Yang dicari sebagai obyek fotografi itu apa? Apa keantikan kelenteng, keunikan
umat, keunikan fungsi, kimsinnya, atau malah keanehan bentuk kelenteng?
Apakah termasuk juga vihara yang benar-benar budhis meskipun memiliki ornamen
Tionghoa? Klasifikasinya juga sangat banyak.
Di seputaran daerah kota ada sekitar 20 kelenteng (dengan berbagai namanya,
semisal bio, i, si, kong, dsb, termasuk juga kelenteng pelindung marga,
kelenteng sinci, kelenteng kwan im, hok tek cheng sin dan kelenteng-kelenteng
khusus untuk tukang obat, tukang kayu, dsb). Yang saya maksud daerah kota
kira-kira dari kotak imajiner sekitar beos menuju ke pinangsia, ke arah glodok
pancoran, sampai ke mulut jembatan lima lalu ke arah angke ke Timur menuju
pasar ikan dan kembali ke stasiun beos.
Di Jakarta sendiri, ada beberapa kelompok daerah kelenteng (yang dibangun
sebelum era orde baru, termasuk yang hancur atau dijarah di tahun 1967 dan
1998). Saya kecualikan vihara (budhis) dengan model Tionghoa yang dibangun
belakangan dan biasanya cirinya adalah bertingkat, modern dengan sedikit
arsitektur Tionghoa dan adanya patung Kuan Im dan hiolo baru. Beberapa
pengelompokan kelenteng yang cukup dekat dengan kota adalah daerah mangga besar
hingga pasar baru (sekitar 20 kelenteng) yang terutama sekali memiliki pengaruh
buddhis yang kuat, kemudian enklave daerah pluit-angke (sekitar 10 kelenteng,
termasuk Toapekong Ancol) meskipun sebagian sudah agak modern, lalu enklave
daerah jembatan lima hingga tanah abang (sekitar 10 kelenteng) yang juga
gado-gado. Ada juga kelenteng yang akan misah seperti misalnya Hian Thian Siang
Tee di Palmerah dan Kelenteng Hok Tek Cheng Sin di Karet dan Kwee Seng Ong di
Senen yang dipindah ke Sunter serta kelenteng Hok Tek Cheng Sin Jatinegara.
Karena yang dimintakan hanya daerah kota saja, berikut ini daftarnya dan
sedikit komentar saya:
1. Hongsan bio (Toase Bio) di Jl. Kemenangan III (dekat gereja samping sekolah
Ricci, yang peninggalan kapiten yang menjadi Katolik, dengan arsitektur awal
abad ke-20 yang cukup menarik meskipun ada beberapa perombakan di dalamnya
untuk memfasilitasi gereja), nama sankritnya sudah dikembalikan ke Tionghoa,
aktif dalam kegiatan gotong joli. Arsitekturnya lumayan, meski sudah difurnish
modern dengan berbagai keramik dan beton baru.
2. Kim Tek I di Petak Sembilan, sebenarnya bergabung dengan tiga kelenteng
tambahan lain di depannya, sehingga orang sering rancu. Di kompleks itu jadinya
ada empat kelenteng dengan maksud, arsitektur dan juga pemaknaan yang
sebenarnya agak berbeda. Ada yang semula untuk shen penjaga neraka (karena
aslinya untuk menghormati shen penjaga daerah pemakaman), dsb (saya tidak bahas
karena terlalu panjang). Kompleks ini suduah difurnish modern, termasuk hiolo
di depan Kim Tek I sendiri dan bagian-bagian sampingnya. Arsitektur kayunya
menarik, meskipun tidak serumit yang biasa ditemukan di daerah Jawa Tengah
(Semarang dan Lasem). Nama sanskritnya masih terpampang di gerbang depan
meskipun orang sudah terbiasa kembali ke nama asalnya.
3. Thian Hou Kiong (Maco Lim Bi Nio atau Thian Siang Seng Bo) di Bandengan
Selatan. Arsitekturnya masih dipertahankan, namun sayangnya gara-gara orba
dulu, diadakan penamaan dewi samudera dan dipagar sehingga ada kesan bahwa
kelenteng itu diberi kerangkeng (karena bentuk pagar dalamnya yang tinggi dan
seperti teralis penjara). Yang unik hanya bagian depan, karena bagian belakang
nampaknya dibuat untuk mengesankan kebudhisan tambahan dengan menambahkan ruang
bagi Kuan Im. Memang agak rancu, karena toh dalam beberapa hikayat, Lim Bi Nio
sendiri digambarkan sebagai berciri budhis dan sama-sama berfungsi sebagai dewi
penolong, meskipun lebih banyak dikenal kalangan nelayan.
4. Tan Seng Ong Bio (kelenteng pelindung marga Tan), di Jl. Blandongan.
Kelenteng ini kelihatannya tidak pernah dipaksa memakai nama sanskrit karena
lebih ke kelenteng marga. Arsitekturnya cukup baik, meskipun sekarang sedang
direnovasi. Sayangnya ada beberapa renovasi sebelumnya di bagian kanan (dari
tuan rumah) dan lagi-lagi penambahan ruang Kuan Im yang mempengaruhi makna
kelenteng asalnya.
5. Lo Pan Kiong di Bandengan Selatan (dekat sekali, sebelah kelenteng Maco,
namun kelihatannya sudah direnovasi habis dan karena berada di rumahan, sulit
dilihat (tertutup dan kabarnya hanya dipakai saat kebaktian mingguan).
6. Li Ti Kuai Bio (salah satu dari delapan dewa) di Jl. Perniagaan Gg. Patike.
Patungnya antik, namun gedungnya sudah dimodernkan dan menjadi vihara (Budhi
Dharma).
7. Lam Ceng Bio (yang disebut arya marga, suatu nama sanskrit yang dipaksakan
untuk mengesankan Kwan Kong sebagai seorang Patriot Pembela), di Gg. lamceng
dan berfungsi rumahan (sebelumnya kompleks rumah kapiten marga The). Gedungnya
sudah direnovasi abis dan bahkan ditambahi ruang yang berfungsi sebagai ruang
titipan pengenang arwah meninggal (lilin di gelas). Ada abeberapa artefak yang
unik namun arsitekturnya terlalu modern.
8. Sam Nyan