Fauzi A. Muda, Jawa Pos, Minggu, 12 April 2009
Segala sesuatu akan mengalami perubahan, tapi hanya perubahan itu sendiri yang
kekal. Barangkali itulah kata (motivasi) yang tepat untuk menggambarkan gairah
industri perbukuan tanah air saat ini. Sebuah fakta yang terjadi pada lima
tahun belakangan. Buku-buku motivasi memenuhi rak-rak toko buku, bahkan tidak
sedikit yang dilabeli international bestseller.
Nama motivator Arab Saudi, Dr Aidh al-Qarni, telah menyedot perhatian umat
muslim di dunia. Bukunya yang fenomenal, Laa Tahzan (2004), laris manis di
pasaran. Konon untuk edisi Indonesia sudah cetak ulang hingga 30 kali. Laa
Tahzan mampu memberi uraian yang mencerahkan serta membangkitkan rasa optimisme
bernuansa Islami. Misalnya, mengajak masyarakat untuk tetap tegar dalam hidup
karena ia hanya hidup sekali. Masyarakat juga diminta untuk tidak bersedih atas
kesusahan yang menimpa mereka, karena sesungguhnya di balik kesusahan ada
kemudahan dan di balik kesedihan ada kebahagiaan.
Fenomena al-Qarni seolah membangkitkan gairah penulisan, penerbitan, dan bisnis
buku bertema motivasi. Nyatanya, hampir semua penerbit kemudian
berbondong-bondong menerbitkan buku-buku bertema sama. Tidak hanya dari penulis
asing, penulis lokal Indonesia pun juga bertebaran. Tidak sedikit bukunya yang
akhirnya laris manis.
Kita juga masih ingat fenomena buku The Secret (2006) karya Rhonda Byrne
yang diklaim sebagai rahasia terbesar yang pernah ada, terkubur, dan sengaja
disembunyikan. Byrne juga mengklaim bahwa orang-orang hebat mengetahui dan
mempraktikkan rahasia ini, dan dengan suka rela dia membagikannya kepada
pembaca.
Sekadar menyebut nama beken; Stephen R. Covey, Robert T. Kiyosaki, Joe Vitale,
Jack Canfield adalah pakarnya pakar motivasi. Selain mereka, juga hadir para
motivator dalam negeri yang bermunculan, entah benar-benar ahli atau hanya
\"ahli dadakan\". Sebab, hanya dengan menerbitkan satu buku motivasi saja,
seorang penulis di Indonesia sudah berani mengklaim diri sebagai motivator
andal level nasional.
Buku motivasi berkembang secara luar biasa yang, diakui atau tidak, mampu
menggairahkan roda bisnis perbukuan. Buku motivasi muncul dengan banyak wajah
dan mengkapling banyak bidang. Tanpa menyebut judul --karena saking banyaknya--
buku-buku motivasi terhampar mulai dari motivasi bisnis, motivasi hidup,
motivasi jiwa, hingga motivasi urusan ibadah. Judul-judul yang ditawarkan
memang mengandung kata-kata menggoda. Misalnya, miliarder, millionare,
keajaiban, misteri, rahasia, happiness, way, road to, cara gampang, dan
sebagainya.
Hingga buku-buku cetakan ulang, yang awalnya tidak menggunakan judul berbau
motivasi, kini muncul dengan aroma motivasi yang kental. Misalnya buku berjudul
Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi
Islam, di edisi revisinya berganti judul menjadi Cara Kaya dan Menuai Surga
(2007). Yang hebat lagi, terbit pula buku-buku motivasi tentang ragam-cara
menjadi penulis bestseller beriming-iming finansial melimpah.
Sebagai pembaca, cukup miris melihat realitas ini. Buku-buku motivasi yang
beredar di pasaran terasa hanya memberikan solusi instan yang ujung-ujungnya,
pengembangan diri yang ditawarkan itu, diarahkan kepada keuntungan finansial
an sich. Besarnya profit seakan-akan menjadi parameter bagaimana sebuah
motivasi dan pengembangan diri itu dianggap sukses.
Realitas Psikologis
Yang terjadi, hal-hal yang berbau motivasi dan pengembangan diri memang begitu
digemari oleh sebagian masyarakat Indonesia. Maka, tidak heran, kemudian
lahirlah puluhan hingga ratusan buku-buku yang menawarkan \"kedamaian absurd\"
atas berbagai tekanan hidup, laris manis.
Apakah ini menunjukkan kondisi masyarakat yang terpuruk, kemudian membutuhkan
media untuk berkontemplasi serta introspeksi bagi upaya koreksi diri? Benarkah
tingginya antusiasme khalayak terhadap hal-hal berbau pengembangan diri serta
munculnya profesi motivator, merefleksikan keadaan masyarakat Indonesia saat
ini? Benarkah dalih keuntungan finansial memberi kedamaian sejati?
Masalahnya, buku-buku yang berbau motivasi ini seringkali mendikte seseorang
untuk berubah menjadi sesuatu yang terkesan artifisial. Pengembangan diri dan
menjadi pribadi yang sukses bukanlah melalui seperangkat doktrin Anda harus
begini atau Anda harus begitu. Karena dalam pengembangan diri, tidak ada
yang praktis dan instan berdasar sebuah buku atau khotbah para motivator,
tetapi sering melalui pertanyaan-pertanyaan mendalam yang bermunculan.
Saya teringat pesan salah satu pelaku penerbitan. Dia mengatakan, \"Prospek
penjualan buku-buku problem solving, how to, ke depan masih bagus. Cobalah Anda
tulis. Semua bidang bisa Anda tulis, yang penting masukkan kata-kata yang
memotivasi, lebih-lebih ada embel-embel keuntungan finansial.\"
Alih-alih mencerahkan, kalau semua ramai-ramai menulis buku motivasi, bisa-bisa
malah jadi kebanjiran.(*)
*) Fauzi A. Muda, penulis, tin