http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9324

2009-07-21 
Teror dan Bahaya "Failed State!"


Christianto Wibisono
Majalah Foreign Policy, Juli/Agustus 2009, masih menempatkan Indonesia di zona 
in danger dalam indeks failed state. Bila elitenya masih selalu menggunakan 
pola Orde Baru yang "sepupu" dengan teror. Itu tidak akan berhasil menumpas 
terorisme. Sebab, jati diri elite itu sendiri masih tersandera oleh gen 
impunitas praktik pelanggaran HAM pola Orde Baru. Teror JW Marriott dan Ritz 
Carlton tidak lepas dari penyakit generic terorris dari oknum yang memakai nama 
identitas Nur Hasbi. Yang check in 15 Juli dan check out 17 Juli, langsung ke 
akhirat bersama 9 korban bom bunuh dirinya.

Pakar terorisme dari International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, dalam 
wawancara dengan pelbagai jaringan TV menyatakan, oknum Nur Hasbi merupakan 
bagian dari sempalan Jamaah Islamiyah (JI). Sebagian sudah berganti nama atau 
sudah bertobat dari gerakan kekerasan menjadi gerakan dakwah. Media massa juga 
menampilkan Nasir Abbas, mantan anggota komplotan Noordin M Top, yang sekarang 
sudah menjadi "pendakwah" bersama 580 mantan JI lain. Nasir dkk, menjadi bagian 
dari operasi "appeasement" Polri untuk mempertobatkan mantan rekan-rekan 
teroris agar menjadi orang baik-baik. Juga, tersiar pernyataan Jamaah Islamiyah 
bahwa JI tidak terlibat dengan pengeboman Jakarta. 

Teror 17 Juli membuat berang Presiden SBY, dan dalam pidato Jumat siang, 
mengungkit laporan intelijen tentang rencana pembunuhan, kekacauan, dan 
pendudukan kantor KPU serta revolusi semacam Iran. Yang langsung ditanggapi 
oleh Megawati, Prabowo, dan Jusuf Kalla serta para pengamat. Malamnya, 
Rafsanjani dalam kotbah Jumat siang, waktu Teheran, mengecam Ahmadinejad dan 
menyatakan Iran dalam keadaan krisis karena pilpres yang dinilai curang. 
Pernyataan SBY tentu bukan main-main karena dalam era real time internet, 
pelbagai peristiwa di seluruh penjuru dunia akan saling memengaruhi dan memicu 
inspirasi dalam itikad baik maupun hasutan teror.


Mengutuk

Bangsa Indonesia sekarang harus membuktikan setelah serangan 17 Juli bahwa 
tidak ada lagi toleransi untuk kebiadaban. Apalagi yang bermotif politik 
warisan Orde Baru, yang dikombinasi dengan terorisme internasional untuk 
menghancurkan citra RI. Dewan Keamanan PBB yang bersidang dalam 12 jam, telah 
mengutuk pengeboman Marriott - Ritz Carlton. Watapri Marty Natalegawa, dengan 
meyakinkan telah berpidato dan diliput seluruh media massa, Indonesia akan 
membawa pelaku teror ke pengadilan apa pun motif politiknya.

Waktunya sudah tiba untuk elite Teheran dan Jakarta maupun dunia ketiga lain, 
tidak mudah belajar mempraktikkan demokrasi secara jujur dan adil. Tapi, tidak 
berarti demokrasi itu hanya monopoli Al Gore dan George Bush. Sebab pada tahun 
2000, juga hampir terjadi anarki dan chaos ketika surat suara di Florida 
dihitung ulang beberapa kali, yang akhirnya memenangkan George Bush dan 
mengalahkan Al Gore. Waktu itu, almarhum Dan Lev sempat mengatakan bahwa AS 
mirip Dunia Ketiga yang perlu bantuan pengamat pemilu supaya jujur dan adil.

Pemilihan umum terbersih dan terjujur adalah waktu PM Burhanudin Harahap dari 
Masyumi menyelenggarakan Pemilu DPR 29 September dan 15 Desember untuk 
Konstituante. Padahal, Burhanudin Harahap baru diangkat menjadi Perdana Menteri 
pada bulan Agustus. Masyumi dan PNI muncul sebagai partai besar dengan jumlah 
kursi sama walaupun popular vote PNI lebih besar. Di tempat ketiga Nahdlatul 
Ulama dan di tempat keempat PKI. Setelah itu Bung Karno mendekritkan kembali ke 
UUD 1945 dengan sistem presidensial dan membubarkan DPR hasil pemilu 1955 itu 
pada 1960. Karena Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta 
dibubarkan dan anggota DPR dari kedua partai itu dipecat, dan dibentuk DPR 
Gotong Royong, di mana pimpinannya dijadikan anggota kabinet diberi pangkat 
menteri. Suatu keamburadulan eksekutif legislatif yang salah kaprah. 

Bung Karno hanya 5 tahun berkuasa secara diktator karena sejak 1 Oktober 1965 
mulai ditantang oleh "matahari baru", Soeharto yang menolak perintah Bung Karno 
untuk datang ke Halim. Secara merangkak Soeharto mengkup Bung Karno sejak 11 
Maret 1966, dan kabinet 100 menteri dibubarkan setelah 15 menteri ditangkap 
pada 18 Maret 1966.

Soeharto kemudian mengadakan konsolidasi dan pemilu bohongan diawali tahun 
1971. Soeharto terpilih terus dan hanya mengganti wakil presiden sebagai ban 
serep yang terus hilang lenyap, kecuali yang terakhir BJ Habibie. Napoleon dari 
Sulawesi ini menyerobot jadi presiden ketika Soeharto lengser. Mengundang 
dendam kesumat Soeharto yang tidak mau bertemu Habibie sampai akhir hayatnya.

Politik Indonesia karena itu, memang tidak pernah mengenal kompetisi secara 
sehat, beradab, dan berbudaya. Selalu harus melalui perselingkuhan, 
persekongkolan, kemunafikan dan watak Ken Arok. Soeharto diangkat oleh Sukarno 
seperti Zia ul Haq diangkat oleh Ali Bhutto, tapi Zia ul Haq tega menggantung 
Ali Bhutto. Suatu kebiadaban yang tidak pernah dikutuk oleh bangsa Pakistan. 
Sehingga akhirnya putri Bhutto, Benazir juga ditembak mati oleh lawan politik.

Di Indonesia banyak pembunuhan politik yang tidak terungkap tuntas, kecuali 
yang terjadi secara kasat mata, seperti penculikan dan pembunuhan jendral Yani 
cs oleh oknum Tjakrabirawa Letkol Untung cs. Hadisubeno, Ketua Umum PNI 
meninggal mendadak dalam kampanye pemilu 1971 begitu pula Subchan ZE, Ketua 
Umum PBNU meninggal dalam kecelakaan mobil di Arab. Djuanda meninggal mendadak 
setelah berdansa di Nirwana, night club pertama di Hotel Indonesia. Letjen KKO 
Hartono yang Sukarnois ditembak mati. Ali Murtopo sendiri juga mati mendadak. 
Baharudin Lopa, Agus Wirahadikusumah, dan Munir, meninggal mendadak secara 
misterius. Bung Karno sendiri sering mengalami percobaan pembunuhan berulang 
kali, seperti digranat di Cikini, ditembak ketika salat Idul Adha, ditembaki 
senapan mesin di Makassar, dan ditembaki dari pesawat MIG, tapi akhrinya malah 
meninggal dalam status tahanan politik oleh Jenderal Soeharto di rumah istri 
Jepangnya, Ratna Sari Dewi. 

Metro TV Sabtu malam, juga memutar ulang dokumentasi kematian Arafat, di mana 
diungkapkan, ada 3 diagnosis kematian. Semuanya dinyatakan tidak mungkin, 
karena Arafat tidak menderita kanker, atau infeksi berat seperti HIV AIDS. 
Kemungkinan ketiga, diracun, juga tidak diketemukan. Jawabannya, ialah Arafat 
merasa terkucil, berdosa, bersalah, kapok, kikuk, dan menyesal. Kenapa ia tidak 
mau menerima perdamaian dengan Israel ketika Clinton menjadi comblang dengan 
Ehud Barak di Camp David, Juni 2000. 

Ia menderita retak jiwa dengan istri hidup mewah di Paris. Sementara, pejuang 
Palestina bunuh diri bergelimpangan tanpa prospek karena telanjur bersikap 
ekstrem tidak mau mengakui Israel. Arafat meninggal karena tidak berhasil 
mengentaskan bangsa Palestina mencapai kemerdekaan. Dan kemudian malah 
ditinggalkan oleh kelompok garis keras Hamas yang jenuh dengan korupsi di rezim 
Arafat (kelompok Fatah). Kita perlu merenung nasib Arafat dan moral elite 
Jakarta dalam menyikapi teror serta masa depan demokrasi di Indonesia. Agar 
peringatan majalah Foreign Policy bahwa bahaya terpuruk menjadi failed state, 
masih tetap mengancam bagaikan drakula politik ingin menghisap dan 
menghancurkan Republik Indonesia dengan konspirasi teror dan pelanggaran HAM 
berat sebagai modus utama politik Orde Baru.


Penilis Adalah Pengamat Masalah Nasional dan Internasional

Kirim email ke