Menjelang Wafatnya Soekarno (1) 
Berkas yang Hilang 
Oleh Wahyu Dramastuti
Copyright © Sinar Harapan

Diposkan  27/07/2009 



JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah 
Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta 
Selatan. Buku bertuliskan tangan itu berisi medical record (catatan medis) 
mantan Presiden Soekarno selama sakit di Wisma Yaso, Jakarta.
Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini 
juga menjadi bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut 
Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 
14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih membuat dahi ini berkernyit keras, nama 
pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya Taufan (salah seorang 
putra Soekarno).

Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada 
masa lalu
membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika 
sekarang
banyak orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah 
tersebut. Namun kini, ketika semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di 
Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden 
Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang masa lalu pun kembali 
mengusik. Itu semata-mata karena Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan kepala 
negara. 

Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin 
menyerahkan catatan medis
ayahnya kepada pemerintah. “Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan 
ingin melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif,” tutur Rachmawati 
kepada SH di kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri 
Orde Baru pernah berkomentar bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit 
tidak sekejam itu. “Saya tak mau gegabah.
Ini bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan 
Dokter Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti 
perawatan terhadap keluarga sangat miskin,” kata Rachmawati.

Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu 
sedan, hal itu
sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah 
artikel yang pernah
dimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. “Seorang 
perempuan muncul di
Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an,” demikian kalimat pertama artikel 
tersebut. Perempuan itu ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 
bundel buku berisi catatan para perawat jaga Soekarno. 

Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang 
pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno “hanya” 
mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat 
diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak mengalami koma 
seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu 
menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. 
Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 
Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan

Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang 
tahu banyak soal stroke.
Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian 
yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa 
perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono.

Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh 
penguasa. Maka bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama 
bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis moneter meledak.

Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 
tahun, dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono pun 
teringat onggokan buku itu.
Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan empat perawat di Wisma 
Yaso.
Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita 
yang lengkap
tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J. 
Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka 
meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun.
RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari para perawat ini.

Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. 
Pihak RSPAD
mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan 
kepada
Rachmawati, ia hanya geleng-geleng kepala. “Tidak, tidak,” jawabnya lirih.
Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani 
oleh dokter
Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop 
Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.

Bahkan setelah dipindah ke RSPAD karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya 
untuk melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan dengan alasan RSPAD tidak 
mempunyai peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang diberikan hanya 
vitamin (B12, B kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi 
penyempitan pembuluh darah perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga 
disebutkan dalam catatan medis, juga menyisakan tanya pada diri Rachmawati.

Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa 
asin. “Saya kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan 
orang berlalu,” lanjut Rachmawati.
Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta 
seputar masa sakit Soekarno yang tersia-sia. “Tidak seperti sekarang ini, 
perawatan terhadap Soeharto. Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan 
presiden berhak dirawat secara all out dan diongkosi oleh negara,” katanya.

Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam 
terhadap Soekarno berasal dari sebuah instruksi. “Yang memberi instruksi ya 
orang yang sekarang sedang dirawat itu,” katanya.
Namun pria ini enggan dituliskan namanya. “Wah, kalau ditulis di koran saya 
pasti digangguin…,” tuturnya dengan nada serius.



Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2-Habis)
Mengistimewakan Soeharto, Menyia-nyiakan Soekarno


JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika 
tergolek sakit di
Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, 
gejala fisik pasien gagal ginjal.

Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya menampak kepasrahan 
yang begitu dalam.
Soekarno terlihat berbaring di atas sofa berukuran sempit dengan sebuah bantal.
Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa sangka, pria gagah inilah sang 
proklamator yang mengantarkan Negara Indonesia ke pintu kemerdekaan hingga 
detik ini.

Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh 
Soekarnoputra,
6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno yang 
ke-69.
Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,” tutur Rachmawati kepada adiknya, Guruh, 
kala itu.
Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor Berita AP dan 
dimuat di Harian Sinar Harapan.

Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer
(CPM). Rachmawati pun bertanya, ”Mengapa dilarang memotret, memangnya status 
Bung Karno apa?”
Tetapi tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. 
”Jadi semua
serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,” 
kata Rachmawati
kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta 
Selatan, Sabtu (19/1) sore.
Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin 
membesuknya, mereka
tetap harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap 
hari. Wisma
Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan 
kediaman istri
Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi 
sakit masih tetap
harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.

Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah 
sebelumnya didera
cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno 
mengalami koma
sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 
Proklamasi
17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan detik-detik 
proklamasi
tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat 
komandonya.
Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 
Maret 1966, keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, 
berupa perintah supaya mereka keluar dari Istana Bogor.

Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah dari Istana Bogor ke Batu Tulis, 
masih di wilayah Bogor.
Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin 
parah. Saat itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini 
dikuatkan dengan dokumen riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar 
kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan.
Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian 
Bakteriologi,
Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati, penanganan dokter 
Soerojo saat itu pun hanya bersifat insidental.

Lantaran rasa sakit makin tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus 
Rachmawati untuk
menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke 
Jakarta.
Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah 
ke Jakarta.
Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,” tutur Rachmawati tak habis 
pikir.
Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi 
Museum Satria Mandala.
Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua Mahar Mardjono. 
Tetapi karena
Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis yang tersedia sangat 
berbeda dengan jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah 
Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang 
terdokumentasi dalam
foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami 
gagal ginjal.
Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI 
itu dilarikan
ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.

Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. 
Perawatan
yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat 
dokter
memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat 
dilaksanakan.
Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ”Ini sama saja 
membiarkan orang
cepat berlalu…,” tutur Rachmawati.

Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di RSPAD sehingga putra-putri 
Soekarno
membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ”Ada satu periode di mana saya tidak 
boleh
menengok bapak,” ungkap Rachmawati. Dalam keadaan genting seperti itu, keluarga 
masih tetap
tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk menunggui sang ayah. Mereka hanya 
boleh menunggu
di dalam mobil di tempat parkir.

Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta. 
Rachmawati
mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal yang 
berbau
Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin.

Hingga akhirnya pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian 
disemayamkan di Wisma
Yaso dan dilepas oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa 
Timur. Itulah
kali pertama Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana 
Kepresidenan.
Yang menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, 
tanpa kehadiran
Presiden Soeharto di Blitar.

Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa 
Bendogerit,
Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam 
kedua orangtua
Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai wasiat 
Soekarno, yaitu
dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor.

Juga ketika gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden 
Soeharto
dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina 
(RSPP),
Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967.

Tap MPRS itu intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat 
Soeharto
sebagai Pejabat Presiden. ”Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan 
Tap MPRS harus
dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,” lanjut 
Rachmawati.
Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui 
kondisi kesehatan Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua 
orang juga tahu, betapa
luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto.
Tetapi Rachmawati sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan 
hanyalah,
kebenaran sejarah.

 ===    ///   = ===       


Soekarno - Sejarah yang tak memihak 
Oleh : Iman Brotoseno, 13 January 2008
. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di 
rumah ibu saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya 
juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini 
sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru 
lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena 
orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara 
langsung jenasah Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak ( 
almarhum ) sedang menangis sesenggukan.
“ Pak Karno seda “ ( meninggal )

Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana 
sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi 
prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO 
sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono - Panglima KKO – pernah 
berkata ,
“ Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO “

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, 
dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena 
dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat 
seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim 
Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau 
memilih opsi pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan 
susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal 
sejarah.

The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan 
ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke 
istana Bogor. Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend 
Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus 
sudah dikosongkan jam 11 siang. Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno 
mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya 
dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.

“ Het is niet meer mijn huis “ – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi , demikian 
Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum 
akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan 
menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di 
rumahnya.
. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak 
tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di 
ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya 
dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan 
mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta – yang 
juga berasal dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem 
coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat 
alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, 
serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti 
nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari 
dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi 
dada manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai 
di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum 
akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.

Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah 
proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana 
Batu Tulis, Bogor. Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang 
Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu 
saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,
“ Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan 
dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan 
memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya 
makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya 
diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
Dr. Kartono Muhamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno 
sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno 
berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, 
B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya 
gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak 
diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut,
“ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah 
satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad “
( Kompas 13 Januari 2008 )
dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia 
dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih 
didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang 
dituduhkan. Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan 
pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. 
Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden !
Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. 
Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak 
sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa 
meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. 
Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di 
sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang 
mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.

* * *   * * * 

Kirim email ke