[daarut-tauhiid] True Color of the American - The Crime of Being a Muslem charity

2006-03-27 Terurut Topik Joko Wardono
action against a single non-Muslim charity that works
in the same region helping to feed, educate and
sustain people who had also received assistance from
the Muslim charities accused of financing terrorism.

We are among those American Muslims who decided that
because it is our right as Americans to fulfill our
religious obligation to help the needy both here and
abroad, we would start a new charity. We did so in
2002 and have experienced our fair share of government
harassment as a result.

None of us is interested in engaging in illegal
activity; it is immoral, unethical and un-Islamic, and
it serves no useful purpose whatever. Our crime is
that we care about what happens to the children of
Palestine. Who knows what price we will have to pay
for our hot-breakfast program for hungry kids in Gaza,
for our playground project in the West Bank, for our
psychosocial trauma center in Hebron.

Under former attorney general John Ashcroft, American
Muslim charities were closed as part of the charade to
make the American people believe the government was
disrupting terrorist financing. Today, under Alberto
Gonzales, the message is that Muslim Americans will be
punished if they want to help Palestinians. Either way
the assault on our charities is not about the safety
and security of the American people but about
politics.

By Laila al-Marayati and Basil Abdelkarim
Washingtom Post, Sunday, March 12, 2006; Page B07

The writers, both physicians, are board members of
KinderUSA, a Muslim American nonprofit humanitarian
organization.






===
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=== 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[daarut-tauhiid] Yang Untung dari Flu Burung

2006-02-27 Terurut Topik Joko Wardono
sumber: http://www.republika.co.id/Koran_detail.asp?id=235306kat_id=3

Teror flu burung, bagi sebagian kecil orang justru berkah. Layaknya 
keping mata uang, ketika satu pihak buntung, yang lain justru mengeruk 
untung.

Fenomena itu awalnya dikupas F William Enghdahl, peneliti dari 
GlobalResearch, California, AS. Dia membuat tiga tulisan menarik soal 
pihak yang diuntungkan di balik serbuan flu burung. Menurut Enghdahl, 
segelintir pihak yang diuntungkan itu adalah para pelaku agrobisnis AS, 
politikus, sampai para pejabat negara.

Enghdahl memulai tulisannya dengan dua pertanyaan. Pertama, bagaimana 
bisa, hanya ada satu perusahaan yang memonopoli peredaran obat flu 
burung, Tamiflu, di seluruh dunia? Hingga kini, monopoli dipegang 
perusahaan patungan AS-Swiis, Roche Holdings.

Pertanyaan kedua, tidakkah aneh bila pemusnahan jutaan unggas ternyata 
lebih menyentuh unggas-unggas milik peternak kecil di Asia, dibanding 
ternak milik perusahaan peternakan raksasa, terutama milik AS?

Kejutan pertama dari Enghdahl diterbitkan Oktober tahun lalu. Judulnya 
sensasional, ''/Is Avian Influenza Another Pentagon Hoax?/'' (Apakah Flu 
Burung itu Hanya Gurauan Pentagon?). Hanya berselang satu bulan, terbit 
tulisan keduanya, /Bird Flu and Chicken Factory Farms: Profit Bonanza 
for US Agribusiness/ (Flu Burung dan Pabrik Peternakan Ayam: Panen 
Untung Buat Agrobisnis AS).

Tulisan ketiga Enghdahl bahkan jauh menusuk . /Bird Flu: A Corporate 
Bonanza for the Biotech Industry, Tamiflu, Vistide and The Pentagon 
Agenda./. (Flu Burung: Panen Untung bagi Perusahaan Industri 
Bioteknologi, Tamiflu, Vistide, dan Agenda Pentagon).

Menurut Enghdahl, terlepas dari keampuhan Tamiflu memberantas flu 
burung, peredarannya yang dimonopoli Roche terbukti hanya menguntungkan 
segelintir pihak. Beberapa di antaranya sangat dikenal publik sebagai 
pejabat dan mantan pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS), yakni 
mantan menteri pertahanan, Donald H Rumsfeld, dan George P Shultz, 
mantan menteri luar negeri.

Tamiflu ditemukan dan dipatenkan pada 1996 oleh sebuah perusahaan 
bioteknologi bernama Gilead Sciences Inc. Gilead saat ini terdaftar di 
Nasdaq (bursa kedua di AS) dengan kode GILD. ''Kebetulan'' Rummy (sapaan 
Donald Rumsfeld) dan George Shultz sempat duduk di jajaran direksi Gilead.

Rummy masih duduk di kursi dirut sampai menjelang ia diangkat menjadi 
menteri pertahanan AS pada 2001. Dalam siaran pers Gilead yang terbit 
1997, Rummy duduk di jajaran direksi perusahaan sejak 1988. Menurut 
Enghdahl, tahun lalu secara diam-diam Rummy menambah sahamnya sampai 
mencapai 18 juta dolar AS. Ada pun George Shultz, ia dikabarkan meraup 
untung setidaknya 7 juta dolar AS dari hasil penjualan saham Gilead, 
awal tahun lalu. Sejalan dengan menyebarnya flu burung di berbagai 
belahan bumi, saham Gilead sejak 2001 terus melejit. Dari posisi tujuh 
dolar AS per lembar di 2001, November lalu harganya sampai ke kisaran 50 
dolar AS. Saat ini, nilai kapitalisasi pasar Gilead telah mencapai 22 
miliar dolar AS.

Lalu, apa hubungannya Gilead dengan Roche? Selidik punya selidik, 
ternyata Gilead menyerahkan hak pemasaran dan paten obat-obatannya 
(terutama Tamiflu) kepada Hoffman-LaRoche. Dengan begitu, dari setiap 
Tamiflu yang dijual Roche, Gilead mendapat bagian 10 persen keuntungan. 
Tidak heran, sampai akhir tahun lalu, pendapatan Gilead dari sisi 
royalti saja mencapai 219,1 juta dolar AS, meningkat 166 persen dari 2004.

Dominasi Roche terhadap Tamiflu makin tak tertahan. Semester II tahun 
lalu, Roche menolak permintaan Kongres AS yang memintanya melepas hak 
eksklusif atas Tamiflu untuk diberikan kepada perusahaan farmasi lain. 
Alasan penolakan Roche, saat ini flu burung masih menyerang berbagai 
penjuru bumi. Menurut Roche, perusahaan farmasi lain tidak dapat 
memproduksi Tamiflu dengan kecepatan produksi sebanding Roche.

Di pihak lain, ada lima perusahaan raksasa AS yang bergerak di industri 
peternakan ayam. Mereka adalah Tyson Foods, Goldkist Inc, Pilgrim's 
Pride, Con Agra Poultry, dan Perdue Farms. Dari kelimanya, Tyson adalah 
yang terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi 77,5 juta kilogram 
daging ayam per pekan.

Anehnya, menurut Enghdahl, kasus flu burung justru tidak muncul dari 
perusahaan-perusahaan besar tersebut. Flu burung seolah hanya mau 
hinggap di unggas-unggas peternak kecil di Asia. Terhadap hal ini, Dirut 
Tyson Foods, Greg Lee, mengatakan industri peternakan AS sangat berbeda 
dengan Asia. ''Kami lebih melindungi ternak kami dari penyakit,'' kata 
Lee, tahun lalu.

Dalam laporan FAO, sepanjang 2004 lalu, flu burung telah mengimbas Asia. 
Akibatnya, Thailand dan Cina bahkan dilarang mengekspor ayam ke luar 
negeri. Pada saat yang sama permintaan ayam Asia tentu harus dipenuhi. 
Ketika Thailand dan Cina dilarang itulah, perusahaan AS masuk. Jepang 
yang rakyatnya doyan ayam, harus mengalihkan impor ke AS.

(evy/berbagai sumber )





===