[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik Ophoeng
Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung 
Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, 
Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung 
Rico, dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua 
yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - 
sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir 
sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya 
sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - 
apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! 

Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana?

Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan 
bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi 
gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita 
berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita 
mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. 

Kata Confusius: Journey of a thousand miles, begins with but a single step.

Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak 
bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh 
memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh 
melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama.

Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas 
kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah 
dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan 
pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga 
mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau 
mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi 
muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka 
yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. 

Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat 
kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu 
yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari 
ini lawan, besok bisa jadi kawan. 

Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak 
seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, 
sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan 
pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah 
itu. 

Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya?

Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak 
masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? 
Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai 
membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih What we are now is 
what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now. - 
Buddha(?)

Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau 
pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa 
diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan 
suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian 
dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi 
catatan: Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi 
ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Seperti monumen Hiroshima - 
Nagasaki di Jepang itu.

Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, 
sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung 
kuno lain yang masih ada (kalau bisa). 

Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga 
arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut 
sumbang saran dan bertukar pikiran. 

Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, 
mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan 
tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu 
peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas 
Tionghua Indonesia. 

Memang sih TMII itu cuma 'taman hiburan berthema', tapi rasanya ndak ada 
salahnya juga kalau kita punya 'simbol' budaya di sana. Hidup memang penuh 
simbolik juga toh? Lha, upacara dan ritual itu juga bukankah banyak mengandung 
simbol-simbol perlambang untuk sesuatu yang luhur? Kalau mau ada bio yang bisa 
dipakai, mestinya juga ndak apa-apa. Seperti halnya candi-candi kuno itu 
kabarnya juga masih suka dipakai untuk upacara tertentu toh?

Eh, jangan lupa, kalau masih ada tempat, juga tolong diusulkan untuk bangun 
satu resto makanan khas Tionghua 

Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik zhoufy
Ah Bung Opheng sih terlalu optimis. Setiap orang bisa punya usul segudang, tapi 
yg menentukan kan ketua panitianya. Makanya setiap ada orang mau berpartisipasi 
thd sebuah acara, hrs tanya dulu: siapa yg mimpin? Jika sehaluan ya ikut, jika 
tdk ngapain maksa? Nanti pasti kecewa. Realistislah.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: Ophoeng opho...@yahoo.com
Date: Tue, 02 Feb 2010 11:06:07 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA.  Boen Bio 
  Li Thang  GUS DUR

Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung 
Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, 
Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung 
Rico, dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua 
yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - 
sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir 
sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya 
sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - 
apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! 

Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana?

Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan 
bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi 
gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita 
berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita 
mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. 

Kata Confusius: Journey of a thousand miles, begins with but a single step.

Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak 
bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh 
memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh 
melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama.

Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas 
kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah 
dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan 
pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga 
mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau 
mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi 
muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka 
yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. 

Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat 
kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu 
yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari 
ini lawan, besok bisa jadi kawan. 

Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak 
seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, 
sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan 
pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah 
itu. 

Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya?

Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak 
masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? 
Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai 
membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih What we are now is 
what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now. - 
Buddha(?)

Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau 
pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa 
diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan 
suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian 
dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi 
catatan: Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi 
ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Seperti monumen Hiroshima - 
Nagasaki di Jepang itu.

Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, 
sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung 
kuno lain yang masih ada (kalau bisa). 

Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga 
arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut 
sumbang saran dan bertukar pikiran. 

Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, 
mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan 
tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu 
peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik sumamihardja
Saya sendiri bukan orang yang hidup di masa lalu. Hidup saat ini jelas untuk 
masa depan. Tapi masa depan yang bagaimana? Apa jejak perjuangan yang bisa 
ditorehkan di masa kini yang bisa menjadi pelajaran di masa depan? Bahwa kita 
sekarang ini generasi kalah yang mewariskan kekalahan itu kepada generasi yang 
akan datang dan berharap merekalah yang memperbaikinya? Apakah justru karena 
itulah maka tugas kita sekarang adalah untuk menghentikan kerusakan itu dan 
syukur-syukur bisa mengembalikan nilai-nilai historis yang selama ini dicoba 
dihapuskan jejaknya? 

Bagi saya, ini justru saatnya, saat di mana sisa-sisa gedung itu masih ada dan 
belum sepenuhnya hilang. Jangan dibiarkan benda-benda itu raib dan tidak ada 
catatan apapun untuk pelajaran generasi depan! Karena benda-benda itu masih 
ada, masih lebih besar kemungkinannya untuk merestorasinya ketimbang hanya 
memberikan catatan sejarah bahwa gedung itu dibongkar tahun 1990-an, kemudian 
didiamkan pada masa reformasi, tetap didiamkan selama masa selepas era 
reformasi, dan selanjutnya akan terus didiamkan selepasnya? 

Pada saat ini, justru momen untuk berbenah. Saya bukan orang yang meratapi masa 
lalu, tapi saya menyadari bahwa nilai historis masa lalulah yang menjadikan 
kita ada di masa kini. Perlukah generasi yang akan datang mengetahui dilema dan 
masalah kita agar kesalahan serupa tidak terulang? Perlu. Nah, mumpung masih 
ada sisanya (ketimbang benar0benar hilang ditelan masa), inilah saatnya untuk 
meneguhkan kembali perhatian dan kepedulian atas aset budaya tersebut. 
Sebagai contoh, di sejumlah negara, ada upaya untuk merestorasi benda-benda 
yang dirusak atau dihilangkan (karena berbagai faktor), karena mereka sadar 
bahwa itu adalah tugas masa kini untuk menghubungkan kesejarahan masa lalu 
mereka dengan masa kini dan masa yang akan datang. 

Makanya Museum Baghdad ngotot mengumpulkan kembali artefak yang mereka miliki 
dari jaman Sumeria, Babilonia hingga jaman Saddam. Museum Aborigin (di sejumlah 
kota di Australia) mencoba mengembalikan ingatan mereka yang coba dihapus oleh 
kalangan kulit putih lewat proyek yang menyebabkan The Stolen Generation selama 
50 tahunan lamanya! Museum Indian (dan suku-suku di Amerika, meskipun masih 
berada dalam wilayah Konservasi), selalu disuguhi kegiatan untuk mengembalikan 
martabat mereka sebagai suku yang merdeka dan sederajat dengan kalangan kulit 
putih, sampai-sampai di Kanada, pemerintahannya menyampaikan permintaan maaf 
atas perilaku nenek moyang bapak agung kulit pucat yang menyebabkan derita 
berkepanjangan warga Indian. Di Afgan sendiri, ada sejumlah orang budayawan 
(bahkan muslim) yang mencoba memulai pemugaran patung budha besar yang 
dihancurkan Taliban.

Di eks Yuan Ming Yuan sendiri, sedang ada perdebatan hangat mengenai apakah 
akan membangun Museum itu kembali untuk memperlihatkan kemegahannya yang tidak 
tertandingi, ataukah memindahkan lokasinya dengan alasan untuk menyediakan 
monumen kenangan atas penjarahan yang dilakukan delapan negara terhadap harta 
pusaka negara tersebut.

Dalam hal ini, CN adalah salah satu aset budaya yang sangat kuat pesan 
historisnya. Dibandingkan dengan rumah SBK atau makamnya, dibandingkan 
kelenteng-kelenteng yang sudah berubah warna, maka fakta sejarah, fungsi dan 
keanggunan rumah KKA di CN ini bisa menunjukkan bagaimana kalangan Tionghoa 
memiliki kedudukan penting di bumi nusantara ini. 

Jadi, tidak heran apabila saya tetap mendesak untuk mengembalikan benda cagar 
budaya ini ke bentuk aslinya dengan kedua sayap, paviliun belakang dan halaman 
terbuka (semodel dengan Gedung Arsip Nasional di jalan yang sama). Toh para 
pelaku (dan penjahat) sejarahnya masih ada dan bisa ditodong untuk insaf.

Saya sendiri sebagai orang yang mendalami masalah transitional justice juga 
perlu menegaskan bahwa pemberian maaf yang baik tidak boleh melupakan sejarah, 
agar kesalahan serupa tidak terulang. Namun demikian, pemberian maaf hanya 
berguna kalau si pelaku meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Kalau tidak, 
kita cuma memberi maaf kepada rupa patung belaka. Tentu saja ini bukan 
pembalasan dendam, tapi sebuah proses timbang terima. Kalau anda tahu adanya 
penjahat di pasar yang pernah menodong anda, kemudian anda bertemu lagi 
dengannya di mana dia memandangi anda tanpa bicara dan anda memaafkannya, 
padahal tindakan anda itu bisa jadi akan memungkinkannya bisa mencelakai orang 
dan bahkan teman anda, jelas itu bukan tindakan bijaksana. Yang benar tentunya 
perhatikan dia baik-baik, apakah perilakunya berubah atau dia kemudian minta 
maaf dan menyatakan tidak akan mengulang kejahatannya, barulah maaf itu berarti 
baginya. Saya bukannya mendorong untuk membalas dendam, tapi mengingatkan bahwa 
pemaafan saja tidak selalu berarti bijaksana.

Jangan lupa, yang diberikan Soeharto itu juga aslinya bukan 4,5 ha. Ada deal 
apa, kita tidak pernah diberitahu. Apakah Brigjen itu bertindak untuk Tionghoa 
Indonesia, saya tidak memahami sepenuhnya. Tapi, yang 

[budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik Erik

Ya, betul! Di luar rasa miris kita terhadap ulah mereka yang mengklaim
diri Tokoh Masyarakat Tionghoa yang ikut memberangus situs-situs
budaya Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya kita juga tidak pernah merasa
turut memiliki TBT yang Di TMII itu kok.

Bagaimana bisa sense of belonging itu dimunculkan dari kami, bila para
pemrakarsa bertindak arogan dan otoriter. Yang diminta dari kita-kita
cuma partisipasi menyumbang duit, sedang ide, pikiran dan saran kita
sama sekali tak didengar mereka.

Salah satu contohnya adalah Teddy Yusuf yang tidak pernah mau
menghormati pendapat masyarakat Tionghoa, ngotot mengganti simbol Capji
Shio dengan jenis-jenis satwa yang khas Indonesia. Argumen dia adalah
agar supaya TBT itu tidak dianggap representasi salah satu agama, dan
sekaligus juga lebih mencerminkan telah mengindonesianya masyarakat
Tionghoa!!

Contoh hal-hal kecil itu saja dia tidak pernah mau menerima masukan dari
masyarakat. Apa lagi kalau ide-ide serius lainnya. Mimpi kali..!

Salam,

Erik

\
--

  In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote:

 Bung(atau mbak?) srustan, sebelum anda susah2 mikirin ide serius yg
mau disumbang, saya kira lebih baik diselidiki dulu bentuk kepanitiaan
tbt tmii ini dulu. Dari situ kita akan lihat, ini proyek serius atau
hura2, educative atau politis?

 Jika yg ngurusi isinya orang yg tak paham budaya semua, mau kita usul
segala macam ya percuma, jika dilaksanakan sepotong2 juga akan tambal
sulam, amburadul dan hasil akhirnya biikin kecewa.

 Lain halnya jika di dalamnya duduk para akademisi dan budayawan,
omongannya baru bisa nyambung.


 Sent from my BlackBerry®
 powered by Sinyal Kuat INDOSAT



Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR

2010-02-02 Terurut Topik zhoufy
Haha, sudah kebayang: shio naga diganti komodo. bintang yg lain kan ada di 
indonesia.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-Original Message-
From: Erik rsn...@yahoo.com
Date: Wed, 03 Feb 2010 06:29:21 
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA.  Boen Bio 
  Li Thang  GUS DUR


Ya, betul! Di luar rasa miris kita terhadap ulah mereka yang mengklaim
diri Tokoh Masyarakat Tionghoa yang ikut memberangus situs-situs
budaya Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya kita juga tidak pernah merasa
turut memiliki TBT yang Di TMII itu kok.

Bagaimana bisa sense of belonging itu dimunculkan dari kami, bila para
pemrakarsa bertindak arogan dan otoriter. Yang diminta dari kita-kita
cuma partisipasi menyumbang duit, sedang ide, pikiran dan saran kita
sama sekali tak didengar mereka.

Salah satu contohnya adalah Teddy Yusuf yang tidak pernah mau
menghormati pendapat masyarakat Tionghoa, ngotot mengganti simbol Capji
Shio dengan jenis-jenis satwa yang khas Indonesia. Argumen dia adalah
agar supaya TBT itu tidak dianggap representasi salah satu agama, dan
sekaligus juga lebih mencerminkan telah mengindonesianya masyarakat
Tionghoa!!

Contoh hal-hal kecil itu saja dia tidak pernah mau menerima masukan dari
masyarakat. Apa lagi kalau ide-ide serius lainnya. Mimpi kali..!

Salam,

Erik

\
--

  In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote:

 Bung(atau mbak?) srustan, sebelum anda susah2 mikirin ide serius yg
mau disumbang, saya kira lebih baik diselidiki dulu bentuk kepanitiaan
tbt tmii ini dulu. Dari situ kita akan lihat, ini proyek serius atau
hura2, educative atau politis?

 Jika yg ngurusi isinya orang yg tak paham budaya semua, mau kita usul
segala macam ya percuma, jika dilaksanakan sepotong2 juga akan tambal
sulam, amburadul dan hasil akhirnya biikin kecewa.

 Lain halnya jika di dalamnya duduk para akademisi dan budayawan,
omongannya baru bisa nyambung.


 Sent from my BlackBerry®
 powered by Sinyal Kuat INDOSAT