[Cerpen]  Awas Copet!!!                                        








De Dappermarkt di lihat dari Mauritskade 
Sumber foto: http://nl.wikipedia.org/wiki/Dappermarkt

Pada hari Senin lalu, waktu telah menunjukan jam setengah
empat petang. Kurasakan cuaca hari itu cukup cerah dan ceria buat
musim gugur di Amsterdam. Biasanya seusai kerja aku langsung pulang kerumah, 
namun kali ini aku berencana akan mampir ke
rumah temanku untuk sekedar kongkow-kongkow sembari minum kopi. Dan,
tempat tinggal temanku itu pun tak jauh dari Dappermarkt. 
 
Dappermarkt,
yang artinya Pasar Berani, di kenal sejak tahun 1910 sebagai salah satu
pasar terbesar setelah Albert Cuypmarkt, Ten Katemarkt dan Lindenmarkt.


Pengunjung Dappermarkt rupanya semakin meningkat dari kalangan
rakyat Belanda karena memang dianggap pasarnya merakyat di lingkungan sekitar 
lokasi di jalan Dapper - Amsterdam Timur.  Jadi tak heran kalau pasar Dapper 
tersebut mendapat penghargaan 2 tahun berturut-turut sebagai pasar terpopuler 
di Belanda.

Barang-barang
dagangannya yang ditawarkan buat kebutuhan se-hari-hari itu memang di jual 
dengan
harga "murah-meriah-meledak". Maksudnya barang-barang yang dijual itu
selain harganya murah dan bervariasi, juga dijamin produknya berkualitas. Bagi 
para konsumen berpendapatan
rendah pun menganggap Dappermarkt jadi pasar favorit untuk belanja kebutuhan 
hidup sehari-harinya. 

Dappermarkt
di kenal pula menyediakan barang-barang dagangan bermerk alias bertaraf 
internasional.  Misalnya gaun malam yang chic, pakaian untuk anak-anak yang 
lucu-lucu, sepatu, tas
dan sampai celdalnya pun tak kalah hip-nya dengan barang-barang yang dijual
di pusat pertokoan di P.C. Hoofstraat maupun di Kalverstraat. 

Dari pakaian yang model hip al'a muslim sampai
model pakaian modern bisa dapat dibeli di Dappermarkt. Belum lagi kalau ada
konsumen yang ingin beli kebutuhan dapurnya, seperti panci,
penggorengan serta alat-alat dapur lainnya dengan kualitas yang lumayan
bagus. 

Sayuran, buah-buahan serta beragam daging atau ikannya yang
segar menarik perhatian para konsumen berpenghasilan
rendah, apalagi bila ingin membeli barang-barang kebutuhan anak-anaknya.
Selain harganya lebih murah, mulai dari pakaian, celana,
jaket, sepatu, kaos kaki sampai mainan anak-anak persediaannya paling
lengkap serta pula bervariasi modelnya. Maka banyaklah Ibu-Ibu membawa
anak-anaknya mengunjungi Dappermarkt untuk membeli kebutuhan
anak-anaknya. 

Suasana
pasarnya
pun selalu meriah serta tercermin ceria, yang lokasinya berada di sepanjang
jalan Dapper antara batasan Wijttenbachstraat dan Mauritskade. Di sana
terpajang rumbai-rumbai aneka warna dengan memakai lampu-lampu beraneka
warna. Diantara pajangan dan rumbai-rumbai itu terselip pula sebuah
bentangan spanduk peringatan "Awas Copet!, perhatikan tas
atau dompet anda, jangan sampai hilang".

Beberapa petugas keamanan
pun berlalu-lalang di sepanjang jalan pasar "Dapper".
Sehingga para konsumen, yang berdatangan dari berbagai luar kota
Amsterdam, merasa aman, nyaman dan sahaja. 

Serasa
bagaikan
suasana pesta jalananlah! Dan, yang paling berkesan buat para pengunjung pasar
ialah suasana keramah-tamahan dari para pedagangnya itu, yang memiliki
keuniekan tersendiri sebagai ciri khas pasar Dapper yaitu baik para konsumennya 
maupun para pedagangnya berasal dari beragam bangsa dengan
semangat internasionalisme. 

Cuma
jangan bingung, kalau melihat "made in" barang-barang dagangannya itu
kebanyakan dari China, selain itu juga produknya dari Inggris, Italy,
Spanyol, Turky, Marokko, India, Pakistan.
Singkat kata, Dappermarkt yang berarti Pasar Berani itu mampu menunjukan
kesan suasana kehidupan "multiculturalisme" alias internasionalis berciri khas
Amsterdam. 

Penduduk Belanda menyebutnya sebagai suasana "Het Kleuren
Rijk" (kekayaan warna). Yang maksudnya adalah kehidupan bertoleransi antar
bangsa penduduk di Belanda yang nyatanya dihuni oleh barbagai macam perbedaan 
bangsa
dengan beragam bahasa dan warna kulitnya. 

Akhirnya
aku memutuskan berjalan-jalan sembari menuntun sepedaku menyusuri
sepanjang jalan pasar "Dapper", yang terkenal itu. Melalui Dappermarkt
tentunya akan lebih singkat waktunya buatku untuk menuju
arah rumah temanku, yang lokasinya di sekitar daerah Amsterdam Timur.
Aku mulai berjalan dari arah Mauritskade menuju arah Wijttenbachstraat,
yang tasku kugantungkan di stang stir sepeda sebelah kanan. Sedangkan
aku berjalan disebelah kiri sepedaku, sambil tangan kananku memegang
stang sebelah kanan. Dengan santai dan rasa nyamannya aku berjalan
menyusuri jalanan Dappermarkt sembari arah mataku melihat ke bentangan
pajangan barang dagangan di bagian kiri maupun sebelah kanannya. Ketika
aku sedang melihat serta memperhatikan tenda disebelah kanan, aku
terhenyak sejenak karena terpancang pada yang menjual jas-jas untuk
musim dingin. Kemudian aku berhenti sejenak untuk melihat model jasnya,
lalu aku mulai menghampiri serta mendekati tenda tersebut. Mulailah aku
memperhatikan dan menyimaki pajangan berbagai model jasnya. Lalu,
kemudian dengan asyiknya aku meneliti ukuran jas serta warna yang
kupikir pas dengan seleraku. 

Tiba-tiba
seorang Ibu setengah tua menyapaku untuk supaya aku menggeser sepedaku
karena dianggap menghalangi ruangan tempat tumpukan jas di atas meja
panjang. Aku tertegun sejenak sembari cepat menggeserkan sepedaku itu.
Namun tanpa kusadari rupanya tangan kananku pun yang ketika sedang
memegang stang stir kanan sepedanya, ternyata sudah beralih ke tumpukan
jas-jas tersebut. lalu aku cepat melihat kembali ke arah stang stir
sepeda sebelah kanan yang rupanya tasku tak lagi bergantung di stang 
kanan sepedaku. 

Aku
menjadi panik serta langsung berseru keras: "mana tasku!!!" "Tasku
hilang di copet!!!" Sementara beberapa pembeli, yang sedang asyik
memilih jas-jas itu mengalihkan perhatiannya ke arahku serta
kelihatan terkejut dan turut panik pula. Salah satu pedagangnya pun
turut menyibukan dirinya yang langsung menghampiriku sambil berseru:
"taruhlah sepedamu di disini dan cepat lah kejar pencopetnya!!!" Aku
langsung melepaskan sepedaku, lalu berlari menuju jalan pasar ke arah
Wijttenbachstraat, sedangkan sesama kolega pedagang lainnya turut
berlari menuju arah berlawanan dari jalan pasar. 

Beberapa
meter
kemudian kulihat dua orang dari keamanan sedang berjalan menuju
ke arahku. Tapi aku tak peduli serta terus berjalan cepat hampir
setengah berlari ke arah pencopetnya. Sementara aku masih tetap
berteriak keras ke si pencopetnya di sepanjang Dappermarkt, dengan
tenangnya ke dua agen tersebut menghadangku untuk supaya aku berhenti
mengejar pencopet tasku. Terpaksa aku berhenti sejenak, yang kemudian
salah satu dari petugas keamanan itu mulai mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sambil mengeluarkan buku catatan kecil: "Ada apa
gerangan, kau kehilangan tasmu? Dimana kau kehilangan tasnya? Apa kau
tahu identitas pencopetnya? Warna apa tasmu dan apa saja barang-barang
yang ada di dalamnya?"  Mendengar pertanyaan petugas keamanan yang
bertubi-tubi itu, aku semakin merasa panik dan terganggu karena aku
tidak bisa lagi mengejar pencopetnya, yang memang tak kuketahui
identitas sang pencopet itu.

Kurasakan
situasi kepanikanku sudah mulai agak mereda. Walau pun rasa amarahku pada ke dua
agen polisi tersebut belumlah sirna, sejenak aku memandang kesalah satu
polisi agen, yang terus sibuk mengajukan banyak pertanyaan, lalu polisi agen 
lainnya menegurku dengan ramah: "Ok..sekarang kau
tunjukan kami dulu dimana kau kehilangan tasmu?  Dan rupanya kau tak
tahu pula identitas si pencopetnya...". 

Aku mengangukkan kepalaku sambil berjalan cepat menuju tempat
sepedaku, yang sedang diamankan oleh si penjual jas. Aku menunjuk
ke arah tenda penjual jas tersebut, dan sementara itu salah satu
penjualnya menghampiriku dan memberikan sepeda ke aku. 



Lagi-lagi aku musti menjawab urutan pertanyaan-pertanyaan itu, yang
lantaran dianggap penting dengan hilangnya tasku di pasar "Dapper" itu.
Sembari menjawab urutan pertanyaannya itu, aku melirik pula kearah
kertas kecil polisi agen yang kulihat hanyalah ada tulisan urutan nomor
urut dan kasus kehilangan barang. Di daftar catatan tersebut, rupanya
kasusku itu ada di urutan ke 8. Selebihnya tak ada catatan-catatan singkat
lainnya yang sehubungan dengan rentetan jawaban dari sang korban
kecopetan. 

Secara sepontan aku memprotes cara kerja polisi itu. "Untuk apa aku menjawab
pertanyaaan-pertanyaanmu kalau kau tidak catat dalam buku kecilmu
itu? Bukankah itu hanya membuang waktu saja?" tanyaku dengan wajah yang serius 
campur kesal.

"Tentunya informasi jawabanmu sangat penting buat kami, karena kami dari kantor 
kepolisian Linnaeusstraat
dan kau sekarang ini langsung saja melapor ke kantor polisi terdekat
rumahmu". 

Aku segera pergi meninggalkan ke dua agen polisi itu, menggenjot sepedaku ke 
arah kantor polisi yang lokasinya tak jauh dari
rumahku. Sesampainya aku di kantor polisi tersebut, aku hanya diberi saran
supaya langsung cepat pulang kerumah untuk menelpon guna memblokade
jaringan telepon genggam. Karena didalam tasku yang dicopet itu antara
lain ada telepon genggam dan dokumen kertas laporan kerjaku. Selanjutnya bapak 
keamanan tersebut menyampaikan pesannya agar aku kembali ke kantor polisi untuk 
memberi laporan kecopetan.

Semua
rencanaku di hari ini gagal total, dengan lesu aku menggejot sepedaku
menuju arah rumah, sedih rasanya kecopetan, dasar copet sialan,
bukannya nyopet orang kaya, malahan nyopet sesama proletar juga, payah!


MiRa - Amsterdam, 20 November 2008




Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

Kirim email ke