Tulisan menarik niiik, yang ku copas dari 
http://baltyra.com/2010/03/05/soedirman-pacar-soekarno-idola-soeharto/. 
Tak ada salahnya kita meluangkan waktu merenung sejarah. Jas Merah 
Katanya.
Bila lalu pernah ada pelangimasih 
mungkin pelangi itu kembalimewarnai bumi pertiwisemoga

********************************************************************************************
Soedirman

 “pacar” Soekarno, idola SoehartoIwan Satyanegara Kamah “IKUTLAH

 Bung Karno dengan saya”, kata seorang jenderal  bertubuh kerempeng,
 yang berani membangunkan sang presiden dari  tidurnya. Sang presiden, 
atasan si jenderal, menolak ajakan jenderalnya  untuk bangun dari tidur 
dan lari ke hutan bersama si jenderal. “Saya  harus tinggal di sini!”
 Percakapan antara sang presiden dan si jenderal, terjadi pada hari  
naas, di pagi buta hanya beberapa jam sebelum ibukota negara jatuh ke  
tangan musuh. Si jenderal punya alasan kuat mengajak bosnya, untuk  
berjuang bersama di hutan sana, bukan di kota, apalagi hanya ngendon di

  istana saja, yang sebentar bisa ditebak keadaannya. Si jenderal
 itu baru berusia 32 tahun, akhirnya ngambek dan lari ke  hutan dengan 
membawa rasa dendam pada Belanda, juga rasa amarah pada  Soekarno dan 
tokoh-tokoh sipil republik ini. Soedirman si jenderal itu  murka karena 
ternyata Soekarno dan kawan-kawan membiarkan diri ditangkap  musuh. 
Baginya itu sebuah aib. Harga diri. Hari itu Minggu pagi saat 
orang bersiap ke gereja, hari 18 Desember  1948, Jogjakarta ibukota 
negara jatuh ke tangan kekuasaan Belanda.  Republik Indonesia yang baru 
berusia balita, untuk sementara hampir  redup, tetapi bagi Soedirman 
tetap hidup. 
 KAKAK DAN ADIK Dalam 
cerita relief perjalanan negeri  ini, hubungan Soedirman dengan Soekarno
 terukir dengan harmonis, bahkan  kelewat akrab hingga seperti hubungan 
romantik penuh gejolak konflik.  Mereka berdua juga saling membutuhkan, 
saling menjaga, saling menyapa,  bahkan kian senyawa. Keduanya tak mudah
 tunduk dan gampang menyerah  untuk sebuah hal yang mereka tentang. 
Namun mereka kadang berlainan  melihat sebuah masalah penting, seperti 
ajakan Soedirman bergerilya yang  ditolak Soekarno. “…kalau Belanda menyakiti 
Soekarno,  
bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan  
besar-besaran”, ancam Soedirman di depan Soekarno di hari kelabu  
itu sebelum lari ke belantara hutan. Kita semua tahu, Soekarno ternyata 
 bukan hanya disakiti, tapi juga dipermalukan dan dihina. Dia dibuang  
jauh oleh Belanda ke tempat sunyi untuk beberapa bulan. Di hutan nan jauh di 
sana, sang jenderal  
teguh mewujudkan janjinya dengan gerilya susah payah menghancurkan  
Belanda, dengan satu paru-paru sambil ditandu  keluar masuk hutan oleh  
anak buahnya yang setia selama tujuh bulan. Dan akhirnya keluar dari  
hutan sebagai pemenang . Namun 
sayang ketika negeri ini mulai  kuat berdiri, persahabatan antara kedua 
orang ini tidak berlangsung  lama. Soedirman, tokoh yang dianggap banyak
 orang bagai laksana ksatria,  tak mampu mengalahkan penyakitnya sendiri
 di hari 29 Januari 1950. Setelah 
Soedirman wafat, Soekarno  menempatkan sosok sahabatnya itu bagai sebuah
 ikon sejarah. Nama  Soedirman (kadang ditulis Sudirman) diabadikan 
Soekarno dengan indah.  Hampir semua pusat kota di negeri ini bernama 
Jalan Sudirman. Di Jakarta  saja, nama Soedirman telah bersenyawa dengan
 nama sebuah kawasan elite  bisnis, mewah dan bergengsi. Bagai kakak beradik, 
usia mereka memang  
terpaut jauh dan membuat keduanya mudah memposisikan diri dalam jarak  
antar pribadi yang sangat dekat. Soekarno menganggap dirinya kakak bagi 
 Soedirman (Soekarno lebih tua 15 tahun). “Nanda do’akan kepada Tuhan, moga2 
Dinda  
segera sembuh…”. tulis Soekarno dalam sebuah 
 surat yang romantis sebulan sebelum Soedirman wafat. Ketika mereka  
bertemu sebelumnya di Istana Kepresidenan di Jogjakarta, Soekarno  
memeluk dengan akrab dan mesra tubuh Soedirman yang letih dan kurus.  
Peristiwa pertemuan dua sahabat ini sangat monumental dan menjadi  
legenda dalam sejarah fotografi Indonesia. Dalam adegan pertemuan itu,  
Soekarno minta diulang adegan saat dia memeluk mesra Soedirman, sehingga
  para fotografer yang menyaksikannya, bisa mendapat momen yang tepat  
dari kamera.   IDOLA

  Setiap orang di negera ini, 
seolah  seperti ingin mendapat kebanggaan pernah dekat bersama 
Soedirman. Baik  Soekarno dan Presiden Soeharto, keduanya mengaguminya. 
Di ruang kerjanya  di Bina Graha, Soeharto memajang foto reproduksi 
berukuran besar,  dengan cropping bergambar dirinya bersanding 
bersama Soedirman  pada masa revolusi. Begitupun dengan seorang tokoh di balik  
layar berdirinya 
negeri ini, seperti dr. Soeharto, dokter pribadi  Presiden Soekarno. 
Sampai kini masih mengingat kenangan indah, bagaimana  menjelang dekat 
kematiannya, Jenderal Soedirman mengirim kendil berisi  gudeg khas Jogja
 kepadanya. “Terimalah seadanya sebagai oleh-oleh untuk  Kanda”, tulis 
jenderal termuda dalam sejarah Indonesia kepada dr.  Soeharto. Anak buah dan 
orang-orang dekat  Soedirman 
yang tentunya sepaham dengan Soeharto, banyak dijadikan  pejabat tinggi 
dan orang kepercayaan selama Soeharto menjadi presiden.  Dia pun memberi
 banyak perhatian kepada segala sesuatu yang berkaitan  dengan diri 
Soedirman. Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam (1983-88)  dan Gubernur
 Jakarta Tjokropranolo (1977-1982) adalah contoh dua orang  dekat 
Soedirman yang berperan penting selama kekuasaan Soeharto. Ketika membangun 
sebuah jalan baru yang  
besar dan lebar tahun 1962, untuk akses ke pinggiran kota menuju sebuah 
 stadion baru termegah di dunia saat itu, Soekarno pun menamakan jalan  
tersebut dengan nama sahabatnya yang sangat dia cintai, Jalan Jenderal  
Soedirman. Hingga kini jalan 
tersebut menjadi banking  line terpanjang di Jakarta 
(bahkan di Indonesia), dengan  bertebaran nama bangunan prestise mewah 
yang juga memakai namanya.  Sebutlah Sudirman Mansion, Sudirman Plaza, 
Sudirman Park Apartement,  Sudirman Residence, Citiwalk Sudirman, Wisma 
Sudirman, Sudirman Place,  Menara Sudirman, Sudirman Central Business 
District, Aston Sudirman,  Menara Sudirman atau Balai Sudirman. Kenyataan 
tersebut sangat berbeda jauh  
dengan kepribadian Soedirman yang bersahaja dan sangat sederhana. Waktu 
 saya mengunjungi sahabat saya di daerah Kejobong, Purbalingga, saya  
pernah mencoba mengunjungi daerah kelahirannya di pelosok pendalaman  
kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, namanya Rembang (bukan Rembang di  
pantai utara Jawa). Memang tak terlalu jauh dari Kejobong. Daerahnya  
sangat terpencil sekali mirip tempat Robinson Crusoe tinggal. Sepi dan  
sunyi… Bila Anda dari Purwokerto menuju kota kelahiran Soedirman, pasti 
 juga akan melewati sebuah pabrik gula di Kalibagor, Sokaraja (sudah  
tutup), yang pernah menjadi tempat mencari nafkah ayah kandung  
Soedirman. 
 Tandu Sudirman
        
 Saya sulit membayangkan di tempat  
kelahiran itu, lahir seorang yang kemudian menjadi tokoh paling penting 
 di negara ini. Saya juga pernah sedikit terganggu mendengar selentingan
  dari masyarakat sekitar sana tentang hubungan Soedirman dengan ibunya.
  Memang sejak umur 8 bulan Soedirman tidak lagi hidup bersama ibu  
kandungnya. Untuk menggali mencari 
kebenaran  perjalanan hidup Soedirman, sudah sulit mencari saksi hidup 
yang bisa  bercerita dengan benar dan dapat dipertanggung jawabkan. 
Waktu masih di  bangku terakhir SMP saya bersama teman-teman pernah 
menemui seorang kiai  tua yang memiliki pesantren besar di Rawamangun 
sekitar Juli 1981,  untuk tugas pelajaran keagamaan di sekolah. Pak kiai itu 
agak pendiam dan banyak  
memperhatikan kami. Namun dari mulutnya banyak keluar nasihat yang  
kadang “berat” buat kami dan sulit mengerti. Eh, ternyata beberapa  
minggu setelah itu, saya baru tahu dari sebuah majalah keagamaan  
terkenal, bahwa pak kiai itu bernama KH Muslich, yang juga kawan akrab  
Jenderal Soedirman. Dia ternyata juga adalah sumber yang dipercaya pihak
  militer berkaitan dengan riwayat Bapak TNI itu. Setelah 60 tahun wafatnya 
pada Januari  
1950, Soedirman terukir indah dalam sebuah persahabatan mesra dengan  
Soekarno. “Dan mohonkanlah djuga, supaya Nanda didalam
  djabatan baru ini selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan”, tertulis

  sebuah kalimat indah dalam surat untuknya dari Soekarno. Melihat hubungan 
kedua orang ini, saya  
semakin sulit mencari contoh untuk masa sekarang. Di saat persahabatan  
dibangun atas dasar kepentingan sesaat. Persahabatan masa kini mirip  
seperti kertas tisu. (*)

Kirim email ke