nya digambarkan disertai guntur dan
halilintar, bekerja setiap hari dalam penciptaan selama 6 hari. Dan
pada hari ke-7, Ia telah menyelesaikan segala sesuatu dan berhenti
dari pekerjaan-Nya.
Kini kita akan memberikan tanggapan terhadap pendapat J.S. Kwek di
atas.
Kalaupun seandainya benar bahwa kondisi kacau balau dalam Alkitab
dan Hun-dun adalah sama, mengapa Tuhan yang maha pencipta harus
menciptakan alam semesta dari kondisi kacau terlebih dahulu? Apakah
maksud tindakan ini? Bila Tuhan menurut agama Kristen adalah
sempurna, bagaimana mungkin dapat keluar sesuatu yang tidak sempurna
(yakni kondisi kacau balau itu)? Jika kondisi kacau balau dianggap
sebagai sesuatu yang sempurna, mengapa Tuhan masih perlu
menyempurnakannya menjadi alam semesta dalam waktu kerja selama enam
hari? Tidak dapatkah Tuhan menciptakan segalanya dalam sekali
penciptaan saja? Bukankah master plan alam semesta itu seharusnya
sudah berada dalam benak Tuhan? Ini adalah paradoks yang sulit
dipahami.
Menurut J.S. Kwek, Tuhan diidentikkan dengan guntur. Mungkin
rujukannya adalah Mazmur 77:18 (77:19), Mazmur 104:7, Yesaya 29:6,
dan lain sebagainya. Ini kontras sekali dengan penampilan Buddha
yang diliputi welas asih. Dharma yang dibabarkan Buddha
dikatakan indah pada awalnya, indah pada akhirnya, dan indah pada
bagian tengahnya. Sesungguhnya identifikasi Tuhan dengan guntur
justru mencerminkan suatu pandangan primitif, dimana masyarakat pada
zaman itu meyakini fenomena-fenomena alam sebagai manifestasi
kekuatan adikodrati. Tidak berbeda dengan masyarakat Viking purba
yang meyakini bahwa petir adalah manifestasi Dewa Thor (asal mula
kata Thursday yang berarti Kamis dalam bahasa Inggris atau
Doennerstag dalam bahasa Jerman. Kata Doenner sendiri
berarti petir).
Hun-Dun sendiri hendaknya ditafsirkan secara filosofis dan bukannya
hurufiah. Paham Daoisme sendiri menafsirkan Hun-Dun sebagai kondisi
alamiah yang belum dicemari oleh berbagai pandangan dan sensasi
indrawi. Karena itu, dalam Daoisme disebutkan bahwa Hun-Dun tidak
memiliki panca-indera. Jadi jelas sekali terdapat