Menarik mengikuti perbincangan ini, tapi tampaknya ada hal yg agak mengganjal, yaitu kemungkinan salah persepsi bahwa itu memang bukan tiang kapal dalam arti sesungguhnya, artinya --seperti merujuk pada David Kwa dan Pak Loekito-- tiang kapal yang dipotong (atau diapakan lah) lalu dipasang di muka klenteng sebagai tiang bendera. Kalau ttg ini, memang sangat bisa diterima uraian David Kwa, kapal masih harus balik ke nanfang (southern China) lagi. Kalau tidak ada tiangnya, trus bagaimana bisa jalan? Nah, saya kira ini makna simbolik. Jadi dua tiang di depan klenteng yg ada Mak Cou-nya itu (entah sebagai tuan rumah atau hanya pendamping) hanyalah simbol (kata ini saya tekankan) keberadaan Dewi Pelindung Samudera yang diasosiasikan dengan kapal, terlebih ketika patung Dewi ini dibawa ke nanyang oleh para imigran. Jadi --merujuk pada tesis Johannes Widodo-- ada keterkaitan antara pola perletakan patung di atas kapal (yaitu: ditahtakan di atas kapal) dengan desain tata ruang kapal itu sendiri. Pada nantinya, ketika tiang2 ini berubah fungsi, entah dijadikan tiang bendera ataupun apa, makna simbolik awalnya tetap terjaga. Sintesa pemikiran ini baru dapat diterima apabila ada cukup bukti terhadap korelasi antara tiang "bendera" di suatu klenteng dengan kehadiran Mak Cou di situ, dengan premis: setiap ada patung Mak Cou di suatu klenteng, pasti ada 2 tiang "bendera" di depan klenteng itu. Apabila saat ini, di suatu klenteng ada Mak Cou tetapi tidak ada 2 tiang, maka harus merujuk pada foto2 atau sketsa2 lama tentang klenteng yang bersangkutan itu. eddy ---------------------------------------------------------------------------------------------- David Kwa: Menurut saya, tiang bendera tidak dibuat dari tiang kapal, tapi dari kayu gelondongan, seperti bahan untuk membuat bangunan Tionghoa lainnya, sebelum ada rumah batu, karena junk (kapal layar besar) yang membawa rombongan orang dan barang dari bandar Ciangciu/Zhangzhou 漳州 atau Coanciu/Quanzhou 泉州 di propinsi Hokkian/Fujian �建 ke berbagai bandar di Lamyang/Nanyang�洋 (Nusantara) toh masih harus berlayar kembali ke Tiongkok membawa berbagai komoditas seperti rempah-rempah (lada, cengkeh, kapolaga, dan pala), garam, minyak kelapa, cula badak dan gading gajah, kayu cendana, madu dan malam, dll, setelah angin ke arah Tiongkok (angin tenggara?) berembus. Seperti kita ketahui, junk tidak mungkin berlayar kalau tidak ada tiangnya. Lagipula, kayu untuk bahan membuat tiang bendera kan berlimpah-ruah di hutan-hutan Nusantara waktu itu, jadi tidak usah mengorbankan tiang kapal―dan otomatis kapalnya juga―semata-mata untuk memenuhi persyaratan membuat sepasang tiang bendera di muka kelenteng.
Pak Loekito: Apakah kira-kira itu tiang kapal yang diubah fungsi sebagai tiang bendera. Kejadian ini hanya berlaku untuk kelenteng-kelenteng awal. Gimana bung... Sugiri: > Saya pernah baca penelitiannya pak Johaness Widodo, menurut beliau para > pendatang biasanya turun dari kapal untuk bermukim, lalu membawa 2 buah > tiang layar dari kapalnya, serta patung dewa Maconya untuk dihormati > dikelenteng awal. Tiangnya ditaruh dihalaman kelenteng mengikuti > konfigurasi ketika posisi dikapal dulu.