Laporan Diskusi Bulanan NIM yang diselenggarakan di One Earth, One
Sky, One Humankind (Ciawi, Bogor). Diskusi ini terbuka untuk umum dan
inilah laporannya sebagai bentuk sharing kepedulian terhadap Bangsa
dan Negara ini.

Salam,
Maya S. Muchtar
(Ketua Harian NIM)

Kompleks Ruko Golden Fatmawati,
Jl. RS Fatmawati, Blok J/35 Lt. 3, 12420,
Jakarta Selatan, Tel./Fax. 021-7669618
Email: [EMAIL PROTECTED]
Website: www.nationalintegrationmovement.org

-----------------------------------------------------

PEREMPUAN DAN KEBANGSAAN KITA

Peranan kaum wanita di dalam sejarah Indonesia sebenarnya sangat
nyata, besar dan tidak kalah jasanya seperti kaum pria. Tapi mungkin
karena kebanyakan sejarah ditulis oleh kaum pria, maka peran kaum
wanita sering kali dimarginalkan. Padahal bila mendengar cerita-cerita
dari sejarah 'alternatif', kaum wanita banyak berperan secara fisik
dalam perang kemerdekaan Indonesia, seperti menyelundupkan granat
tangan dan senjata api di dalam bakul jinjingannya, langsung ke
kantong-kantong kekuatan perjuangan rakyat. Atau, unjuk rasa yang
dilakukan oleh kelompok Suara Ibu Peduli tahun 1998, yang berunjuk
rasa memprotes kenaikan harga susu dan bahan kebutuhan pokok, mematik
dan menyulut aksi-aksi selanjutnya menuntut reformasi. Gerakan para
ibu ini langsung menyurut atau mundur setelah aksi-aksi lain bisa
menggantikan mereka tanpa mengharapkan imbalan atau konsensi politik
apapun.

Demikian dituturkan Ibu Eva Kusuma Sundari, anggota komisi VI DPR dari
PDI-P, sebagai pembicara pertama dalam Diskusi Kebangsaan NIM pada
hari Sabtu, 10 September 2005 di One Earth Ciawi.

Politik identitas sudah sejak lama diterapkan secara sistematis untuk
mengatur kehidupan wanita tanpa peduli dengan keinginan wanita itu
sendiri. Wanita sudah dari kecil dikondisikan dan selalu dikaitkan
dengan 'Dapur, Kasur dan Sumur' serta Reproduksi sehingga tanpa sadar
wanita telah 'terkotakan' dan dimarginalkan oleh pria maupun wanita
sendiri menjadi suatu hal yang harus diurusi atau diperhatikan seperti
urusan politik, urusan ekonomi, dll.

Padahal dalam kehidupan manusia, selalu ada 'Conscious Awareness'
bahwa tiap manusia genuinely punya kecenderungan untuk setara (to be
equal), bebas (free) dan identitas personalnya diakui/dibedakan
sebagai suatu individu yang berdaulat atas dirinya sendiri. Pengakuan
dan perbedaan di sini dimaksudkan bukan untuk 'dimarginalkan' atau
'dikotak-kotakan' tapi untuk disetarakan dengan individu-individu lainnya.

Maka bagaimana individu-individu yang berbeda ini bisa bebas tapi
dapat bersatu secara setara, adalah tantangan yang harus kita hadapi
dalam konteks kebangsaan Indonesia. Menurut Ibu Eva, ada 2 tantangan
untuk mencapai 'Civil Society' atau masyarakat Marheinisme versi
Soekarno, yaitu : (1) tantangan feodalisme sebagai faktor internal
diri dan (2) Neoliberalisme (Neolib) atau mengekspoitasi orang lain
sebagai faktor eksternal.

Feodalisme dalam diri ini yang mendasari misalnya Perda 'yang
mengatur' kehidupan wanita' dan dianggap Perda berdasarkan Syariat
Islam di Bengkulu. Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana tidak boleh
dilayani oleh Bank. Dan wanita yang berjalan bolak-balik di suatu
tempat sendirian dilarang karena akan dianggap PSK. Perda tersebut
jelas sangat diskriminatif kepada kaum wanita, karena kenapa hanya
mengatur wanita ?

Rasa ingin diakui ini juga mendasari permainan mata politik antara
anggota DPD dan beberapa anggota DPR berhaluan islam. Baru-baru ini,
ada wacana dari DPD untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa dengan
agenda mengganti Psl 4 dari UUD'45 supaya kedudukan DPD diakui setara
dengan DPR di legistatif seperti kedudukan senator pada badan
legislatif di Amerika Serikat. Sebagai 'bargain politik', DPD akan
mendukung masuknya kembali Piagam Jakarta ke dalam pembukaan UUD'45.
Untung saja, wacana seperti ini akhirnya kandas di tengah jalan.

Sedangkan Neolib adalah faktor eksternal yang sedang menggerogoti
masyarakat kta. Rakyat yang berdaulat adalah Civil Society, dan rakyat
yang berdaulat sepakat untuk membentuk negara. Jadi 'negara' adalah
alat dari civil society. Masalanya sekarang negara sudah 'tersandera'
oleh globalisasi, maka peran rakyat sebagai civil society harus
diberdayakan semaksimal mungkin untuk membendung arus Neolib yang
bermaksud mengekpoitasi masyarakat sipil lewat negara.

Maka Ibu Eva mengajak para peserta untuk tidak berbicara dalam tingkat
wacana saja, tapi harus ikut mengontrol negara (pemerintah) lewat
advokasi budgeting. Police-making decision tergantung pada budgeting.
Misalnya : biarpun banyak kampanye penghematan dan good governess oleh
pemerintah tapi bila dana 'coffee morning' seorang gubernur DKI
misalnya mencapai 1 jt per hari, apakah itu berarti penghematan ?
Semua realisasi program bisa dilihat dalam advokasi budgeting ini.

Pentingnya advokasi budgeting ini diamini kemudian oleh Bapak Slamet
Harsono dari Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ) yang kebetulan berprofesi
sebagai akuntan publik.

Ibu Agnes Sri Purbasari adalah pengajar di fakultas Ilmu Budaya
jurusan filsafat UI. Beliau, sebagai pembicara ke-2, menyoroti
kurangnya akses bagi wanita kepada penyelenggara negara (Nation)
sehingga ekspolitasi terhadap wanita seperti trafficking, kawin
kontrak maupun TKW keluar negeri semakin meningkat tiap tahunnya.
Padahal seperti juga pria, wanita selalu dihadapkan dengan masalah
ekonomi dan kesempatan kerja.

Definisi Nation adalah sekelompok rakyat berdasarkan suku, darah,
bahasa ataupun agama yang terikat pada suatu wilayah tertentu. Rakyat
di sini berarti bangsa yang terdiri dari warga negara yang berdaulat.
Nasionalitas Indonesia berarti bermental Indonesia, yaitu nilai-nilai
luhur yang terbentuk dalam Pancasila.

Nation State adalah nilai-nilai republik yang didukung oleh rakyat
yang berdaulat. Sedangkan Nasionalisme biasanya dipahami sebagai
doktrin atau tingkah laku warganya atau gerakan politik zaman
kemerdekaan atau sate of mind yang mengkerucut atau tindakan
terorganisir pada pembentukan Nation State.

Nasionalisme di Indonesia tidak sama dengan Nasionalisme Barat karena
Nasionalisme Indonesia berangkat dari Nasionalisme Asia Afrika.
Nasionalisme Barat tumbuh subur pada abad 19 & 20, bersamaan dengan
munculnya Liberalisme dan Kapitalisme, di mana kepentingan individu
dan ekonomi adalah hal yang utama. Nasionalisme Barat adalah
kepentingan nasional yang terdiri dari kepentingan/kumpulan ide
individu-individu yang terbentuk dalam suatu Nation State. Bila ide
atau kepentingan individu-individu ini belum terpenuhi maka timbul
persaingan. Persaingan inilah yang membawa Nasionalisme Barat ini
membentuk koloni (kolonialisme).

Sebaliknya Nasionalisme Asia-Afrika timbul karena kolonialisme,
sehingga bersifat anti-imperalisme, anti-kolonialisme dan
anti-kapitalisme. Ciri dasarnya adalah (1) Kemerdekaan dalam arti
bebas dari pengaruh dominasi asing, (2) Perombakan struktur sosial
masyarakat.

Masalahnya sekarang, apakah sekarang bangsa ini sudah terpenuhi ke-2
ciri dasar dari Nasionalisme Asia-Afrika ini, bila kenyataannya secara
politik dan ekonomi, dominasi negara asing masih sangat kental terasa
dalam kehidupan sehari-hari ? Perombakan struktur sosial masyarakat
pun belum banyak berubah berkaitan dengan sila ke-5 dari Pancasila,
yaitu keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh rakyat Indonesia berarti pria dan wanita Indonesia.

Makanya idealnya harus ada hubungan/akses antar rakyat dengan Nation
State, sehingga setiap warga negara, baik pria maupun wanita, bisa
mengidentifikasikan dirinya sebagai negara (Nation State). Bila hal
ini terjadi, eksodus para wanita untuk bekerja ke luar negeri atau
kejadian kawin-kontrak oleh para wanita karena alasan ekonomi,
mestinya tidak terjadi di Indonesia.

Maya Safira Mochtar, president NIM, tampil sebagai pembicara ke-3.
"Mungkin wanita lupa akan kekuatan dirinya" komentar beliau. Padahal
secara genetik, wanita punya 1 kromosom lebih banyak dari pria. Secara
biologi, wanita terbukti lebih kuat stamina dan daya tahan terhadap
penderitaan daripada pria. Secara budaya nusantara, banyak penguasa
wanita (ratu) memerintah daerah kekuasaan seperti Ratu Ahimsa di jawa
tengah maupun para sultana di aceh sebelum kemudian 'lengser' ketika
ada fatwa dari timur tengah.

Kesediaan 'wanita' untuk mundur dari kekuasaan secara sukarela adalah
bentuk kekuatan untuk menafikan ego yang tidak dimiliki oleh seorang
pria pada umumnya. Dalam spiritualitas pun, Shakti diidentikan dengan
wanita, yaitu energi yang mampu membebaskan manusia dari pikiran
menuju pencerahan diri.

Peran perempuan dalam kebangsaan Indonesia pun sangat banyak, antara
lain :

1. Gerakan Suara Ibu Peduli yang dimotori Ibu Karlina Leksono pada
tahun 1998 mengawali Gerakan Reformasi yang menjatuhkan Rezim Orde
Baru. Ini dimungkinkan karena energi wanita cukup kuat untuk memicu
suatu gerakan.

2. Wanita telah teruji lebih tahan dalam menghadapi cobaan dan
tantangan hidup.

3. Wanita lebih punya waktu dan peran dalam mendidik seorang anak
sehingga pengertian 'budi pekerti' berdasarkan pancasila jangan hanya
didoktrinkan tapi dijadikan pedoman hidup bagi sang anak kelak.

4. Wanita sebenarnya bisa berperan dalam menyebarkan isu-isu
kebangsaan lewat pengajian maupun arisan.

5. Dalam Sejarah Budaya Nusantara, di jaman Sanjaya, muncul istilah :
Mataram, Bende Mataram yang berarti Ibu Pertiwi. Istilah ini muncul
karena kecintaan pada negara disetarakan dengan kecintaan pada seorang
Ibu, .seorang wanita.

Karena hal-hal ini, diharapkan wanita Indonesia tidak merasa minder
dan bersedia berperan aktif dan nyata, serta bersatu dengan segala
elemen masyarakat lainnya dalam mewujudkan Indonesia Jaya.

Ada pertanyaan yang muncul dari Ayu-ciputat yang merasakan bahwa
gerakan feminisme itu sepertinya malah membuat wanita di posisikan
sebagai korban atau posisi yang dirugikan/lemah dalam kasus PSK, Kawin
Kontrak, Poligami maupun TKW. Padahal bisa saja, semua itu terjadi
karena kemauan dan keinginan wanita itu sendiri.

Ibu Eva menjawab bahwa karena wanita lah maka kasus pemerkosaan
sekarang dikategorikan sebagai Kejahatan HAM berat dan bila pelakunya
adalah tentara, maka dianggap sebagai kejahatan perang. Atau dengan
kata lain, kasus pemerkosaan sudah berhasil dianggap menjadi urusan
publik daripada urusan private dalam masyarakat.

Gerakan feminisme telah membuka mata banyak orang dan menyadarkan
wanita bahwa memang selama ini penindasan terhadap kaum wanita di
Indonesia terjadi di mana dengan atau tanpa disadari, pemerintah pun
terlibat di dalamnya. Ini terjadi, perbedaan perlakuan terhadap kaum
wanita sudah ditanam sejak usia dini dan dilakukan tanpa sadar oleh
orang tua.

Gerakan feminisme bukanlah suatu gerakan untuk menandingi ataupun
menganti kekuatan pria, tapi gerakan yang meminta kesetaraan antara
pria dan wanita. Ibu Agnes dan Maya pun setuju tentang hal ini. Posisi
kaum wanita sudah lebih baik ketika disahkannya UU KDRT (Kerukunan
Dalam Rumah Tangga), tapi RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sedang
berusaha digolkan oleh Golkar, dipertimbangkan sebagai pemasungan
kembali peran wanita di dalam masyarakat dan kali ini dengan memakai
ajaran agama islam sebagai pembenaran.

Agama Islam datang untuk membebaskan roh manusia dari
belenggu-belenggu duniawi yang salah-satunya adalah ketidakadilan.
Tapi pada kenyataannya, ajaran Islam ditafsirkan secara tekstual untuk
dijadikan pembenaran bagi penindasan pada kaum wanita. Ini sangat
menyesatkan dan sangat disayangkan.

Menanggapi pertanyaan yang sama dari Ayu, Ibu Agnes menjelaskan bahwa
dalam melihat suatu persoalan kita harus tahu dari sudut pandang mana
kita membahas. Dari sudut realitas, memang tidak bisa digeneralisasi
bahwa semua wanita yang berprofesi sebagai PSK, kawin kontrak atau
dipoligami adalah korban, tapi bila dari sudut analisa,
diskusi kali bertujuan mengkaitkan putusnya hubungan kaum wanita
dengan Nation State (negara) berakibat dengan usaha kaum wanita di
Indonesia untuk mengatasi keterpurukan ekonomi dengan mencoreng nama
Indonesia di mata dunia internasional.

Arief Budiman dan George Aditjondro misalnya, memilih tinggal di luar
negeri bukan karena alasan ekonomi tapi karena Nation State Indonesia
tidak mampu mengakomodir kebebasan politik mereka.

Putu dari Depok sempat bertanya bagaimana lembaga negara di Indonesia
bisa `tersandera' oleh globalisasi dan wawasan kebangsaan di lembaga
legislatif. Ibu Eva menanggapi bahwa di Senayan para anggota parpol
berkumpul bersama berdasarkan ketertarikan pada suatu issue bukan
karen ideologi tertentu. Ini terjadi karena ideologi atau platform
parpol belum ada yang terbentuk secara solid.

Kemudian memang ada usaha nyata yang dilakukan untuk mereduksi `Nation
State' menjadi bermental kuli/terjajah. Salah satunya adalah yang
terjadi di Pertamina. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, dengan
cadangan minyak yang luar biasa besarnya, Pertamina sampai hari ini
tidak mampu menjadi ahli di bidang perminyakan karena terbiasa dengan
sistem kontrak-sharing dengan perusahaan minyak asing.

`Penyanderaan' misalnya terjadi pada pemerintahan Indonesia saat ini.
President AS, George W Bush, misalnya, tidak bersedia bertemu dengan
President SBY dalam kunjungannya ke AS nanti bila Dirut Pertamina
tidak menandatangani kontrak-sharing dengan Exxon Oil di blok Cepu.
Padahal cadangan minyak di Cepu sangat banyak dan bisa menjadi modal
pembelajaran Pertamina untuk mengebor dan mengelolah sendiri ladang
minyak di Cepu. Jadi jangan heran bila Dirut Pertamina tiba-tiba
dicopot. "Sebenarnya cerita ini rahasia," kata Ibu Eva menambahkan.

Maka bila Nation sudah `tersandera', harapan terbesar jatuh pada Civil
Society. Civil Society harus bisa bersatu dalam kesatuan yang solid
dan berusaha membentuk suatu karakter yang kuat untuk menandingi
Nasionalisme-Nasionalisme negara lain terutama yang berciri
Neo-liberalisme dan Neo-capitalisme.

Bila seorang sudah begitu lama terkondisi dengan suatu keadaan,
kondisi-kondisi itu secara tak sadar akan masuk ke alam bawah sadar.
Hal itu otomatis akan mempengaruhi perilaku orang tersebut. Demikian
yang terjadi pada wanita di Indonesia kata Maya Safira Mochtar
mengakhiri pembicaraan.

Sebelum berakhirnya acara ini, Guruji Anand Krishna yang juga pengagas
NIM sempat mengutarakan harapannya pada PDI-P tanpa Megawati dan
Taufik Kemas karena PDI-P adalah aset negara, apalagi punya orang
sekelas Ibu Eva.

Sependapat dengan Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro, Bapak Anand Krishna
kembali menegaskan bahwa kesalahan besar ketika Pancasila dijadikan
ideologi atau asas sebuah parpol karena dengan begitu, sebuah parpol
lain yang berseberangan bisa saja berideologi lain yang
anti-Pancasila. Bila hal ini terjadi Pancasila sudah terdegradasi
nilainya menjadi suatu ideologi politik. Padahal Pancasila adalah inti
sari dari nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia.

Pancasila harus mengakomodir semua ideologi politik parpol. Itu yang
harusnya terjadi selama ini. Pancasila harus menjadi suatu pendidikan
budaya bagi Indonesia bukan sekedar ideologi politik atau mata kuliah
yang selalu bisa diganti/dirubah menurut kehendak mayoritas atau siapa
yang berkuasa.

Bagi suatu bangsa, wilayah adalah syarat utama. Tapi kesediaan
pemerintah untuk mengadakan MoU dengan GAM, sudah menunjukan bahwa
NKRI bersedia berdiri satu derajat dengan GAM. Padahal Aceh adalah
bagian dari NKRI dan kelompok GAM jelas sedang berada pada posisi yang
sangat lemah akibat kurangnya dukungan rakyat Aceh dan bencana
Tsunami. Tapi pemerintah mau berunding dengan mereka dalam kesetaraan.
Ada apa ini ? Apakah ada pengaruh asing yang demikian kuat yang
mengintervensi ?

Tapi Aceh lebih dulu menjadi `anomali' karena menganut dualisme hukum
dalam suatu wilayah, yaitu hukum Indonesia dan hukum NAD yang
berdasarkan syariat Islam. Ini dimulai dari pemerintahan Megawati
Soekarnoputri. Jadi bagaimana menghukum seorang WNI beragama kristen
berbuat maksiat di Aceh ? Dengan hukum Indonesia atau dengan hukum NAD
? Tidak bisa kita menerapkan dualitas hukum dalam satu negara atau
satu wilayah yang sama.

Bila kita belajar dari sejarah, para sultana di Aceh dulu turun tahta
bukan karena mereka tidak becus dalam memerintah kesultanan. Mereka
bekerja dengan baik, tapi mereka tidak memberikan konsesi-konsesi
khusus pada para pedagang Arab sehingga pedagang2 Arab ini meminta
fatwa khusus dari Mekah untuk menurunkan para sultana ini dengan
alasan agama. Ini kudeta.

Fakta biologi juga mengatakan bila dalam 7.5 tahun kita diberikan
kondisi yang sama secara terus menerus, misalnya ditindas/dijajah,
maka diri kita akan terbiasa dengan situasi seperti ini. Secara tak
sadar kita tidak merasa tertindas. Seperti wanita yang juga sudah
tertindas selama 5000 tahun sehingga tidak menyadarinya. Seperti
bangsa Arab yang tidak sadar bahwa sebelum Nabi Muhammad, di Arab
sudah ada sistem pemerintahan Kabillah. Nabi hanya memberikan sedikit
perubahan pada sistem pemerintahan ini. Perubahan besar justru terjadi
pada jaman Khalifah dalam rangka mempertahankan kekuasaan.

Demikian pula cerita-cerita wayang yang kita anggap sebagai mitos. Itu
sejarah bangsa. 3102 BC, terjadi perang nuklir di padang Kurusekta,
kira-kira dekat kota New Delhi di mana sampai sekarang radiasi nuklir
di sana masih terasa dan Gatot Kaca dikirim dari Nusantara (karena tak
ada orang bernama Gatot di India) untuk membantu. Bila membantu dalam
perang nuklir, tidak mungkin gatot kaca datang dengan bambu runcing.
Pasti sudah ada peradaban yang maju juga di sini sehingga mampu
mengirimkan seseorang untuk terlibat dalam perang nuklir.

Kalau orang-orang belanda tidak tertarik dengan Borobudur, kita
mungkin tidak menemukan Borobudur. Semua dokumen tentang Borobudur ada
di negeri Belanda. Nenek moyang kita malah lupa. Sampai tahun 1920-an,
kita pikir ibukota Sriwijaya ada di Kamboja. Seorang Perancis, Coedes
membuktikan bahwa Palembang adalah ibukota Kerajaan Sriwijaya. Kok
kita bisa lupa, atau kita sengaja dibuat lupa ?

Jadi bila 7.5 tahun kita dicekokin suatu doktrin yang sama,
synap-synap dalam otak kita bisa berubah dan kita menjadi terbiasa
dengan doktrin itu. Sekarang hal ini terjadi di China. Orang-orang
Cina di sana sudah terlalu lama ditindas sehingga mereka tidak
menyadari tertindas. Mereka harus keluar dari Cina untuk menyadari hal
ini.

Hal mutlak lainnya yang harus ada dalam suatu negara secara berurutan
adalah Rakyat, Good Governess, dan kemudian Keadilan Sosial, yang
dicapai dengan Pancasila sebagai alat. Cara pikir Soekarno itu sangat
progresif 50 tahun sebelum waktunya. Bila kita memahami konsep Nasakom
secara benar, kita sadar bahwa Komunis secara otomatis akan tenggelam
di antara Nasionalis dan Agama karena keduanya lebih kuat. Soekarno
pernah menyatakan dirinya seorang Marxist yang nasionalis dan agamais
sehingga dikenal istilah Marhaenis. Jaman itu memang Indonesia
membutuhkan seorang Soekarno. Kemudian jaman berikutnya, Indonesia
memerlukan Soeharto untuk membangun ekonomi nasional. Ini adalah cara
melihat sejarah sebagai suatu keutuhan.

Di sektor ekonomi, Indonesia sedang mengalami masalah besar.
Membanjirnya barang-barang import dari Cina karena `dumping', bukanlah
suatu kebetulan, tapi suatu upaya yng sangat terencana dan sistematis
dilakukan untuk menghancurkan infrastruktur ekonomi Indonesia. Hal ini
diperparah oleh pejabat-pejabat negara yang berpikiran pengusaha.
Sudah saatnya kita mulai membeli barang-barang produksi dalam negeri
untuk menyelamatkan keutuhan bangsa ini.

Upaya menyelamatkan bangsa ini harus lahir dari diri setiap insan
Indonesia. Pertama, Bangkitkan kebanggaan dan rasa cinta pada Ibu
Pertiwi. Kedua, Amati persoalan kebangsaan secara utuh dan tempatkan
posisi strategis yang lebih memerlukan intuisi kebenaran dari pada
intelektual/fakta-fakta pada kaum wanita seperti Jaksa Agung, atau
Hakim Agung karena intuisi wanita terbukti lebih peka daripada otak pria.

Bila ada pekerjaan yang memerlukan otot, pakailah pria karena secara
fisik, pria lebih kuat dari wanita. Bila seorang wanita menjadi supir
taksi, itu bukan emansipasi tapi itu penghinaan pada bakat atau
potensi wanita. Untuk pekerjaan yang berhubungan dengan budaya, atau
filsafat, gunakan wanita karena pria akan selalu menggunakan logika
dan falsafah tak akan terlihat olehnya. Jadi emansipasi bukanlah suatu
kehormatan bagi wanita. Emansipasi justru merupakan jargon yang
diciptakan pria yang tidak mau wanita berkembang. Emansipasi justru
menurunkan derajat wanita menjadi sama bodohnya dengan kaum pria.








------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/V8WM1C/EbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke