[budaya_tionghua] Fw: Menyusuri Kampung Bersejarah Cina Benteng
- Original Message - From: den suta To: tionghoa-...@yahoogroups.com Sent: Monday, April 19, 2010 11:21 AM Subject: [t-net] CIBEN lagi... [ Jawa Pos, Senin, 19 April 2010 ] Menyusuri Kampung Bersejarah Cina Benteng, Tangerang, yang Terancam Digusur Dupa di Teras Rumah, Kertas Mantra Menempel di Pintu Kampung Cina Benteng tampak seperti museum hidup di Kota Tangerang. Kampung itu ada sejak ratusan tahun lalu. Masyarakatnya menghuni kawasan di sepanjang bantaran Sungai Cisadane. Demi alasan penghijauan, kampung tersebut bakal digusur dan warga dipaksa pergi. THOMAS KUKUH-IGNA, Jakarta --- SEKILAS, tak ada yang istimewa dari perkampungan di bantaran Sungai Cisadane, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang, tersebut. Kondisinya tak jauh berbeda dengan kawasan bangunan di pinggir sungai pada umumnya. Memprihatinkan dan berdesakan. Selain itu, sempit, kumuh, dan sumpek. Sebagian besar rumah di kawasan tersebut dibuat dari gedek. Banyak yang reot. Kalaupun ada yang sudah ditembok dengan bata, bangunannya tidak mulus lagi. Catnya memudar. Bahkan, banyak rumah yang tidak dicat. Selain itu, mayoritas rumah di sana hanya berlantai tanah. Kendati begitu, ada yang sedikit berbeda dan unik di kampung tersebut. Di teras hampir semua rumah dipasang dupa. Lalu, di atas pintu ditempel kertas berwarna kuning. Kertas kecil berukuran sekitar 20 x 6 sentimeter itu bertulisan huruf Tiongkok berwarna merah. Kata leluhur kami, itu mantra untuk menolak bala. Tapi, saya nggak tahu namanya apa. Cuma nurut kata orang tua, kata Loa Sun Yam, 39, warga yang tinggal di RT 04/RW 04, saat ditemui Jawa Pos kemarin siang (18/4). Ya, hampir semua penghuni kampung di bantaran sungai tersebut adalah warga keturunan Tionghoa. Kampung tua yang diperkirakan ada sejak 1830 itu lebih dikenal dengan sebutan Kampung Cina Benteng atau disingkat Cinben. Luasnya sekitar 10 hektare. Meskipun kami keturunan (Tionghoa, Red), nggak ada yang kaya. Semuanya hidup susah, keluh wanita yang memiliki nama lain Meliana itu. Dia menceritakan, sebagian besar warga kampung tersebut berprofesi sebagai pedagang kecil, seperti pembuat roti keliling dan pedagang yang meracang. Banyak pula yang menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar di kampung sekitar. Sisanya adalah tukang rongsokan dan penganggur, tutur wanita berkulit gelap itu. Nah, beberapa hari terakhir, kesusahan warga kampung tersebut menjadi-jadi. Kini mereka terus dibayangi perasaan waswas karena permukiman di bantaran sungai itu menjadi target penggusuran Pemkot Tangerang. Puncaknya, Selasa lalu (13/4), ratusan aparat Satpol PP Tangerang membongkar dan merobohkan beberapa pabrik serta peternakan babi di sana. Karena para warga terus melawan, rumah mereka selamat. Karena ricuh, Pemkot Tangerang menarik satpol PP dan menunda pembongkaran itu. Pasca pembongkaran, warga meningkatkan keamanan. Kini kami rutin ronda, apalagi malam, tutur Ketua RT 04/RW 04 Edi Liem saat ditemui di Wihara Maha Bodhi yang berlokasi di sekitar bantaran Sungai Cisadane. Pria itu ditunjuk sebagai koordinator warga untuk masalah penggusuran tersebut. Dia mengatakan, pembongkaran Selasa lalu dilakukan secara mendadak. Tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Maka, kami sekarang siaga terus, ucap pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang ayam keliling tersebut. Mewakili warga, Edi berharap Pemkot Tangerang tidak lagi menggusur kampung tersebut dengan alasan apa pun. Dia beralasan, Cinben adalah kampung tua yang punya nilai sejarah. Seharusnya, papar dia, pemerintah bisa mengelola kampung itu sebagai salah satu tujuan wisata, bukan menghilangkan dengan alasan menjadikannya lahan hijau dan melebarkan Sungai Cisadane. Edi mengakui, warga umumnya tak memiliki surat untuk tanah dan rumah yang ditempati. Tapi, menurut dia, dulu warga keturunan Tionghoa di kampung tersebut menjadi korban diskriminasi. Karena itu, mereka takut untuk mengajukan perizinan tanah dan bangunan. Dulu kami terasing. Maka, tidak ada yang berani, ucap dia. Dalam wihara megah yang dipenuhi lampion tersebut, Edi berkisah singkat soal sejarah kampung itu. Dulu, di dekat sungai (Cisadane, Red) ada benteng Belanda, katanya. Kisah Cinben dimulai sejak ratusan tahun lalu. Menurut Edi, sejak awal abad ke-19 atau 1800-an, sudah ada warga keturunan Tionghoa yang menetap di bantaran sungai itu. Keterangan tersebut diperkuat dengan Wihara Maha Bodhi (Tjong Tek Bio) yang dibangun pada 1830. Tahun pembuatan tempat ibadah tersebut tercetak jelas di atas rangka bangunan. Menurut dokumen, wihara itu dibangun tuan tanah bernama Sauw Sian Tee. Wihara ini tempat sembahyang banyak orang. Tahun itu, tentu sudah banyak umat yang tinggal di sekitar wihara, papar Edi. Karena erosi, bantaran Sungai Cisadane yang dulu lebar terkikis. Wihara itu pun terancam. Demi alasan keselamatan, wihara dipindahkan ke area yang lebih menjorok. Pemindahan tersebut dilakukan pada 1966. Wihara
Re: [budaya_tionghua] Fw: Menyusuri Kampung Bersejarah Cina Benteng
Sayang sekali pemukiman bersejarah akan hilang. Padahal kalau di tata dengan baik bisa menjadi ke unikan pariwisata. Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...! -Original Message- From: ChanCT sa...@netvigator.com Date: Mon, 19 Apr 2010 12:20:22 To: GELORA_Ingelor...@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Fw: Menyusuri Kampung Bersejarah Cina Benteng - Original Message - From: den suta To: tionghoa-...@yahoogroups.com Sent: Monday, April 19, 2010 11:21 AM Subject: [t-net] CIBEN lagi... [ Jawa Pos, Senin, 19 April 2010 ] Menyusuri Kampung Bersejarah Cina Benteng, Tangerang, yang Terancam Digusur Dupa di Teras Rumah, Kertas Mantra Menempel di Pintu Kampung Cina Benteng tampak seperti museum hidup di Kota Tangerang. Kampung itu ada sejak ratusan tahun lalu. Masyarakatnya menghuni kawasan di sepanjang bantaran Sungai Cisadane. Demi alasan penghijauan, kampung tersebut bakal digusur dan warga dipaksa pergi. THOMAS KUKUH-IGNA, Jakarta --- SEKILAS, tak ada yang istimewa dari perkampungan di bantaran Sungai Cisadane, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang, tersebut. Kondisinya tak jauh berbeda dengan kawasan bangunan di pinggir sungai pada umumnya. Memprihatinkan dan berdesakan. Selain itu, sempit, kumuh, dan sumpek. Sebagian besar rumah di kawasan tersebut dibuat dari gedek. Banyak yang reot. Kalaupun ada yang sudah ditembok dengan bata, bangunannya tidak mulus lagi. Catnya memudar. Bahkan, banyak rumah yang tidak dicat. Selain itu, mayoritas rumah di sana hanya berlantai tanah. Kendati begitu, ada yang sedikit berbeda dan unik di kampung tersebut. Di teras hampir semua rumah dipasang dupa. Lalu, di atas pintu ditempel kertas berwarna kuning. Kertas kecil berukuran sekitar 20 x 6 sentimeter itu bertulisan huruf Tiongkok berwarna merah. Kata leluhur kami, itu mantra untuk menolak bala. Tapi, saya nggak tahu namanya apa. Cuma nurut kata orang tua, kata Loa Sun Yam, 39, warga yang tinggal di RT 04/RW 04, saat ditemui Jawa Pos kemarin siang (18/4). Ya, hampir semua penghuni kampung di bantaran sungai tersebut adalah warga keturunan Tionghoa. Kampung tua yang diperkirakan ada sejak 1830 itu lebih dikenal dengan sebutan Kampung Cina Benteng atau disingkat Cinben. Luasnya sekitar 10 hektare. Meskipun kami keturunan (Tionghoa, Red), nggak ada yang kaya. Semuanya hidup susah, keluh wanita yang memiliki nama lain Meliana itu. Dia menceritakan, sebagian besar warga kampung tersebut berprofesi sebagai pedagang kecil, seperti pembuat roti keliling dan pedagang yang meracang. Banyak pula yang menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar di kampung sekitar. Sisanya adalah tukang rongsokan dan penganggur, tutur wanita berkulit gelap itu. Nah, beberapa hari terakhir, kesusahan warga kampung tersebut menjadi-jadi. Kini mereka terus dibayangi perasaan waswas karena permukiman di bantaran sungai itu menjadi target penggusuran Pemkot Tangerang. Puncaknya, Selasa lalu (13/4), ratusan aparat Satpol PP Tangerang membongkar dan merobohkan beberapa pabrik serta peternakan babi di sana. Karena para warga terus melawan, rumah mereka selamat. Karena ricuh, Pemkot Tangerang menarik satpol PP dan menunda pembongkaran itu. Pasca pembongkaran, warga meningkatkan keamanan. Kini kami rutin ronda, apalagi malam, tutur Ketua RT 04/RW 04 Edi Liem saat ditemui di Wihara Maha Bodhi yang berlokasi di sekitar bantaran Sungai Cisadane. Pria itu ditunjuk sebagai koordinator warga untuk masalah penggusuran tersebut. Dia mengatakan, pembongkaran Selasa lalu dilakukan secara mendadak. Tidak ada pemberitahuan lebih dulu. Maka, kami sekarang siaga terus, ucap pria yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang ayam keliling tersebut. Mewakili warga, Edi berharap Pemkot Tangerang tidak lagi menggusur kampung tersebut dengan alasan apa pun. Dia beralasan, Cinben adalah kampung tua yang punya nilai sejarah. Seharusnya, papar dia, pemerintah bisa mengelola kampung itu sebagai salah satu tujuan wisata, bukan menghilangkan dengan alasan menjadikannya lahan hijau dan melebarkan Sungai Cisadane. Edi mengakui, warga umumnya tak memiliki surat untuk tanah dan rumah yang ditempati. Tapi, menurut dia, dulu warga keturunan Tionghoa di kampung tersebut menjadi korban diskriminasi. Karena itu, mereka takut untuk mengajukan perizinan tanah dan bangunan. Dulu kami terasing. Maka, tidak ada yang berani, ucap dia. Dalam wihara megah yang dipenuhi lampion tersebut, Edi berkisah singkat soal sejarah kampung itu. Dulu, di dekat sungai (Cisadane, Red) ada benteng Belanda, katanya. Kisah Cinben dimulai sejak ratusan tahun lalu. Menurut Edi, sejak awal abad ke-19 atau 1800-an, sudah ada warga keturunan Tionghoa yang menetap di bantaran sungai itu. Keterangan tersebut diperkuat dengan Wihara Maha Bodhi (Tjong Tek Bio) yang dibangun pada 1830. Tahun pembuatan tempat ibadah tersebut tercetak jelas di atas rangka bangunan