Jawa Pos
[ Senin, 20 Juli 2009 ] 

Lebih Serius Melawan Teroris 
Oleh Ardi Winangun


Ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, 
Jakarta, merupakan kali kesekian di Indonesia. Ledakan tersebut tentu saja 
membuat kita terenyak lagi di tengah perasaan bahwa terorisme di Indonesia 
sudah berakhir. Sebab, trio bom Bali sudah dihukum mati dan desk antiteror atau 
Detasemen 88 sudah dibentuk di tiap kabupaten.

Namun, perasaan dan anggapan terorisme di Indonesia sudah berakhir ternyata 
hanya impian. Ledakan tersebut tentu sangat kita sesalkan. Sebab, selain 
menimbulkan korban jiwa, ledakan itu merusak citra aman Indonesia yang mulai 
terbangun. Bagi penggemar Manchester United FC, ledakan tersebut membuyarkan 
impian untuk bisa melihat secara langsung bintang-bintang sepak bola dunia itu.

***

Banyak dugaan dan spekulasi atas ledakan tersebut. Namun, kalau ditelusuri, ada 
beberapa kemungkinan. Pertama, di luar dugaan, faktor itu tidak kita sadari. 
Yakni, kita merasa bahwa lingkungan kita aman. Sehingga, kita tenang-tenang 
saja. Setelah tragedi 11 September lalu di Amerika, kita merasa bahwa peristiwa 
tersebut tidak terjadi di Indonesia. Namun, tanpa kita sadari, terorisme 
menyusup dalam lingkungan kita. Faktor tersebut biasanya natural dan kita belum 
pernah menghadapi terorisme.

Kedua adalah kelengahan dan pembiaran. Seharusnya, kasus bom Bali I menjadi 
pelajaran bagi kita bahwa terorisme sudah ada di sekitar kita. Tapi sayang, 
kita tidak pernah belajar dari peristiwa tersebut. Sehingga, rentetan terorisme 
berlanjut, bahkan dengan kadar yang setara dengan bom Bali I. Misalnya bom Bali 
II serta peledakan di Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta, dan JW Marriott I. 

Faktor itu bukan natural, melainkan disebabkan kelengahan atau lemahnya fungsi 
intelijen yang ada. Seolah-olah, terorisme dibiarkan dan masih diberi ruang 
yang begitu luas. 

Nah, itulah yang perlu kita sesalkan. Aparat yang seharusnya bertanggung jawab 
terhadap serangan teroris ternyata tidak berjalan. Bukankah selepas bom Bali I, 
polisi dan TNI sering menjalani latihan antiteror? Kerja sama penanggulangan 
teror dengan berbagai negara dan biaya yang sangat besar pun telah 
dilaksanakan. Misal, kerja sama penanganan terorisme antara Indonesia dan 
Amerika Serikat yang dijalin sejak 2005 sampai September 2008 dengan biaya 
bantuan Amerika Serikat sebesar USD 400.000.

Latihan dan bantuan itu ternyata tidak sesuai dengan harapan. Buktinya, selepas 
ledakan di JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) 
Syamsir Siregar mengakui bahwa ledakan tersebut tidak terdeteksi oleh pihaknya. 
Menurut dia, peristiwa itu bisa terjadi di negara mana pun, termasuk negara 
superpower. Kalau begitu, di mana letak tanggung jawab mereka dari pengalaman 
dan latihan sebelumnya?

Ketiga, by design. Terorisme yang sudah diatur sedemikian rupa bertujuan 
memfitnah, menjelekkan lawan untuk kepentingan politis dan ekonomi. 

Pascaledakan bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton, terjadilah lempar saling 
duga. Saat konferensi beberapa jam setelah ledakan, Presiden SBY mengatakan ada 
rencana kelompok tertentu berbuat di luar hukum untuk mereaksi hasil pilpres 
dengan rencana pendudukan KPU saat hasil Pilpres 2009 ditetapkan. SBY pun 
menuturkan bahwa pihaknya telah mengendus rencana untuk membikin Indonesia 
seperti Iran dan menghalangi dirinya agar tidak dilantik sebagai presiden 
terpilih.

Menanggapi hal tersebut, tentu saja kubu JK dan Megawati melontarkan tepisan. 
Antara lain, JK membantah anggapan bahwa serangan bom di Hotel JW Marriott dan 
Ritz-Carlton terkait dengan hasil pilpres. Menurut dia, dirinya dan Megawati 
tidak akan berbuat seperti itu. 

***

Setelah bom Bali I, terorisme di Indonesia, menurut saya, cenderung disebabkan 
faktor kelengahan, pembiaran, dan by design. Gerakan terorisme tidak lagi 
muncul secara natural, melainkan sebenarnya sudah bisa dibaca dari jaringan 
atau tahap yang berjalan. Misalnya, tahap perakitan bom, masuknya pelaku ke 
tempat sasaran, kemudian peledakan diri. Seharusnya, bila kita tidak lengah 
atau membiarkan, rantai atau tahap tersebut bisa segera diputus.

Jika mau, saya yakin bahwa kita bisa memutus rantai tersebut. Sebab, kita 
berpengalaman merasakan teror dan sering berlatih. Buktinya, sebelum ledakan JW 
Marriott dan Ritz-Carlton, polisi mengungkap dokumen yang disita saat 
penggerebekan di Cilacap, Jawa Tengah. Dalam dokumen itu disebut Presiden SBY 
telah menjadi target serangan kelompok teroris. Seharusnya, bila demikian, 
tahap selanjutnya dari gerakan terorisme harus dicegah. 

Tapi sayang, setelah data itu diperoleh, aparat tidak melakukan tahap 
selanjutnya. Apalagi setelah dibentuknya desk antiteror di tiap kabupaten. 
Seharusnya lebih bisa. Namun, lagi-lagi patut disayangkan, fungsi intelijen 
kita ternyata belum maksimal.

Nah, di situlah mungkin kita harus benar-benar serius melawan terorisme. 
Mungkin, selama ini kita tidak serius melawan terorisme sehingga peledakan 
terus terulang. Harus kita tinggalkan kelengahan, pembiaran, dan by design 
dengan terorisme. Kalau tidak serius melawan terorisme, kerugian akan terus 
merundung kita. (*)

Ardi Winangun, pernah bekerja di Civil-Military Relations Studies (Vilters) dan 
pengurus presidium nasional Masika ICMI. 

Reply via email to