Nama Saya Oh Hong Bun
Kamis, 12 November 2009 | 06:55 WIB
KOMPAS.com - "Nama saya Oh Hong Bun. Saya anak keturunan China. Ayah saya Oh 
Hok Tjoe. Ibu saya Liem Swan Nio.?


Lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur, tahun 1949, itu bercerita. Nama Oh Hong 
Bun hanya bertahan sampai dia belajar di SMA tahun 1966. Akibat politik 
asimilasi Orde Baru, nama itu diganti nama baru yang dianggap lebih 
?Indonesia?: jadilah dia bernama FX Harsono.

Kini, puluhan tahun kemudian, Harsono?salah satu seniman penting negeri 
ini?berusaha mengingat sejarah itu lewat karyanya. Dia menuliskan kembali ?Oh 
Hong Bun?. Pria jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut 
mengaku hanya nama itu yang bisa ditulisnya dalam huruf kanji China.

Penulisan nama tersebut direkam dan ditayangkan lewat beberapa layar video. Di 
tengah ruang diletakkan meja dan kursi tempat dia menulis. Lantainya dipenuhi 
susunan kertas yang telah tertulisi nama itu. Video itu berjudul Memori tentang 
Nama/Yang Dihapus Kutulis Ulang. Bersama banyak karya lain, instalasi itu 
disajikan dalam pameran tunggal FX Harsono bertajuk ?The Erased Time? di Galeri 
Nasional Indonesia, Jakarta, 1-14 November. Pergelaran diselenggarakan Langgeng 
Gallery, Magelang, dengan kurasi oleh Hendro Wiyanto.

Pameran menghadirkan lukisan, instalasi, foto, digital print, dan video yang 
mengungkapkan kembali sejarah gelap yang pernah menimpa masyarakat keturunan 
China di negeri ini. Sejarah itu dipaparkan lewat perjalanan hidup Harsono.

Dia bercerita, ayahnya, Oh Hok Tjoe, adalah seorang juru potret. Dia 
mendokumentasikan penggalian korban pembunuhan massal kaum China di Blitar 
semasa agresi militer Belanda 1947-1948. Korbannya 191 orang. Jenazah mereka 
digali dan dikuburkan kembali tahun 1951.

Foto-foto lama itu, sekitar 80 buah, menggambarkan sejumlah orang setelah 
menggali tengkorak itu di beberapa tempat. ?Ratusan orang jadi korban 
pembunuhan yang tak jelas. Yang pasti, mereka dihabisi di tengah masa yang 
gelap. Ini sejarah yang menyedihkan,? kata Harsono.

Sejumlah cetakan foto tersebut diletakkan dalam kotak air yang disorot lampu 
merah. Sebagian dicetak besar. Ada yang dilukis ulang dan digabung dengan 
lukisan keluarga Harsono sendiri.

Dia juga membuat beberapa video. Salah satunya berisi kesaksian orang-orang 
yang mengalami peristiwa pembunuhan. Satu lagi mengungkapkan budaya China di 
Indonesia yang sudah mengalami pembauran dengan budaya Jawa, Eropa, dan tradisi 
China.

Pameran ini menjadikan karya seni rupa sebagai sarana penyadaran sejarah. 
Harsono berusaha merekam kehidupannya sendiri yang pernah didera kekerasan 
sosial-politik. Perjalanan itu juga mencerminkan sejarah hitam masyarakat China 
di negeri ini.

Mereka dilarang pakai nama China, tak boleh mengekspresikan agama dan 
budayanya, terus dicurigai, bahkan kerap jadi sasaran kerusuhan. Semua itu 
mengguncang eksistensi dan identitas mereka.

Situasi beranjak berubah sejak Reformasi 1998. Presiden Abdurrahman Wahid 
(tahun 1999-2001) membebaskan masyarakat keturunan China mengekspresikan 
budayanya. Kini mereka semakin leluasa menemukan dan membangun kembali 
identitasnya.

?Pameran ini menjadi semacam kesaksian, pernah terjadi sejarah kekerasan dan 
pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat China di Indonesia. Semoga 
semua ini tak terulang lagi,? papar Harsono. (Ilham Khoiri)

Kirim email ke