Rabu, 12 Oktober 2005 Menelusuri Sejarah Republik Lan Fang
di Kalbar : Republik pertama di Nusantara Tolak Disebut Sultan, Jalankan
Sistem Kepresidenan
Republik Lan Fang, demikian namanya yang pernah di bentuk oleh
orang orang Hakka dari Kwangtung pada akhir abad ke-18. Republik ini
berlangsung selama 107 tahun dan mencatat 10 presiden yang pernah memimpin
republik di Kalbar ini. Berikut lanjutan catatan Hasan Karman, SH, MM dari
penelitian pustaka sejarah Tionghoa di Kalbar.
LO FANG PAK
mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat
ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju
Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar.
Ketika itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah
pekerja keras membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar juga
mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa memanfaatkannya melalui sistem
kontrak lahan kepada orang Tionghoa guna membuka kawasannya.
Ketika Lo Fang Pak sampai di Kalbar, Belanda belum secara agresif
merambah ke Kalimantan. Di pesisir banyak didiami orang Jawa dan Bugis,
yang mana daerah ini dikuasai oleh Sultan, dan bagian pedalaman didiami
oleh orang Dayak, kendati batas teritorialnya tidak jelas.
Pada
permulaan tahun 1740, jumlah orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja di
sana. Pada tahun 1770 orang Tionghoa sudah mencapai 20.000 orang. Mereka
berdatangan berdasarkan pertalian saudara, sekampung halaman, atau sesama
kumpulan. Kelompok Tionghoa ini membentuk Kongsi (perusahaan) untuk
melindungi mereka. Lo Fang Pak diangkat menjadi ketua.
Pada tahun
1776, 14 Kongsi disatukan membentuk He Soon 14 Kongsi guna menjaga
kesatuan dari ancaman persengketaan antar kumpulan, daerah asal, dan
darah. Pada saat itu Lo Fang Pak mendirikan Lan Fang Kongsi, kemudian
menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin
Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er
sebagai markas besar dari group perusahaannya.
Pada masa itu Khun
Tian (Pontianak) yang berlokasi di hilir Sungai Kapuas, merupakan daerah
perdagangan yang penting dan dikuasai oleh Sultan Abdulrahman. Daerah hulu
sungai dikuasai oleh orang Dayak. Usaha Sultan Mempawah yang bertetangga
dengan Pontianak untuk membangun sebuah istana di hulu sungai menyebabkan
pertikaian antara kedua sultan ini. Terjadilah perang antara kedua negeri
itu. Sultan Abdulrahman meminta bantuan Lo Fong Pak. Karena istana
tersebut dibangun dekat wilayah Lan Fong Kongsi, Lo Fong Pak akhirnya
memutuskan untuk membantu Sultan Pontianak dan berhasil mengalahkan
Mempawah. Sultan Mempawah yang dikalahkan bergabung dengan orang Dayak dan
melakukan serangan balasan. Sekali lagi Lo Fong Pak berhasil mengalahkan
Sultan Mempawah, sehingga mengungsi ke arah utara, yaitu Singkawang,
dimana ia dan Sultan Singkawang (Sambas) menandatangani perjanjian damai
dengan Lo Fong Pak. Peristiwa itu secara dramatis melambungkan popularitas
Lo Fong Pak. Ketika itu dia berusia 57.
Sejak saat itu,
orang-orang Tionghoa dan penduduk setempat mencari perlindungan kepada Lo
Fong Pak. Kekuatan dan prestise Lo Fong Pak semakin meningkat. Ketika
Sultan Pontianak menyadari tidak mampu melawan Lo Fong Pak, ia sendiri
meminta perlindungan dari Lo Fong Pak. Lalu Lo Fong Pak mendirikan sebuah
pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya
menjadi nama republik, Republik Lan Fong, yang jika dihitung sejak tahun
berdirinya, 1777, berarti sepuluh tahun lebih awal dari pembentukan negara
Amerika Serikat (USA) oleh George Washington tahun 1787.
Ketika
itu masyarakat ingin Lo Fong Pak menjadi Sultan, namun ia menolak dan
memilih kepemerintahan seperti sistem kepresidenan. Lo Fong Pak terpilih
melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi
gelar dalam bahasa Mandarin Ta Tang Chung Chang atau Presiden.
Konstitusi negeri itu menyebutkan bahwa posisi Presiden dan Wakil Presiden
Republik tersebut harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Ibukota Republik Hakka ini adalah Tung Ban Lut (Mandor). Ta Tang
Chung Chang (Presiden) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut
konstitusinya, baik Presiden maupun Wakil Presiden harus merupakan orang
Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya
berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa
Mandarin Lan Fang Ta Tong Chi. Bendera presidennya berwarna kuning
berbentuk segitiga dengan tulisan Chuao (Jenderal). Para pejabat
tingginya memakai pakaian tradisional bergaya China, sementara pejabat
yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Republik tersebut mencapai
keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas politik selama 19 tahun
pemerintahan Lo Fong Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari
Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari
daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan
negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao
Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Lan Fong
Kongsi sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada
Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
Kemunduran dan
Kejatuhan
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua
dideklarasikannya republik tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan
lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya republik tersebut, yaitu
pada masa pemerintahan presiden kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi),
Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah
tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini
Jakarta) untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik.
Penandatanganan pakta tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong
ke dalam kekuasaan Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin
melemahkan pemerintahan Lan Fong. Lan Fong kehilangan otonomi dan menjadi
sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya
di Pontianak dan mencampuri urusan republik tersebut. Pada tahun 1884
Singkawang menolak diperintah oleh Belanda, sehingga diserang oleh
Belanda. Belanda berhasil menduduki Lan Fong Kongsi, namun kongsi tersebut
mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul
kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir.
Warganya mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari
pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai
koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin
boneka.(b salman)
Nama Pimpinan Lan Fong
No. Nama Periode Peristiwa Penting dalam Masa Pimpinannya
1. Lo Fongpak 1777-1795 Pendirian Langfong Kungsi di Mandor pada
tahun 1777.
2. Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan
Mempawah.
3. Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari
Landak.
4. Kong Meupak 1803-1811
5. Sung Chiappak
1811-1823 Ekspansi tambang di Landak.
6. Liu Thoinyi 1823-1837
Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda.
7. Ku Liukpak 1837-1842
Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi.
8. Chia
Kuifong 1842-1843
9. Yap Thinfui 1843-1845
10. Liu Konsin
1845-1848 Pertempuran dengan orang Dayak Landak.
11. Liu Asin
1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak.
12. Liu Liongkon
1876-1880
13. Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan Lanfong Kungsi pada
tahun 1884.
|