=
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center]
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya,
nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."
=
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia
Quotient]
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia."
ANALISIS EKONOMI
Menuju Sistem Moneter Dunia Baru
Senin, 30 Maret 2009 | 03:51 WIB
Oleh : A TONY PRASETIANTONO
Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan
rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang,
penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa
dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum
menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan
menguat oleh penyebab yang sepele.
Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa
faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51
miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan oleh mulai
masuknya modal asing ke pasar modal di Jakarta, selain karena masuknya dana
penjualan obligasi pemerintah di luar negeri (global medium-term notes).
Kedua, BI meneken perjanjian bilateral currency swap arrangement dengan Bank of
China senilai Rp 175 triliun atau 100 miliar renminbi. Di bawah payung
perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan
mata uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung
mata uang masing-masing dengan negara mitra dagang.
Dalam hal ini, importir Indonesia bisa langsung menukar rupiahnya dengan
renminbi, sebaliknya importir China menukar renminbinya langsung dengan rupiah.
Kini tidak perlu lagi ada mata uang ”perantara”, yakni dollar AS, dalam setiap
transaksi kedua negara. Perjanjian semacam ini akhir-akhir ini mulai marak
dilakukan, terutama oleh ASEAN + 3, yakni kesepuluh negara ASEAN (Indonesia,
Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan
Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.
Banyak hal positif dapat ditarik dari skema baru ini. Bagi para importir maupun
eksportir, mereka bisa berhemat karena jalur penukaran mata uang dapat
diperpendek dari rupiah-dollar AS-renminbi menjadi langsung rupiah-renminbi.
Berarti, akan dapat dihemat sejumlah fee penukaran.
Dari sisi ekonomi makro, kebutuhan (permintaan) terhadap dollar AS dapat
ditekan. Implikasi dari turunnya permintaan dollar AS oleh pemegang rupiah akan
menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah, atau sebaliknya rupiah bakal
menguat. Ini sangat positif sebagai upaya untuk menurunkan volatilitas kurs
rupiah terhadap dollar AS.
Dengan kata lain, kurs rupiah ke depannya akan cenderung lebih stabil, tidak
terlalu berfluktuasi. Ini bagus bagi dunia usaha yang pada umumnya amat
memerlukan kepastian (certainty), termasuk kepastian kurs. Sementara itu,
variabel inflasi juga diuntungkan karena stabilitas kurs akan menurunkan
tekanan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).
Ketiga, rupiah harus berterima kasih kepada situasi politik di Tanah Air.
Sejauh ini kampanye pemilu legislatif berlangsung aman. Masyarakat tampaknya
sudah penat dan ”kapok” untuk tidak mau lagi mengulang pemilu bergejolak
seperti sebelumnya, terutama 1999. Timbul kesadaran baru bahwa euforia
demokrasi sudah tidak zamannya lagi diekspresikan dengan letupan-letupan di
jalanan. Lagi pula, mengapa harus secara fanatik membela calon anggota
legislatif jika yang bersangkutan kelak pada akhirnya juga diseret Komisi
Pemberantasan Korupsi? Jumlah partai peserta pemilu yang amat banyak juga
memberi andil memecah penumpukan massa. Ini semua berujung pada penguatan
rupiah.
Sistem moneter baru
Secara pelan tapi pasti, krisis ekonomi global telah menginspirasi
negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi penggunaan dollar AS. Dulu,
pada Juli 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire —
sejam perjalanan dari Boston — untuk menggunakan dollar AS sebagai mata uang
dunia, yang didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral,
pertimbangannya adalah dominasi AS dalam perekonomian dunia. Saat itu setiap
peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed
rate) pun dapat diberlakukan.
Kesepakatan yang juga dihadiri ekonom top Inggris, John Maynard Keynes, itu
berakhir awal 1970-an. Ketika AS mulai sibuk berperang, anggaran pemerintahnya
defisit besar, maka kurs dollar AS pun jadi fluktuatif. Seiring dengan
kesulitan untuk menimbun emas dalam jumlah yang sebanding dengan perkembangan
ekonomi dunia yang kian pesat, standar emas pun dihapus.
Kurs mata uang bisa bergerak dinamis berdasarkan kekuatan kinerja ekonomi
negara masing-mas