----- Original Message ----- 
From: SI Sinergi 
To: sa...@netvigator.com 
Sent: Tuesday, November 10, 2009 3:48 PM
Subject: tulisan


CICAK  VS  BUAYA

Oleh : Tan Swie Ling

Setidaknya  dalam  rentang waktu beberapa bulan belakangan ini telinga kita 
akrab dengan ungkapan kata "Cicak vs Buaya". Bahkan seiring dijebloskannya dua 
pinmpinan non aktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, ke dalam 
ruang penahanan polisi (29/09/09), essensi ungkapan tersebut makin menebar 
kesegenap penjuru persada. Seolah-olah berjejal berebut masuk kerelung rasa 
keadilan masyarakat sampai menggelumbang ke dalam rupa sebuah protes, berupa 
pembelaan dan dukungan kepada sepasang tokoh KPK tersebut. Dan bahkan Tim 8 
yang dibentuk oleh Presiden, yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution, dalam 3 
butir rekomendasinya seputar masalah Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah 
yang dilaporkan kepada Presiden SBY menyatakan:  (1) Kasus Bibit dan Chandra 
tidak memiliki cukup bukti untuk diteruskan.  (2)  Andaikata kasus penyuapan 
memang ada, bukti penyuapan yang dimiliki kepolisian terputus hanya sebatas 
Anggodo Widjojo dan Ary Muladi. Dari Ary Muladi atau dari seseorang bernama 
Yulianto ke KPK tidak ada bukti. (3) Kasus Bibit dan Chandra terlalu dipaksakan 
untuk diajukan ke pengadilan dengan sangkaan  penyalahgunaan kewenangan. Kasus 
itu dinilai lemah.   Benarkah sepasang petinggi non aktif KPK tsb. lambang 
kebersihan jiwa di tengah kumpulan hati yang hitam? Sehingga sampai-sampai  
memperoleh simpati dan dukungan yang luar biasa?   Lalu, fenomena apa 
sebenarnya ungkapan kata "Cicak vs Buaya" itu?

Kalau saja kita imajinasikan "Cicak vs Buaya" sebagai sepasang sosok petinju 
yang sedang menjalani timbang badan, kita segera dihadapkan pada sebuah 
ketimpangan berat badan yang sangat luar biasa. Berat seekor cicak berkisar 
seputar 10 - 15 gram saja, sedangkan berat seekor buaya sekitar 2-300 kilo 
gram. Sepasang berat badan yang sangat timpang dan karenannya tidak patut untuk 
diperbandingkan bagi dua pihak yang sedang berseteru. Tap toh kenyataannya 
ungkapan kata tersebut diangkat justru oleh oknum petinggi Polri dalam kaitan 
perseteruannya dengan oknum petinggi KPK. Tentu saja makna ungkapan kata "Cicak 
vs Buaya" sukar ditafsirkan lain selain sebuah ungkapan arogansi yang 
kebablasan dari okmum petinggi Polri yang ditujukan kepada oknum petinggi KPK. 
Dengan ungkapan "Cicak vs Buaya" tidaklah bisa ditafsirkan lain selain oknum 
petinggi Polri tersebut ingin berkata;   "Ah elu, berani-beraninya lu nyeggol 
gua. Gua kepret jadi   debu lu nanti!"   Sebuah arogansi yang nyatanya 
dirasakan oleh pucuk pimpinan institusi Polri sendiri.  Sehingga memaksa 
Kapolri menyampaikan permintaan maaf seiring klarifikasinya, bahwa "Cicak" 
tidak terdiri dari orang-orang KPK saja melainkan juga Polri. Karena 
sebagaimana nyatanya 128 orang penyidik KPK terdiri dari anggota Polri.

Di waktu-waktu sebelum ini tidak jarang kita menemui perseteruan antar korp di 
kalangan sesama komunitas  penggenggam senjata. Tapi, pada umumnya  perseteruan 
dimaksud terjadi pada level prajuit. Yang oleh akibat tingkat pendidikan dan 
tingkat pergaulannya membuatnya bertemperamen eksplosiv. Sehingga hanya karena 
ekspresi wajah seseorang yang membuat hatinya tidak berkenan saja sudah bisa 
membuat emosinya tidak terkendali dan meledak dalam wujud adu jotos atau bahkan 
adu tembak antar kesatuan masing-masing. Sementara "Cicak vs Buaya" adalah 
perseteruan elite institusi Polri dengan institusi KPK.  Sepasang institusi 
yang sama-sama merupakan garda depan yang mengawal dan memandu pelaksanaan 
penegakan hokum di negeri ini.  Jadi, apa yang membuat oknum-oknum petinggi 
isntitusi terlibat perseteruan ala prjurit? Mungkinkah oleh sebab sama-sama 
petinggi institusi penegakan hokum, maka rivalitas mereka berkisar pada lomba 
unggul-unggulan mengejar prestasi melakukan  pemberantasan korupsi yang lebih 
tinggi? Tapi, apa iya kalau kesamaan semangat memberantas korupsi, bisa 
berakibat lomba semangat sejenis melakukan pemberantasan korupsi mengakibatkan 
rasa gemas dan amarah seperti terungkap pada ungkapan "Cicak vs Buaya"? 
Siapapun tahu dan mengerti ungkapan "Kucing vs Harimau" adalah sebuah keyakinan 
kesanggupan sang harimau untuk menghancur-lumatkan sang kucing. Sehingga 
ungkapan "Cicak vs Buaya" tidak lain adalah kegeraman dan kemarahan yang luar 
biasa dari sesosok mahluk yangmemiliki kekuatan dan kemampuan luar biasa untuk 
menghancur-leburkan sang Cicak. Mengapa oknum petinggi Polri dimaksud begiru 
geram terhadap oknum petinggi KPK, kalau permasalahannya hanya seputar lomba 
melaksanakan semangat baik melakukan pemberantasan korupsi? Di sini barangkali 
kalau kita ingin melihat hakekat pertarungan oknum petinggi polri vs oknum 
petinggi KPK.  Bahwa "Cicak vs Buaya" pada hakekatnya adalah gambaran sebuah 
negeri yang mengapung di permukaan samudera  korupsi. Korupsi! Karena kita 
berada di tengah samudera korupsi,  maka  lomba mengamankan/menyelamatkan 
korupsi itulah sesungguhnya yang  tengah terjadi.  Sekali-kali bukan lomba 
melaksanakan pemberantasan korupsi.  

Karena itu terlepas dari kesungguhan pelaksanaannya, "Ganyang Mafia", "ganyang 
Kemunafikan",dan menjadikan "Pemberantasan Mafia HUkum" sebagai prioritas 
program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, merupakan pilihan arah 
langkah yang benar. Karena seperti disebut sendiri  oleh Presiden. "Yang saya 
sebut dengan mafia dalam arti yang luas adalah mereka-mereka yang melakukan 
kegiatan merugikan pihak lain, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, 
jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, 
pungutan-pungutan yang tidak semestinya, yang merusak rasa keadilan, juga 
mengakibatkan kerugian material, bagi mereka yang menjadi kurban , dan 
mendatangkan keuntungan yang tidak halal, tidak legal". Dan lewat mekanisme 
praktik Mafia Hukum demikian itulah korupsi terus berkembang subur di negeri 
ini. Padahal, korupsi bagi sebuah negeri bagaikan kanker bagi sosok tubuh 
manusia.  Sehingga berkembang liarnya mekanisme mafia hokum pada sebuah negeri, 
akan sama halnya dengan berkembang biaknya sel kanker pada tubuh seseorang. 
Akan membuat tubuh rusak dan berakhir dengan kebinasaan. Karena itu sebagai 
wujud kesungguhan melakukan pemberantasan korupsi seperti telah diwujudkannya 
dalam rupa pembentiukan lembaga KPK, Presiden seyogianya berani dan tegas 
menyatakan. Bahwa korupsi bukan sekedar pelanggaran atau kejahatan di bidang 
hukum semata, melainkan bahwa  korupsi adalah musuh Rakyat, musuh Bangsa dan 
musuh pembangunan Indonesia, dengan segala konsekwensi hukumnya. Karena 
faktanya seseorang bukan siapa-siapa seperti Anggodo Widjojo, melalui mekanisme 
mafia hukum berhasil malang-melintang menghubungi pejabat instansi A, mengatur 
dan memerintahkan pejabat di instansi B, mengadu domba sesama oknum pejabat 
antar intansi untuk kemudian merekayasakan keruntuhan  suatu lembaga 
pemberantasan korupsi demi  kelanggengan dan kejayaan kerajaan  korupsi itu 
sendiri.

 

 





--------------------------------------------------------------------------------



Internal Virus Database is out of date.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 9.0.1 / Virus Database: 270.14.42/2473 - Release Date: 11/01/09 
05:14:00

Kirim email ke