KAMIS, 21 MEI 1998
Oleh Kenken

"Lengser keprabon"-nya Pak Harto merupakan fenomena politik 
terpenting di tahun 1998. Perubahan (terbatas atau sekecil apa pun) 
terjadi. Indonesia memasuki tahapan baru kehidupan politik setelah 
sekian lama berdiam dalam ruang monoton dan baku dibawah panji-panji 
kekuasaan Pak Harto bersama dengan klik istana dan oligarki 
ekonominya. Setelah itu, "kita mempunyai kuasa untuk memuliakan 
dunia kembali", mengutip eforia retorik Thomas Paine. Dan, 8 tahun 
sudah kita tidak lagi "diayomi" oleh sang `the smiling general'. 
Tetapi sekalipun demikian, warisan Pak Harto di segala bidang masih 
tetap dapat dirasakan, sehalus apa pun vibrasinya. Paling tidak, Pak 
Harto telah mengajarkan arti penting sebuah kebebasan. 

Seingat saya, "perubahan substansial" adalah genus proximum bagi 
suara-suara yang meminta agar Pak Harto beristirahat setelah 32 
tahun memerintah dan berhasil memposisikan keluarganya sebagai salah 
satu keluarga terkaya di Indonesia serta mensejahterakan (dalam arti 
sebenarnya) begitu banyak kroni dan kaki-tangan dinasti. "Perubahan 
substansial" itu diidealisasikan akan diikuti konsekuensi logis pada 
peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negara. Sekalipun, 
seringkali antara `idealisasi' dan `materialisasi' merupakan dua hal 
yang tidak ada kaitannya sama sekali. 

Apologetik saya adalah apabila sampai saat ini idealisasi tersebut 
belum dapat dicapai maka harap maklum bahwa cita-cita "setinggi 
langit" itu memperlukan proses dan usaha (klise memang). Dan 
bukankah kita telah bersepakat untuk melakukan "reformasi yang 
dipercepat" dalam bahasa metapora moderat B.J. Habibie. Toch, saat 
ini kita memiliki begitu banyak keleluasaan berekspresi. 
Warisan "lembaga-lembaga demokratis" Pak Harto, tentu saja, hanya 
perlu diisi "proses dan kultur demokratis". Dan apabila dirasa 
perlu, kita juga memiliki kebebasan (sekalipun belum 
tentu "kemampuan") untuk melahirkan "lembaga (struktur) dan proses 
(tradisi) demokrasi" baru, baik secara formal maupun informal. 
Namun, terlepas dari cibiran sejumlah besar kajian akademis tentang 
kelemahan era "reformasi simbolik" pasca Soeharto, bagi saya, masa 
transisi ini merupakan kesempatan besar untuk memperbaiki dan 
mengevaluasi segalanya. 

TIONGHOA DALAM PUSARAN POLITIK

Runtuhnya dinasti Soeharto mengubah konfigurasi konflik. Faksi-faksi 
oligarki yang sebelumnya patuh atau terpaksa patuh kepada `sang 
penguasa tunggal' bertarung secara terbuka dan bebas memperebutkan 
pembagian kekuasaan dan hak istimewa. Tidak ada lagi faktor yang 
dihormati sekaligus ditakuti oleh faksi-faksi oligarki Orde Baru 
pasca sang `mafia don' (istilah Jeffrey Winters) memutuskan untuk 
pensiun. `Don-don kecil' menjadi liar tak terkendali dan dengan 
rakus mencoba untuk menjadi penguasa tunggal selanjutnya. Salah satu 
prestasinya adalah korupsi berjama'ah dan gonjang-ganjing politik 
tanpa henti.

Perimbangan kekuatan faksi-faksi oligarki membuat pertarungan 
kepentingan menjadi begitu terbuka dan tampak demokratis. Padahal 
demokratisasi ini tidak didasari oleh konsensus bersama untuk 
bersepakat dengan perbedaan. "Kerusuhan demokrasi" pasca Soeharto 
adalah sebuah keterpaksaan bukan hasil dari kesadaran bersama di 
antara faksi-faksi oligarki. Satu-satunya kesepakatan di antara 
faksi-faksi tersebut adalah tidak mengutak-utik Pak Harto, 
membiarkannya menikmati hari tua sambil sesekali mengenang kejayaan 
masa lalu.   

Rasanya belum lama, komunitas Tionghoa mengalami situasi aneh di 
mana peran positif Tionghoa diminta tetapi secara keras Tionghoa 
dilarang melakukan sesuatu yang positif. Partisipasi positif orang 
Tionghoa dengan mudah dapat dikenali sebelum Orde Baru tumbuh dan 
berkembang dan akhirnya berkuasa secara absolut. Nama-nama seperti 
Liem Koen Hian, Yap Tjwan Bing atau Oei Tiang Tjoei dapat dengan 
mudah dikenali sebagai orang Tionghoa dalam kedudukan mereka sebagai 
anggota BPUPKI. Tetapi tak mudah mengetahui bahwa Susi Susanti, Alan 
Budikusuma atau Suma Miharja ternyata beretnis Tionghoa.  

Komunitas Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia turut 
merasakan dampak dari lengsernya Pak Harto dari tampuk pimpinan 
formal. Sebagai golongan, Tionghoa selalu bersikap koperatif dengan 
konsensus besar yang disepakati bangsa ini. Sepanjang sejarah, 
komunitas Tionghoa tidak pernah menolak hasil keputusan konsensus 
nasional (setidak-adil apapun konsensus itu). Bahkan komunitas 
Tionghoa menerima (sekalipun dengan penyesalan) ketika para penguasa 
Orde Baru memutuskan untuk menghapus peran historis Tionghoa dan 
melarang ditampilkannya simbol-simbol budaya leluhur dan identitas 
etnis. Tionghoa pun menerima konsensus nasional di hari kamis 21 Mei 
1998 saat Pak Harto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik 
Indonesia. 

Tak dapat disangkal bahwa nasib Indonesia adalah nasib Tionghoa. 
Merahnya Indonesia adalah merahnya Tionghoa. Reformasi pasca Orde 
Pak Harto adalah reformasi Tionghoa. Tzunami Aceh adalah bencana 
bagi Tionghoa. Sehingga dapat dimengerti apabila komunitas Tionghoa 
tidak dapat menjadi komunitas ekslusif yang bebas dari imbas 
pergolakan di tataran nasional. 

Syahdan, 8 tahun sudah komunitas Tionghoa memiliki sedikit 
kebebasan. Entah, apakah kebebasan ini dapat abadi ataukah penguasa 
militeristik bermotto "ekonomi yes, politik no" akan kembali 
menempatkan komunitas Tionghoa sebagai golongan "tidak-nyata", 
sebagai mahluk yang "ada namun tiada". Diakui keberadaannya namun 
dipandang dengan prasangka. Lantas akhirnya, dipertanyakan 
kontribusinya untuk Indonesia. Dan sebuah penilaian negatif 
ditetapkan sebelum pertanyaan itu terjawab. Di atas segalanya, mari 
berharap semoga kebebasan ini abadi. Karena kebebasan itu 
memungkinkan Tionghoa untuk berkiprah lebih besar bagi kemakmuran 
Indonesia. 

Sebenarnyalah, komunitas Tionghoa mengalami trauma berkepanjangan 
sejak Orde Baru berkuasa. Dan trauma itu tidak dapat semerta-merta 
lenyap dengan berbagai anjuran, nasehat dan wejangan. Kerusakan 
selama 32 tahun di bawah cengkeraman otoritarianisme harus rela 
dibayar dengan solidifikasi kegamangan kultur dan hilangnya tradisi 
politik serta carut marutnya kesadaran akan posisi Tionghoa di 
tengah-tengah kehidupan berbangsa. Trauma tersebut semakin 
memaksimalkan distorsi pemahaman publik terhadap komunitas Tionghoa. 
Berakhirnya kekuasaan Pak Harto merupakan momentum awal untuk benar-
benar menghadapi trauma itu. Semua itu seharusnya membuat semua 
elemen bangsa menjadi maklum kalau komunitas Tionghoa tampak masih 
bergelut dalam proses memperbaiki diri. Sebuah pemahaman yang saya 
harap berakhir pada dukungan bersama. 

Dalam dunia tanpa kepastian ini, Tionghoa harus memaksimalkan 
momentum keterbukaan ini dan sebelum anti-thesis dari masa transisi 
ini berakhir dengan anti-klimaks suram. Komunitas Tionghoa harus 
segera memasuki tahapan lebih tinggi yaitu gerakan yang bersifat 
substantif. Euforia gemerlap barongsay dan liuk magis tarian Naga 
harus dilanjutkan dengan konsolidasi demokratik, pengorganisasian 
diri dan peningkatan kualitas. Para pemimpin formal dan informal 
Tionghoa harus mengkodefikasi ulang visi dan meredefinisi kerangka 
konsepsi hendak dibawa kemana komunitas ini. Hendaknya disadari 
bahwa persoalan ini tidak sepele. 














.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke