Sebetulnya perkawinan campur tidak selalu berjalan seperti yang diceritakan
berdasar pengalaman Tan Lookay. Kebetulan saja yang dialami oleh Tan Lookay
seperti yang diuraikan, atau lebih tepatnya tidak ada data statistik yang
menunjang claim claim tertentu.
Perkawinan campur harus di kategorikan ke beberapa macam. Misalnya apakah ini
perkawinan antara dua orang yang belum kawin? ataukah antara duda dengan anak
gadis atau antara janda dengan jejaka. Dan apakah sang duda atau sang janda
sudah mempunyai anak dengan isteri/suami sebelumnya? Apakah mereka menjadi duda
atau janda karena bercerai hidup atau karena pasangannya meninggal?
Kemudian juga harus dilihat bagaimanakah status sosial masing2 pihak? Apakah
status sosial mereka sama? Apakah status materi mereka sama? Ataukah status
yang satu lebih tinggi dari yang lain?
Dan kapan perkawinan campur ini terjadi? Sebelum tahun 1920'an atau antara 1920
1945? Atau 45 sd 70? Atau 70 sd 98? Atau sesudah tahun 1998?
Dan dimana? Di Jawa atau di luar Jawa? Antara suku apa? Dan apakah ada
perbedaan agama?
Walaupun tidak ada data statistik yang mendukung, agaknya berdasar cerita
cerita dari jaman dahulu dan melihat ke sekeliling, di jaman dahulu (seb 45),
perkawinan campur lebih tidak menjadi masalah, jika semakin sedikit faktor yang
bisa menjadi penghalang. Misalnya antara perjaka dan gadis lebih sedikit
masalahnya dibanding duda atau janda sdh beranak dengan gadis/jejaka. Dalam hal
yang terakhir, baik yang cerai hidup maupun yang karena pasangan meninggal,
maka biasanya faktor keluarga (ayah, ibu, saudara) dari yang bercerai atau yang
meninggal ikut bersuara karena sudah ada anak tadi.
Juga walaupun tidak ada statistik yang mendukung, tetapi dari beberapa
perkawinan campur yang penulis ketahui dari masa sebelum tahun 45, biasanya
status sosial menjadi faktor penentu apakah seseorang akan ikut menjadi
golongan yang mana. Ada banyak kasus terutama di Jawa (yang diketahui oleh
penulis) yang orang Jawa menjadi orang Tionghoa, tapi juga ada kasus dimana
orang Tionghoa menjadi orang Jawa. Di jaman dulu katanya status sosial dan
status materi yang menentukan, biasanya yang kalah statusnya 'di dudut' oleh
pihak yang status nya lebih tinggi. Dan ini bisa berlaku baik bagi pria maupun
wanita.
Antara tahun 1900'an sampai dengan 1945 datang sejumlah pemuda imigran dari
daratan Tiongkok, banyak diantara mereka yang kemudian mengambil gadis lokal
menjadi isterinya, walaupun tidak ada data statistik yang mendukung, perkawinan
campur mereka melahirkan generasi yang kemudian dan tidak ada masalah.
Dan sebetulnya perkawinan campur seperti ini juga sudah terjadi beberapa abad
sebelumnya terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kenapa Jawa Tengah
dan Jawa Timur? Ya karena waktu itu lebih banyak yang berorientasi ke pusat
ekonomi Jawa, yang tentu saja masih bukan Jakarta tetapi berada di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Lagi lagi tanpa data statistik yang mendukung, ada yang merasakan terutama
setelah tahun 1970'an faktor yang menentukan terhadap perkawinan campur
bergeser ke agama.
Tentu saja semua ini akan menjadi subyek yang menarik untuk menjadi bahan
kajian yaitu membandingkan pergeseran yang terjadi dalam hal faktor2 yang
menentukan di perkawinan campur sebelum tahun 45 dan sesudah tahun 45. Atau
mungkin dengan periodisasi yang lebih rinci lagi
Tentu saja itu semua bisa dijadikan tugas akhir untuk meraih gelar sarjana.
Salam, Harry Alim
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tantono Subagyo tant...@... wrote:
Lookay sudah tua (58) dan menjalani sendiri, jadi bisa share
pengalaman. Ayah Lookay almarhum pertama kali menikah dengan sesama suku,
setelah punya anak 5 orang lalu mama tua (Lookay blom pernah ketemu)
meninggal. Ketika papa Lookay mau menikah dengan mama Lookay, jaman itu
masih kuno , jadi ayah Lookay agak dikucilkan dari rumah besar. Lha, mama
Lookay gimana ?. Ya payah juga malah dikatakan jadi gundik, padahal dinikah
resmi secara agama dan ada surat nikahnya.