Dubes AS Green Remehkan Baperki

Oleh Go Sien Ay



Hari Sabtu tanggal 13 Maret 2010, genaplah 7 windu berdirinya Baperki. 56 Tahun 
yang lalu di bawah pimpinan Thio Thiam Tjong sebagai ketua Partai Demokrat 
Tionghoa Indonesia di gedung Sin Ming Hui Jakarta ketika itu dengan dihadiri 
oleh 44 orang tokoh Tionghoa dari seluruh Indonesia yang menyelenggarakan rapat 
untuk pembentukan sebuah badan yang bisa memperjuangkan terciptanya suatu 
masyarakat Indonesia yang bebas dari diskriminasi rasial dan menjadikan setiap 
insan Indonesia menjadi patriot bangsa sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 
Indonesia. Para tokoh yang hadir antara lain dari Semarang, Kwik Hway Gwan, 
Pedagang, ayah Kwik Kian Djiang, Kwik Kian Gie, Kwik Kian Djien, Tan Tjien 
Lien, bos Union Trading  Company, Kwa Khay Twan, pelajar SMA Chung Hua Hui yang 
merupakan peserta termuda, pedagang Tegal bernama Tan Siang Lan, Ang Jan Gwan 
bos koran Sin Po, Siauw Giok Tjhan Pemimpin Redaksi Sunday Courier/anggota DPR, 
Drs. Go Gien Tjwan, Dr Tan Eng Tie, Mr. Oei Tjoe Tat, Mr. Yap Thiam Hien, Mr. 
Liem Koen Seng, Ir. Tan Hwat Tiang, Mr. Auwyong Peng Koen, Khoe Woen Sioe, Drs 
Kwee Hwat Djien, Mr. Phoa Thoan Hian, Mr. Tan Po Goan dari Jakarta dan 
lain-lain. Akhirnya rapat menyetujui untuk berdirinya Badan Permusjawaratan 
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Dengan aklamasi terpilih Siauw Giok Tjhan 
sebagai ketua umumnya. Penulisnya Drs. Go Gien Tjwan dan bendaharanya Ang Jan 
Gwan.

Dalam perkembangannya Baperki maju pesat dan memiliki lebih dari 100 cabang di 
seluruh Indonesia dan kurang lebih 100 sekolahan mulai TK hingga SMA. Di 
Jakarta berhasil didirikan Universitas Baperki yang memiliki beberapa fakultas 
antara lain kedokteran, kedokteran gigi, tehnik mesin, tehnik elektro, tehnik 
sipil, ekonomi, hukum, dll. Kemudian namanya berubah menjadi Universitas Res 
Publica (Ureca) yang merupakan universitas pertama yang menerapkan uang gedung 
untuk pembangunan universitas. Ide ini kemudian diikuti oleh universitas swasta 
lainnya. Ketika pembangunan gedung-gedung di kampus Grogol selesai para peserta 
Kongres Baperki tahun 1963 yang berlangsung di Senayan Jakarta, dengan dihadiri 
Presiden Soekarno, para peserta bertekad semua tak mau bermalam di hotel-hotel 
seperti biasanya, maklum kebanyakan bos, tapi mereka ingin sekali menginap di 
kampus Ureca Grogol hingga menyibukkan panitya, karena mesti menyediakan 
berpuluh-puluh kasur dan tikar serta kamar mandi dan wc darurat. Semua 
sumbangan yang diserahkan kepada Baperki untuk pembangunan kampus itu tidak 
satu sen pun yang dikorup, hingga dengan megah berdirilah kampus Universitas 
Baperki di daerah Grogol/Kyai Tapa, di mana para mahasiswa dan mahasiswinya 
ikut cancut taliwondo bekerja bakti dengan keringat bercucuran, yang belum 
pernah ada dalam pembangunan suatu kampus. Dengan penuh semangat dan 
riang-gembira mereka menyingsingkan lengan baju rela menjadi ?kuli bangunan?.  
Ada yang dengan bangga  dengan senyum simpul berkata, bahwa kelak  ia akan 
bercerita kepada anak-cucunya, bahwa  dirinya ikut andil dalam pembangunan 
kampus itu dengan ikut membanting tulang, berpeluh di bawah terik panas 
matahari dan basah kuyub di bawah tetesan air hujan. 

Di Surabaya juga berhasil didirikan Ureca cabang Surabaya dengan fakultas 
pharmasinya yang untuk pertama kali menempati sebuah tempat /gudang ...... peti 
mati. Sedang di Semarang didirikan fakultas kedokteran di Jl. Pemuda no. 130 
(sekarang menjadi gedung Jamsostek). 

Sungguh sangat disayangkan karena ketika meletus Peristiwa G-30S/PKI dengan 
bersenjatakan Surat Perintah 11 Maret 1966 Jenderal Soeharto membubarkan PKI 
dengan ormas-ormasnya. Oleh Rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, 
Baperki, Permusyawaratan Pemuda Indonesia, (PPI), Perhimpunan Mahasiswa 
Indonesia (PERHIMI dahulu bernama Ta Hsueh Hsueh Sheng Hui), Perkumpulan 
Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI) yang dahulu bernama Chung Lien Hui, 
dianggap azasnya sama atau berafiliasi dengan PKI, maka dibubarkan oleh rezim 
tersebut. Banyak para pengurus atau anggota organisasi-organisasi itu ditangkap 
lalu dijadikan tahanan politik (tapol) disekap di berbagai kamp pengasingan. 
Dari hasil interogasi, tiada seorang pun  yang diajukan  ke pengadilan. 
Semuanya adalah pendukung setia Presiden Soekarno dan melaksanakan semua 
ajarannya dengan konsisten dan konsekuen. Kalau tokh ada yang menjadi aktivis 
PKI itu adalah tindakan beberapa oknum saja. Sama sekali tiada bukti konkrit, 
bahwa organisasi-organisasi tersebut adalah onderbouw PKI atau berafiliasi 
dengan PKI atau di bawah perlindungan PKI.

 

Dalih lain yang dilimpahkan kepada Baperki ialah karena Siauw Giok Tjhan Ketua 
Umum Pusat Baperki duduk dalam Dewan Revolusi Indonesia yang diketuai oleh 
Letkol Untung, jadi Baperki tersangkut dalam  pemberontakan G-30S/PKI. Padahal 
begitu mendengarkan namanya dicantumkan dalam Dewan Revolusi Indonesia, Siauw 
langsung meluruskan, bahwa pencantuman namanya dalam Dewan Revolusi Indonesia 
itu adalah  di luar persetujuan dan tanpa sepengetahuannya. Jadi itu merupakan 
suatu fait acompli dengan main asal comot di luar kehendak dan keinginan Siauw. 
Namun semua penjelasan dan bantahan Siauw itu tak dihiraukan oleh Rezim Orde 
Baru yang ternyata berbau rasialistis. 

 

Yang menjadi pertanyan ialah  apakah dengan duduknya beberapa  anggota militer  
 dalam Dewan Revolusi Indonesia  seperti misalnya Brigjen Amir Machmud, Mayjen 
Basuki  Rachmat dari Angkatan Darat. Laksamana Madya Laut Martadinata, Kolonel 
Laut Samsoe Soetjipto dari Angkatan Laut, Laksamana Madya Udara Omar Dhani, 
Komodor Udara Leo Watimena dari Angkatan Udara. Mayjen. KKO Hartono  juga 
beberapa anggota kepolisian misalnya Inspektur Jendral Polisi Soetjipto 
Judodihardjo dan Brigjen Soetarto yang mungkin juga di luar pengetahuan dan 
kehendak serta persetujuan mereka. Apakah dengan demikian institusi Angkatan 
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian harus dibubarkan 
pula? Begitu juga duduknya K.H. Sirajudin Abbas (golongan Agama), Bambang 
Kusnohadi dari PPMI, Dr. J. Leimena dari Parkindo, Rachman dari Front Nasional 
dan Karim DP dari PWI, dalam Dewan Revolusi Indonesia yang  mungkin di luar 
persetujuan dan keinginan mereka karena nama-nama mereka dicantumkan begitu 
saja, juga harus dilaksanakan pembubaran partai dan organisasi-organisasi 
tersebut? Mengapa hal ini tak dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten? 
Bukankah pembubaran organisasi-organisasi  tersebut di atas yang didominir oleh 
etnis Tionghoa suatu tebang pilih yang rasialistis?

 

Yang sungguh mengherankan penulis ialah adanya sebuah Airgram dari Duta Besar 
AS  untuk Indonesia, Marshall Green untuk Washington pada tanggal 10 Agustus 
1966. 



Menurut buku berjudul ?Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan 
Konspirasi G30S 1965? yang ditulis Redaksi Hasta Mitra, pada halaman 404 dan 
405 terbaca: ?Pada tanggal 10 Agustus 1966, Dubes Green mengirim Airgram A-74 
yang menginformasikan data lain dari kehancuran PKI kepada State Department of 
USA yang  ditulis oleh Marten dan ditandatangani oleh Masters.? 

 

Airgram yang ditandatangani oleh Green menunjukkan bahwa sebuah versi surat 
tanpa lambang (lambang kedutaan dihilangkan) yang berisi daftar nama A-398 yang 
telah dibuat kedutaan bagi pemerintah Indonesia pada akhir Desember 1965 dan 
digunakan oleh otoritas Indonesia yang kekurangan informasi tentang pimpinan 
PKI saat ini (daftar  nama pimpinan organ-organ yang berafiliasi dengan PKI  
seperti Partindo dan Baperki juga diberikan kepada para pejabat Indonesia atas 
permintaan mereka). Partindo adalah sebuah partai kecil sayap kiri yang 
berhubungan dekat dan memiliki banyak pengaruh kepada Baperki. Baperki 
merupakan sebuah perkumpulan orang-orang Cina rendahan. 


Dari Airgram Marshall Green Dubes AS untuk Indonesia itu dapat disimak, bahwa 
kedutaan AS ternyata menjadi supplier nama-nama para pimpinan 
organisasi-organisasi yang dianggap atau diindikasi berafiliasi dengan PKI, 
untuk Pemerintah Rezim Orde Baru. Ini merupakan suatu fitnah, karena tanpa 
bukti pendukung yang otentik. Padahal fitnah itu adalah lebih kejam dari 
pembunuhan seperti dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution.

 

Yang sungguh mengherankan dan mengejutkan penulis ialah kedunguan Green sebagai 
seorang dubes karier, ternyata penilaiannya tentang Baperki keliru. Apakah 
misalnya seorang  Siauw Giok Tjhan yang telah menjadi anggota legislatif sejak 
zaman Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)  hingga DPR-Gotong Royong 
sepanjang usia RI tanpa henti dan merupakan anggota terlama dalam sejarah DPR 
RI, hanya diselingi ketika ia menjadi Menteri Negara, termasuk kategori Cina 
rendahan? Apakah Mr. Tan Po Goan, Mr. Oei Tjoe Tat yang pernah menjadi  anggota 
Konstituante dan Menteri  serta Mr. Yap Thiam Hien yang juga anggota 
Konstituante dan termasuk salah seorang jurist internasional dari 39 juris 
terkemuka di dunia juga termasuk Cina rendahan? Apakah  Drs. Go Gien Tjwan, 
Sekretaris Jendral Pusat Baperki seorang sosiolog terkemuka serta pernah 
menjadi anggota Konstituante tergolong juga sebagai Cina rendahan? Apakah Thio 
Thiam Tjong pedagang besar yang pernah menjadi penasihat Letnan Jenderal Van 
Mook serta Mr. Ko Kwat Tiong mantan Ketua Baperki Semarang dan Tan Hoei Liat 
dari Purbalingga juga dapat dikategorikan sebagai Cina rendahan? Padahal 

mereka itu putra opsir-opsir Tionghoa. Masih banyak lagi tokoh Tionghoa yang 
masuk Baperki dan bila disebut satu persatu akan sangat panjang daftarnya. 
Apakah mungkin sebuah perkumpulan Cina rendahan mampu mendirikan 
universitas-universitas bermutu tinggi di Jakarta, Surabaya, dan Semarang serta 
memiliki ratusan sekolah? Selain itu dalam Pemilihan Umum pertama di tahun 1955 
untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante  Baperki telah berhasil 
meraih suara masing-masing sebanyak 178.259 dan 156.505 suara, hingga bisa 
menempatkan seorang wakil di DPR yakni Siauw Giok Tjhan  untuk daerah pemilihan 
Jawa Tengah  kemudian ditambah lagi seorang Jaksa Ang Tjiang Liat, sedang untuk 
Konstituante telah terpilih 9 anggota Baperki. Apakah mungkin sebuah 
perkumpulan Cina rendahan mampu mendapat kepercayaan begitu luas dari para 
konstituennya yang tersebar di seluruh Indonesia dan ketika mengadakan 
Kongresnya tahun 1963 di Jakarta mendapat kehormatan dikunjungi oleh Presiden 
Soekarno yang menyampaikan amanatnya?

 

Penilaian Green yang begitu meremehkan Baperki dengan menganggap bahwa Baperki 
itu hanya sebuah perkumpulan Cina rendahan sungguh merupakan suatu blunder dari 
seorang duta besar karier yang berpengalaman. Apakah ia tidak mendapat cukup 
informasi dari pendahulunya Dubes Howard P. Jones dan stafnya? Sebagai seorang 
diplomat karier seharusnya Green, sebelum membuat pernyataan/penilaian terhadap 
sesuatu hal mestinya ia melakukan penelitian lebih dahulu dan mengumpulkan data 
 yang lengkap sehingga penilaiannya objektif. Siapa pun kalau hendak bersikap 
fair, mau tak mau harus mengakui dan melihat fakta konkrit, bahwa Baperki 
adalah organisasi massa masyarakat Indonesia yang terbuka untuk seluruh Warga 
Negara Indonesia tanpa memandang kesukuannya, etnisitasnya, ideologinya, 
agamanya, jabatannya, statusnya, dan latar belakangnya. Sejak zaman Hindia 
Belanda hingga Republik Indonesia, belum pernah ada organisasi di kalangan 
masyarakat Tionghoa yang begitu berpengaruh, memperhatikan dunia pendidikan, 
ikut mencerdaskan Bangsa Indonesia, dan memiliki cabang serta anggota dalam 
jumlah besar yang tersebar di seluruh Nusantara seperti Baperki.  

 

 

 
 

Kirim email ke