On Fri, 26 Aug 2005, adi wrote:

Saya ndak bertanya kok, cuman bertanya-tanya doang, lah wong tanya
juga pasti dicuekin :-)

barangkali sedang sibuk pak . sms presiden saja harus sabar menunggu hasilnya :-).

Kalau gini terus-terusan, ini kan cuman
ngurusin domain punya orang lain, kalau masalah-masalah lain yang
gedhe gimana?

jawabannya kemungkinan pilihannya ; a. makin ruwet, b.tidak ruwet, c. ruwet, d. diselesaikan sesuai SOP

Barangkali sudah saatnya kita mendidik
anak-anak kita untuk gak usah sekolah saja (lagian mahal!), kita
latih mereka mengumpulkan massa dan konco biar punya power. toh
logic/common-sense sudah ndak ada nilainya lagi.

hehehe wah kalau begitu tidak membuat manusia "homo homini socius" dong pak. Orang sebagai mahluk sosial dan kemudian mendapat pendidikan di sekolah akan dapat mengembangkan budaya yang lebih baik. Persoalannya "budaya baik itu relatif", seperti pemakaian tatoo menurut sebagian orang termasuk bentuk "budaya yg baik", sedangkan bagi orang yg beragama Islam, disebut "budaya yang tidak baik".

Budaya kebiasaan pengumpulan masa, akan menghasilkan orang orang yg tidak dapat mandiri. Ketidakmandirian ini bisa berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa atau ketika berjalan di hutan sendirian.

Ayo kita semua ikut berperan aktif ikut serta dalam pembangunan,
berjuang dengan pensil dan buku! :-)

Pak Adi, ada baiknya dibuka forum diskusi gratis, dan tiap peserta bawa sangu masing masing termasuk bekal minum dan makanannya sendiri mirip acara buka puasa di masjid di kampung.

Pada akhir sesion diskusi selalu dituliskan tanya jawab oleh notulen. Pada akhirnya hasil diskusi dan ulasan para pakar itu bisa dijadikan sebuah buku yg berguna bagi anak cucu kelak dalam menghadapi perkembangan IT di Indonesia dan di pergaulan Internasional. Dan bukan sekedar menjadi member organisasi internasional dg status "yes selalu".

Buku sejenis pernah saya baca untuk bidang kedokteran yang mengulas penyakit penyakit umum yg sering timbul di masyarakat berikut tanya jawab serta saran tindak perawatan di rumah yg mudah diikuti oleh masyarakat.

Status hak cipta buku itu kelak tentunya bukan milik perorangan akan tetapi milik stakeholder, hanya saja didalam pengurusan Hak Ciptanya mungkin bisa diwakili oleh sebuah lembaga dimana para peserta diskusi yg menjadi stakeholder bernaung didalamnya. Lembaga ini tentu bukan hanya menaungi pengguna domain .id, pemberi jasa ISP, atau jasa hosting, melainkan semua orang yg bergaul dg IT secara formal atau tidak formal.

Mungkin di LII itu bisa digelar, dg cara seperti buka puasa di kampung itu, masing masing peserta membawa bekal sendiri, minuman dan makanan sendiri serta kantong keresek sampah sendiri termasuk buku tulis dan pensil beli sendiri :-).

Jika buku itu bisa laris selama 50 tahun, maka stakeholder akan menerima royalty terus menerus. > 50 tahun buku itu akan menjadi publik domain (milik publik).

Salam,
-marno-

Kirim email ke