----- 原始郵件----- 寄件者: Harsutejo Sutedjo 收件者: 傳送日期: 2010年9月1日 21:07
Membaca buku Nani Nurani Affandi “Penyanyi Istana, Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno” Galangpress, Yogyakarta, 2010, 400 halaman Bagian Dari Tragedi 1965 (Catatan Harsutejo) Selama ini ada sejumlah buku memoir yang ditulis oleh korban tragedi 1965 maupun kumpulan kesaksian mereka, di antaranya oleh kaum perempuan. Mereka umumnya berasal dari organisasi kiri atau yang dianggap kiri. Sering buku-buku itu menceritakan kepedihan luar biasa yang menimpa mereka yang sama sekali tidak berdosa berupa perendahan harkat manusia dan harkat perempuan, penyiksaan yang mengarah pada pelecehan seksual, perkosaan beramai-ramai maupun dalam jangka panjang, dan bahkan pembunuhan. Kisah-kisah itu sering mengerikan dan mendirikan bulu kuduk. Secara munafik sang rezim menyebutnya atas nama Pancasila. Buku ini tidak menceritakan hal-hal dahsyat semacam itu, tetapi cukup menarik di antaranya karena ditulis oleh seorang penyintas tragedi 1965 yang tidak berasal dari golongan kiri (menurutnya ia disebut sebagai borjuis oleh beberapa ibu Gerwani), bahkan ia tidak berorganisasi apa pun yang berbau politik, dengan begitu ia menulisnya dengan kacamata berbeda, kental dengan aspek kemanusiaan dan gambaran tindak kesewenangan rezim yang berkuasa. Buku dibuka dengan sejumlah pengantar yang cukup banyak sampai makan 44 halaman dari sejumlah tokoh LBH yang pernah membelanya dalam perkara KTP seumur hidup, sampai dari beberapa orang dekat penulis. Selanjutnya tentang dirinya yang dididik dalam lingkungan Islam taat yang modern sampai ia menjadi penyanyi dan penari di Istana Cipanas pada 1962-1965, ketika itu ia bermukim di Cianjur. Dari situ ia kenal banyak tokoh terkemuka. Pada Juni 1965 ia pindah dan bekerja di Jakarta. Kegiatannya dalam kesenian masih berlanjut, bahkan ia pun kenal dengan Istana Cendana-nya Suharto sampai 1968 sebelum ia ditangkap. Sebelum pindah ke Jakarta ia sempat diundang dalam ulang tahun PKI 1965 di Cianjur untuk menyanyi dan menari, sesuatu yang dilakukannya kepada siapa saja yang mengundangnya. Di zaman edan Orba hal ini sudah dapat dijadikan cukup buklti sebagai keterlibatannya bukan saja dengan PKI tapi juga dengan G30S. Tuduhan yang disandangnya pun cukup berat “sebagai kader PKI yang diselundupkan,” ketika itu ia berumur 27 tahun. Ia ditahan sebagai tapol, dari satu tempat tahanan ke tempat tahanan yang lain, sampai mendarat di penjara Bukitduri, Jakarta. Sebagai seorang muda yang dididik keras menghargai moral kejujuran, ia pun menjadi jujur dan polos, bahkan sering naif. Di situ ia sering mengalami masalah berhadapan dengan para pejabat dan sesama tapol yang jauh lebih berpengalaman, juga dalam memasang berbagai macam topeng. Ia pun berhadapan dengan berbagai intrik dan semacam komplotan di penjara Bukitduri, apalagi karena ia selalu rapi dan wangi. Ia tidak pernah mengalami siksaan fisik, tetapi kenyang dengan siksaan mental. Beruntung di Bukitduri pula ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasional yang dapat menjadi gurunya, ibunya, pelindungnya. Ia belajar bahasa Inggris dari Ibu Carmel Budihardjo, keterampilan dari Ibu Masye Siwi (tokoh Gerwani), Ibu Salawati Daud (walikota perempuan Indonesia pertama dari Makassar dan anggota DPR), dari Ibu Mudigdio (anggota DPR, mertua DN Aidit), ia bahkan belajar mengaji lanjutan dan menafsirkan isinya dari tokoh sepuh ini. Dari Ibu Mudikdio yang disapanya dengan Embah Mudik, tokoh yang sangat ia hormati, tempat banyak belajar menjadi tabah dan kuat. Dalam buku ini ia banyak menceritakan tentang pergaulan dan interaksinya dengan Mbah Mudik yang memperlakukan dirinya seperti anak bungsunya, tempat ia mencurahkan isi hatinya dan mengadu. Di samping itu ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh seperti dokter Tanti Aidit, Suharti Suwarto (tokoh Gerwani), juga dengan sejumlah tapol “Lubang Buaya” yakni yang pernah ikut latihan sukwan ganyang Malaysia 1965 yang mendapat tuduhan amat berat dan mengerikan sebagai penyiksa para jenderal yang mengalami siksaan fisik dan mental tiada tara ketika mereka berumur belasan tahun. Nani Nurani terlahir sebagai bungsu dari beberapa anak, mendapat perlindungan dan kasih sayang dari keluarga dan menjadi anak yang biasa disebut sebagai manja, takut kegelapan dsb. Dengan pengalaman seluruh hidupnya, terutama melalui enam tahun dalam tahanan dan penjara Bukitduri sebagai tapol, banyak belajar dari sekitar, ia menjadi kuat dan berani, bahkan orang menyebutnya nekat. Pastilah ia juga seorang yang cerdas meski pendidikan formalnya tidak tinggi. Pada 2003 ia menuntut pemerintah untuk mendapatkan KTP seumur hidup sesuai peraturan, sesuatu yang sangat menguras waktu dan energinya, dasar ia “kepala batu” ia tidak menyerah. Baru pada 2008 ia memenangkannya di tingkat Mahkamah Agung. Bravo Mbak Nani. Catatan: Mas Ilham & Mbak Iba, mungkin anda sudah baca buku ini, kalau belum ada baiknya anda baca. Bekasi, 31-8-2010.-