http://www.tempointeraktif.com/hg/carianginKT/2009/07/19/krn.20090719.171507.id.html

Marriott II 
Minggu, 19 Juli 2009 | 01:09 WIB



a.. Putu Setia 

Bom yang diledakkan teroris di Indonesia tampaknya berseri. Kita mengenal Bom 
Bali I, yang menewaskan 202 korban dan ratusan luka parah pada 12 Oktober 2002. 
Korbannya kebanyakan orang asing, namun dampaknya pada 3 juta penduduk Bali 
yang langsung terpuruk perekonomiannya. Pada saat orang Bali berbenah, bom 
kembali meledak pada 1 Oktober 2005. Orang menyebutnya--meski saya tak 
suka--Bom Bali II. 


Hotel JW Marriott sudah dihantam bom pada 5 Agustus 2003, yang menewaskan 11 
orang. Setelah enam tahun berlalu dan orang melupakannya--termasuk mungkin 
petugas keamanan hotel--Jumat lalu kembali hotel itu diporak-porandakan bom. 
Bom Marriott jilid kedua? Sungguh saya tak suka penomoran ini. 


Ini titik hitam sejarah Indonesia. Begitulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
mengomentari ledakan bom ini dengan "lebih cepat". Semua penduduk negeri saya 
kira sependapat, ulah teroris itu merupakan titik hitam kelewat hitam untuk 
bangsa yang sedang sukses melaksanakan pemilihan umum dengan damai. Semua 
elemen bangsa, entah politikus atau pemimpin agama, apalagi penggemar sepak 
bola, pasti mengutuk keras ulah teroris yang "berani mati" tapi "takut hidup" 
itu, yang meledakkan bom bunuh diri. Cuma, pasti banyak yang 
menyayangkan--dengan segala hormat, termasuk saya--kenapa Presiden SBY 
bertindak "lebih cepat tapi tidak lebih baik"? 


SBY berpidato terlalu banyak untuk sebuah duka yang menyayat. Disayangkan lagi, 
kelebihan kata yang banyak itu justru dikait-kaitkannya ledakan Bom Marriott II 
dengan pemilihan presiden. Seolah-olah bom ini ada tautannya dengan 
kalah-menang dalam pemilihan presiden. Begitu usai pernyataan itu, saya 
langsung mengirim pesan pendek kepada tokoh-tokoh masyarakat Bali dan menulis 
pesan di Facebook. Intinya, saya minta masyarakat tidak termakan provokasi, 
jaga persatuan, kendalikan diri, berdoa agar "air tak makin keruh". 


Yang saya bayangkan, orang-orang yang kena "sindir" Presiden SBY akan bereaksi, 
dan "air pun makin keruh". Pengalaman buruk seperti ini terlalu banyak di Bali. 
Ketika Megawati Soekarnoputri kalah oleh Abdurrahman Wahid pada pemilihan 
presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, orang Bali mengamuk. 
Kompleks perkantoran mewah Kabupaten Badung dibakar jadi arang seutuhnya, belum 
lagi puluhan bangunan di berbagai kota ludes dibakar massa. Korban akibat 
"kepicikan politik" semacam ini sudah menjadi umum di masa lalu, bahkan tragedi 
1965 yang menewaskan ratusan ribu orang Bali itu jadi monumen "titik kelewat 
hitam". 


Puji syukur, Tuhan. Megawati ternyata tenang dalam kasus Bom Marriott II ini. 
Jusuf Kalla lebih tenang lagi, bahkan sempat tersenyum sedikit ketika 
menyebutkan, "Ah, tak ada itu, jadi dikira Mega dan saya yang melakukan 
(pengeboman) itu." Yang sungguh menggembirakan adalah Prabowo Subianto; tak mau 
menanggapi pernyataan SBY, mengutuk pelaku peledakan bom itu, dan siap bekerja 
sama memerangi teroris. Saya kagum terhadap ketiga tokoh ini. Pada saat orang 
panik, mereka bikin tenang. 


Teroris harus diperangi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa. Ini bukan 
masalah agama, tak ada agama mengajarkan kedurjanaan. Namun, perang terhadap 
teroris juga tak bisa dilakukan dengan panik, apalagi takut. Lebih-lebih lagi 
melemparkan dugaan kepada orang atau kelompok tertentu tanpa diselidiki lebih 
jauh kebenarannya. Teroris harus dihadapi sebagai "musuh bersama". Mereka tentu 
tertawa kalau kita saling mencurigai. Bom Marriott, seperti halnya bom Bali, 
harus kita sudahi sampai bilangan dua. Polisi harus lebih sigap, lupakan dulu 
menangkap cicak.

Kirim email ke