[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung Rico, dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. Kata Confusius: Journey of a thousand miles, begins with but a single step. Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah itu. Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya? Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih What we are now is what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now. - Buddha(?) Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi catatan: Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Seperti monumen Hiroshima - Nagasaki di Jepang itu. Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung kuno lain yang masih ada (kalau bisa). Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut sumbang saran dan bertukar pikiran. Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas Tionghua Indonesia. Memang sih TMII itu cuma 'taman hiburan berthema', tapi rasanya ndak ada salahnya juga kalau kita punya 'simbol' budaya di sana. Hidup memang penuh simbolik juga toh? Lha, upacara dan ritual itu juga bukankah banyak mengandung simbol-simbol perlambang untuk sesuatu yang luhur? Kalau mau ada bio yang bisa dipakai, mestinya juga ndak apa-apa. Seperti halnya candi-candi kuno itu kabarnya juga masih suka dipakai untuk upacara tertentu toh? Eh, jangan lupa, kalau masih ada tempat, juga tolong diusulkan untuk bangun satu resto makanan khas Tionghua
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Ah Bung Opheng sih terlalu optimis. Setiap orang bisa punya usul segudang, tapi yg menentukan kan ketua panitianya. Makanya setiap ada orang mau berpartisipasi thd sebuah acara, hrs tanya dulu: siapa yg mimpin? Jika sehaluan ya ikut, jika tdk ngapain maksa? Nanti pasti kecewa. Realistislah. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Ophoeng opho...@yahoo.com Date: Tue, 02 Feb 2010 11:06:07 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung Rico, dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. Kata Confusius: Journey of a thousand miles, begins with but a single step. Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah itu. Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya? Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih What we are now is what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now. - Buddha(?) Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi catatan: Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Seperti monumen Hiroshima - Nagasaki di Jepang itu. Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung kuno lain yang masih ada (kalau bisa). Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut sumbang saran dan bertukar pikiran. Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Saya sendiri bukan orang yang hidup di masa lalu. Hidup saat ini jelas untuk masa depan. Tapi masa depan yang bagaimana? Apa jejak perjuangan yang bisa ditorehkan di masa kini yang bisa menjadi pelajaran di masa depan? Bahwa kita sekarang ini generasi kalah yang mewariskan kekalahan itu kepada generasi yang akan datang dan berharap merekalah yang memperbaikinya? Apakah justru karena itulah maka tugas kita sekarang adalah untuk menghentikan kerusakan itu dan syukur-syukur bisa mengembalikan nilai-nilai historis yang selama ini dicoba dihapuskan jejaknya? Bagi saya, ini justru saatnya, saat di mana sisa-sisa gedung itu masih ada dan belum sepenuhnya hilang. Jangan dibiarkan benda-benda itu raib dan tidak ada catatan apapun untuk pelajaran generasi depan! Karena benda-benda itu masih ada, masih lebih besar kemungkinannya untuk merestorasinya ketimbang hanya memberikan catatan sejarah bahwa gedung itu dibongkar tahun 1990-an, kemudian didiamkan pada masa reformasi, tetap didiamkan selama masa selepas era reformasi, dan selanjutnya akan terus didiamkan selepasnya? Pada saat ini, justru momen untuk berbenah. Saya bukan orang yang meratapi masa lalu, tapi saya menyadari bahwa nilai historis masa lalulah yang menjadikan kita ada di masa kini. Perlukah generasi yang akan datang mengetahui dilema dan masalah kita agar kesalahan serupa tidak terulang? Perlu. Nah, mumpung masih ada sisanya (ketimbang benar0benar hilang ditelan masa), inilah saatnya untuk meneguhkan kembali perhatian dan kepedulian atas aset budaya tersebut. Sebagai contoh, di sejumlah negara, ada upaya untuk merestorasi benda-benda yang dirusak atau dihilangkan (karena berbagai faktor), karena mereka sadar bahwa itu adalah tugas masa kini untuk menghubungkan kesejarahan masa lalu mereka dengan masa kini dan masa yang akan datang. Makanya Museum Baghdad ngotot mengumpulkan kembali artefak yang mereka miliki dari jaman Sumeria, Babilonia hingga jaman Saddam. Museum Aborigin (di sejumlah kota di Australia) mencoba mengembalikan ingatan mereka yang coba dihapus oleh kalangan kulit putih lewat proyek yang menyebabkan The Stolen Generation selama 50 tahunan lamanya! Museum Indian (dan suku-suku di Amerika, meskipun masih berada dalam wilayah Konservasi), selalu disuguhi kegiatan untuk mengembalikan martabat mereka sebagai suku yang merdeka dan sederajat dengan kalangan kulit putih, sampai-sampai di Kanada, pemerintahannya menyampaikan permintaan maaf atas perilaku nenek moyang bapak agung kulit pucat yang menyebabkan derita berkepanjangan warga Indian. Di Afgan sendiri, ada sejumlah orang budayawan (bahkan muslim) yang mencoba memulai pemugaran patung budha besar yang dihancurkan Taliban. Di eks Yuan Ming Yuan sendiri, sedang ada perdebatan hangat mengenai apakah akan membangun Museum itu kembali untuk memperlihatkan kemegahannya yang tidak tertandingi, ataukah memindahkan lokasinya dengan alasan untuk menyediakan monumen kenangan atas penjarahan yang dilakukan delapan negara terhadap harta pusaka negara tersebut. Dalam hal ini, CN adalah salah satu aset budaya yang sangat kuat pesan historisnya. Dibandingkan dengan rumah SBK atau makamnya, dibandingkan kelenteng-kelenteng yang sudah berubah warna, maka fakta sejarah, fungsi dan keanggunan rumah KKA di CN ini bisa menunjukkan bagaimana kalangan Tionghoa memiliki kedudukan penting di bumi nusantara ini. Jadi, tidak heran apabila saya tetap mendesak untuk mengembalikan benda cagar budaya ini ke bentuk aslinya dengan kedua sayap, paviliun belakang dan halaman terbuka (semodel dengan Gedung Arsip Nasional di jalan yang sama). Toh para pelaku (dan penjahat) sejarahnya masih ada dan bisa ditodong untuk insaf. Saya sendiri sebagai orang yang mendalami masalah transitional justice juga perlu menegaskan bahwa pemberian maaf yang baik tidak boleh melupakan sejarah, agar kesalahan serupa tidak terulang. Namun demikian, pemberian maaf hanya berguna kalau si pelaku meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Kalau tidak, kita cuma memberi maaf kepada rupa patung belaka. Tentu saja ini bukan pembalasan dendam, tapi sebuah proses timbang terima. Kalau anda tahu adanya penjahat di pasar yang pernah menodong anda, kemudian anda bertemu lagi dengannya di mana dia memandangi anda tanpa bicara dan anda memaafkannya, padahal tindakan anda itu bisa jadi akan memungkinkannya bisa mencelakai orang dan bahkan teman anda, jelas itu bukan tindakan bijaksana. Yang benar tentunya perhatikan dia baik-baik, apakah perilakunya berubah atau dia kemudian minta maaf dan menyatakan tidak akan mengulang kejahatannya, barulah maaf itu berarti baginya. Saya bukannya mendorong untuk membalas dendam, tapi mengingatkan bahwa pemaafan saja tidak selalu berarti bijaksana. Jangan lupa, yang diberikan Soeharto itu juga aslinya bukan 4,5 ha. Ada deal apa, kita tidak pernah diberitahu. Apakah Brigjen itu bertindak untuk Tionghoa Indonesia, saya tidak memahami sepenuhnya. Tapi, yang
[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Ya, betul! Di luar rasa miris kita terhadap ulah mereka yang mengklaim diri Tokoh Masyarakat Tionghoa yang ikut memberangus situs-situs budaya Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya kita juga tidak pernah merasa turut memiliki TBT yang Di TMII itu kok. Bagaimana bisa sense of belonging itu dimunculkan dari kami, bila para pemrakarsa bertindak arogan dan otoriter. Yang diminta dari kita-kita cuma partisipasi menyumbang duit, sedang ide, pikiran dan saran kita sama sekali tak didengar mereka. Salah satu contohnya adalah Teddy Yusuf yang tidak pernah mau menghormati pendapat masyarakat Tionghoa, ngotot mengganti simbol Capji Shio dengan jenis-jenis satwa yang khas Indonesia. Argumen dia adalah agar supaya TBT itu tidak dianggap representasi salah satu agama, dan sekaligus juga lebih mencerminkan telah mengindonesianya masyarakat Tionghoa!! Contoh hal-hal kecil itu saja dia tidak pernah mau menerima masukan dari masyarakat. Apa lagi kalau ide-ide serius lainnya. Mimpi kali..! Salam, Erik \ -- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: Bung(atau mbak?) srustan, sebelum anda susah2 mikirin ide serius yg mau disumbang, saya kira lebih baik diselidiki dulu bentuk kepanitiaan tbt tmii ini dulu. Dari situ kita akan lihat, ini proyek serius atau hura2, educative atau politis? Jika yg ngurusi isinya orang yg tak paham budaya semua, mau kita usul segala macam ya percuma, jika dilaksanakan sepotong2 juga akan tambal sulam, amburadul dan hasil akhirnya biikin kecewa. Lain halnya jika di dalamnya duduk para akademisi dan budayawan, omongannya baru bisa nyambung. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Haha, sudah kebayang: shio naga diganti komodo. bintang yg lain kan ada di indonesia. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Erik rsn...@yahoo.com Date: Wed, 03 Feb 2010 06:29:21 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR Ya, betul! Di luar rasa miris kita terhadap ulah mereka yang mengklaim diri Tokoh Masyarakat Tionghoa yang ikut memberangus situs-situs budaya Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya kita juga tidak pernah merasa turut memiliki TBT yang Di TMII itu kok. Bagaimana bisa sense of belonging itu dimunculkan dari kami, bila para pemrakarsa bertindak arogan dan otoriter. Yang diminta dari kita-kita cuma partisipasi menyumbang duit, sedang ide, pikiran dan saran kita sama sekali tak didengar mereka. Salah satu contohnya adalah Teddy Yusuf yang tidak pernah mau menghormati pendapat masyarakat Tionghoa, ngotot mengganti simbol Capji Shio dengan jenis-jenis satwa yang khas Indonesia. Argumen dia adalah agar supaya TBT itu tidak dianggap representasi salah satu agama, dan sekaligus juga lebih mencerminkan telah mengindonesianya masyarakat Tionghoa!! Contoh hal-hal kecil itu saja dia tidak pernah mau menerima masukan dari masyarakat. Apa lagi kalau ide-ide serius lainnya. Mimpi kali..! Salam, Erik \ -- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: Bung(atau mbak?) srustan, sebelum anda susah2 mikirin ide serius yg mau disumbang, saya kira lebih baik diselidiki dulu bentuk kepanitiaan tbt tmii ini dulu. Dari situ kita akan lihat, ini proyek serius atau hura2, educative atau politis? Jika yg ngurusi isinya orang yg tak paham budaya semua, mau kita usul segala macam ya percuma, jika dilaksanakan sepotong2 juga akan tambal sulam, amburadul dan hasil akhirnya biikin kecewa. Lain halnya jika di dalamnya duduk para akademisi dan budayawan, omongannya baru bisa nyambung. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT