On Wed, 6 Jul 2005, Muhamad Tole wrote:
On Wed, 6 Jul 2005 10:48:43 +0700 (WIT)
pak marno aku coba beranalogi begini, kalau nantinya cctld mengeksekusi domain yg berisi dokumen palsu misalnya sebuah PT. ICM (pe te Indonesia Cepat Makmur).

pak contohnya itu kok seperti mencerminkan ketidaksabaran Indonesia yg belum tinggal landas :-). apa tidak ada contoh lain seperti pt maju mundur atau pt rindu order :-).

Setelah diusut oleh kehakiman, PT itu bodong alias palsu dan tidak terdaftar disana. Jadilah kasus itu menjadi sebuah kasus kriminal, kasus adu domba antar negara dll. Selanjutnya aku tak mau pikirkan korbannya atau nasib negara yg diadu, karena itu hanya cerita misalkan saja dan disini aku ingin tulis kemungkinan posisi cctld saja pada kasus itu.

anda menulis cerita mengalir begitu saja. Apakah anda telah memahami aturan permainannya ? dalam aturan permainan selalu dibuat semacam konvensi, ketentuan, kalau melanggar konvensi nggak aci jadinya. Aturan perdagangan perempuan masih tidak jelas bagi saya karena saya bukan pelaku perdagangan perempuan. Tetapi saya cukup maklum kalau anda tidak ingin menaruh perhatian kepada korban dalam cerita anda karena itu hanya sebuah contoh buatan anda sendiri. Bagaimana kaitannya dg soal cctld, apakah bisa lebih to the point ? kepalsuan pt itu kepada cctld tidak akan merugikan cctld karena yg akan berhadapan dg pihak penegak hukum adalah pelaku itu sendiri, apalagi sampai melakukan penjualan perempuan, itu barangkali jelas sudah melanggar KUHP nya soal perdagangan perempuan (cmiiw). Dalam hal ini cctld telah membantu pemerintah secara sukarela dg membuat tambahan aturan perlu adanya npwp perusahaan.

Untungnya hukum di Indonesia tidak berburuk sangka (hukum positif), sehingga CCTLD dijadikan hanya sebatas sebagai saksi. Jangan takut dihukum karena bisa memesan LAPAS yg mewah di Jakarta.

ah anda kebanyakan baca koran tabloid ya, memang saya dengar lapas politikkus dan kriminal biasa jauh berbeda walau tujuannya sama saja yaitu mengembalikan nilai nilai kemasyarakatan pelaku melalui lembaga pemasyarakatan, saya dengar disitu salah satu kegiatannya adalah kesenian dan keagamaan.

Aku tidak ingin mengusulkan cctld menjadi agen polisi dan harus menyarankan tiap pendaftar domain .id memekai cap jempolnya, karena di negara majupun lembaga non profit, tidak pernah menjadi agen polisi, selain cara seperti itu hanya akan memenuhi bandwith internet Indonesia dg pixel cap jempol pendaftar domain .id.

lembaga yg mensupport pembangunana di Indonsia umumnya juga memiliki sebutan sebagai mitra pembangunan pemerintah. Kalau salah satu bagian pemerintah adalah kepolisian, maka kemitraannya sudah jelas aturan permainannya.

Justru masyarakat yg dianjurkan sadar hukum memerlukan sistem hukum yg baik sehingga kesadaran masyarakatnya tidak cepat hilang. Ini seperti orang yg sudah sadar kemudian diberi obat bius lagi, maka kesadarannya akan hilang kembali. agak percuma ya.

FYI saja, soal macetnya bandwith Internet bukan semata mata karena ada pixel cap jempol di Internet, melainkan karena pertambahan user Internet di Indonesia tidak diantisipasi oleh infrastruktur penunjangnya. Mungkin saat ini pemerintah dan masyarakat masih belajar mencari solusi terbaiknya sesuai dg kemampuan yg ada.

Karena kalau hanya bergantung kepada pemerintah terus, maka masyarakat harus selalu bersabar. Kalau bergantung kepada kemampuan masyarakatpun, masyarakat tetap harus bersabar. Namun kalau kedua proses bergantungan itu bisa diukur, maka "lama waktu untuk bersabar masyarakat bisa dihitung" dan bisa dimasukan ke dalam bisnis plan masing masing orang karena setiap proses itu erat kaitannya dg masyarakat.

Dalam Internet yg macet bandwithnya, maka moto 1x24 jam full support akan tidak tercapai secara baik. Prospek pengembangan aplikasi Internet pun akan mengalami kendala ketika memasuki tahap uji sistem aplikasinya.

Saya mohon maaf telah menulis agak panjang karena perntanyaan dan pernyataan pak Tole menurut hemat saya perlu dijawab secara jelas. Terimakasih.

Wassalam,
-marno-

Kirim email ke