----- Original Message ----- From: Han Hwie Song To: Tionghoa-net ; Nasional-list ; K. Prawira ; Jonathan Goeij ; C.T. Chan Sent: Monday, March 06, 2006 4:15 AM Subject: Re: Han Hwie-Song: Perlawatan saya ke Jawa Jan-Febr. 2006 (bagian sebelas)
Perlawatan saya ke Jawa Jan-Febr. 2006 (bagian sebelas) Baik pada kesempatan ini saya akan menulis secara singkat sejarah terjadinya Baba dan Nyonya (Peranakan) dan Totok, saya tahu bahwa tulisan ini meskipun tidak cukup, namun saya harep agar tulisan ini dapat memberi kesan perkembangan antar kedua golongan ini. Siapa diantara pembaca yang ingin memperdalam sejarah orang Tionghoa, saya silahkan untuk membaca buku-buku yang chusus tentang ini. Karena tujuan saya disini ialah membicarakan teman-teman saya yang bertemu dengan saya dalam setiap kunjungan saya ke Indonesia. Orang Tionghoa berdatangan ke Nusantara jauh sebelum VOC datang, karena pertama-tama wanita-wanita Tionghoa belum ada atau jumblahnya masih sangat kurang. Peraturan kaisar Tiongkok doeloe wanita dilarang ikut beremigrasi ke Hindia Belanda, bahkan pada permulaan dilarang penduduk Tiongkok keluar negeri dan kalau tertangkap bisa dibunuh mati. Imigran-imigran lelaki Tionghoa ini menika dengan orang-orang Jawa, di Jakarta dengan orang-orang Sunda atau Bali, dengan demikian berkembangbiaklah orang Tionghoa di Indonesia. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran ini dinamakan Peranakan atau Baba dan Nyonya. Karena orang-orang Tionghoa ini mempunyai keluarga di negara yang baru, maka mereka menetap di Hindia Belanda. Berlainan dengan orang-orang Tionghoa yang beremigrasi ke USA, karena kebanyakan dari mereka ini tidak menikah dengan wanita-wanita Barat, tidak mempunyai keluarga, maka sesudah mereka mempunyai uang mereka kembali ke daratan Tiongkok. Tanpa wanita-wanita pribumi yang menika dengan orang-orang Tionghoa jumblah penduduk Tionghoa tidak akan ada seperti yang sekarang ini ialah berjumblah kira-kira lima juta, 3% dari penduduk Indonesia. Disini harus diakui bahwa perkembangan pendudduk Tionghoa di Indonesia, wanita-wanita Indonesia ini memainkan peranan sangat penting. Karena adanya pembagian dari bangsa-bangsa oleh pemerintah VOC dan peraturan wijkenstelsel dan passenstelsel (harus minta ijin kalau mau keluar dari wijk-Petjinan) orang-orang peranakan mau tidak mau kawin dengan golongannya sendiri, meskipun ini adalah pertama tujuan dari orang tua mereka. Pada achir tahun abad kesembilan belas, pemerintah Inggris minta agar wanita Tionghoa boleh ikut ke Nan Yang, karena kebudayaan Tionghoa sangat mementingkan keluarga, agar mereka bisa tenang bekerja dan berdagang di Nan-Yang dan tidak lagi ingin kembali ke negara asalnya. Sejak waktu itu mereka dapat medatangkan istri dan keluarganya. Dan dengan kedatangan wanita-wanita dari daratan Tiongkok mereka kawin dengan bangsanya sendiri. Mereka bicara dirumah dengan keluarganya bahasa dialek, asal mereka datang di daratan Tiongkok. Orang-orang ini dinamakan Singkeh yang berarti tamu baru, kemudian dinamakan Totok. Orientasi mereka ialah ke Tiongkok dan anak-anaknya disekolahkan sekolah berbahasa Tionghoa. Karena jumblah orang Totok sudah banyak, maka orang yang baru datang meskipun mereka kawin dengan wanita Jawa, mereka bicara bahasa dialek dan istrinya lama-kelamaan juga pandai bicara bahasa dialek Tiongkok. Dengan perkembangan ini timbullah di Hindia Belanda dan di negara-negara lain di Nan Yang dua golongan yang disebut Baba-Nyonya (Peranakan) dan Totok. Di Website dari harian The Jakarta Post dapat dibaca sebagai berikut: "Of the so called natives of Indonesia, archeologists have speculated that the first people to populate Indonesia migrated from mainland China some 1000 years ago and inhabited a stretch of islands along the equator, later known as Nusantara." Maka pertanyaan saya ialah kenapa mengingat tulisan dari The Jakarta Post dan pula orang-orang Tionghoa sudah ratusan tahun tinggal di Indonesia dan pula asalnya mempunyai ibu orang Asli, atau pribumi, mengapa mereka masih tetap merupahkan persoalan untuk menjadi orang Indonesia? Dari permulaan abad kedua puluh, generasi muda peranakan yang telah mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari orangtuanya dan diantara mereka mendapatkan pendidikan Barat (Belanda) muncul bersama-sama dengan orang Indonesia sebagai elite baru. Mereka mengambil pekerjaan dilapangan yang baru menurut kesenangan mereka seperti guru, perawat, cashier, pegawai kantor2, ahli menengah technik, dokter, insinyur, jurist, journalist, econom, penulis literatuur, roman, silat, artis dan politik. Mereka meninggalkan perdagangan yang dahulu dikerjakan oleh ayahnya. Orang-orang totok karena tidak pandai bahasa Belanda dan kurang cakap bahasa Melayu, mereka tidak bisa bekerja di perusahaan Belanda atau perusahaan yang berdagang dengan luar negeri, karenanya kaun totok tetap mengusahakan perdagangan sampai di pedesaan, dan perdagangan ini ternyata sukses. Dr. Han Hwie-Song Breda, 27-2-2006 Holland [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/