sumber: http://www.republika.co.id/Koran_detail.asp?id=235306kat_id=3
Teror flu burung, bagi sebagian kecil orang justru berkah. Layaknya
keping mata uang, ketika satu pihak buntung, yang lain justru mengeruk
untung.
Fenomena itu awalnya dikupas F William Enghdahl, peneliti dari
GlobalResearch, California, AS. Dia membuat tiga tulisan menarik soal
pihak yang diuntungkan di balik serbuan flu burung. Menurut Enghdahl,
segelintir pihak yang diuntungkan itu adalah para pelaku agrobisnis AS,
politikus, sampai para pejabat negara.
Enghdahl memulai tulisannya dengan dua pertanyaan. Pertama, bagaimana
bisa, hanya ada satu perusahaan yang memonopoli peredaran obat flu
burung, Tamiflu, di seluruh dunia? Hingga kini, monopoli dipegang
perusahaan patungan AS-Swiis, Roche Holdings.
Pertanyaan kedua, tidakkah aneh bila pemusnahan jutaan unggas ternyata
lebih menyentuh unggas-unggas milik peternak kecil di Asia, dibanding
ternak milik perusahaan peternakan raksasa, terutama milik AS?
Kejutan pertama dari Enghdahl diterbitkan Oktober tahun lalu. Judulnya
sensasional, ''/Is Avian Influenza Another Pentagon Hoax?/'' (Apakah Flu
Burung itu Hanya Gurauan Pentagon?). Hanya berselang satu bulan, terbit
tulisan keduanya, /Bird Flu and Chicken Factory Farms: Profit Bonanza
for US Agribusiness/ (Flu Burung dan Pabrik Peternakan Ayam: Panen
Untung Buat Agrobisnis AS).
Tulisan ketiga Enghdahl bahkan jauh menusuk . /Bird Flu: A Corporate
Bonanza for the Biotech Industry, Tamiflu, Vistide and The Pentagon
Agenda./. (Flu Burung: Panen Untung bagi Perusahaan Industri
Bioteknologi, Tamiflu, Vistide, dan Agenda Pentagon).
Menurut Enghdahl, terlepas dari keampuhan Tamiflu memberantas flu
burung, peredarannya yang dimonopoli Roche terbukti hanya menguntungkan
segelintir pihak. Beberapa di antaranya sangat dikenal publik sebagai
pejabat dan mantan pejabat pemerintahan Amerika Serikat (AS), yakni
mantan menteri pertahanan, Donald H Rumsfeld, dan George P Shultz,
mantan menteri luar negeri.
Tamiflu ditemukan dan dipatenkan pada 1996 oleh sebuah perusahaan
bioteknologi bernama Gilead Sciences Inc. Gilead saat ini terdaftar di
Nasdaq (bursa kedua di AS) dengan kode GILD. ''Kebetulan'' Rummy (sapaan
Donald Rumsfeld) dan George Shultz sempat duduk di jajaran direksi Gilead.
Rummy masih duduk di kursi dirut sampai menjelang ia diangkat menjadi
menteri pertahanan AS pada 2001. Dalam siaran pers Gilead yang terbit
1997, Rummy duduk di jajaran direksi perusahaan sejak 1988. Menurut
Enghdahl, tahun lalu secara diam-diam Rummy menambah sahamnya sampai
mencapai 18 juta dolar AS. Ada pun George Shultz, ia dikabarkan meraup
untung setidaknya 7 juta dolar AS dari hasil penjualan saham Gilead,
awal tahun lalu. Sejalan dengan menyebarnya flu burung di berbagai
belahan bumi, saham Gilead sejak 2001 terus melejit. Dari posisi tujuh
dolar AS per lembar di 2001, November lalu harganya sampai ke kisaran 50
dolar AS. Saat ini, nilai kapitalisasi pasar Gilead telah mencapai 22
miliar dolar AS.
Lalu, apa hubungannya Gilead dengan Roche? Selidik punya selidik,
ternyata Gilead menyerahkan hak pemasaran dan paten obat-obatannya
(terutama Tamiflu) kepada Hoffman-LaRoche. Dengan begitu, dari setiap
Tamiflu yang dijual Roche, Gilead mendapat bagian 10 persen keuntungan.
Tidak heran, sampai akhir tahun lalu, pendapatan Gilead dari sisi
royalti saja mencapai 219,1 juta dolar AS, meningkat 166 persen dari 2004.
Dominasi Roche terhadap Tamiflu makin tak tertahan. Semester II tahun
lalu, Roche menolak permintaan Kongres AS yang memintanya melepas hak
eksklusif atas Tamiflu untuk diberikan kepada perusahaan farmasi lain.
Alasan penolakan Roche, saat ini flu burung masih menyerang berbagai
penjuru bumi. Menurut Roche, perusahaan farmasi lain tidak dapat
memproduksi Tamiflu dengan kecepatan produksi sebanding Roche.
Di pihak lain, ada lima perusahaan raksasa AS yang bergerak di industri
peternakan ayam. Mereka adalah Tyson Foods, Goldkist Inc, Pilgrim's
Pride, Con Agra Poultry, dan Perdue Farms. Dari kelimanya, Tyson adalah
yang terbesar di dunia, dengan kapasitas produksi 77,5 juta kilogram
daging ayam per pekan.
Anehnya, menurut Enghdahl, kasus flu burung justru tidak muncul dari
perusahaan-perusahaan besar tersebut. Flu burung seolah hanya mau
hinggap di unggas-unggas peternak kecil di Asia. Terhadap hal ini, Dirut
Tyson Foods, Greg Lee, mengatakan industri peternakan AS sangat berbeda
dengan Asia. ''Kami lebih melindungi ternak kami dari penyakit,'' kata
Lee, tahun lalu.
Dalam laporan FAO, sepanjang 2004 lalu, flu burung telah mengimbas Asia.
Akibatnya, Thailand dan Cina bahkan dilarang mengekspor ayam ke luar
negeri. Pada saat yang sama permintaan ayam Asia tentu harus dipenuhi.
Ketika Thailand dan Cina dilarang itulah, perusahaan AS masuk. Jepang
yang rakyatnya doyan ayam, harus mengalihkan impor ke AS.
(evy/berbagai sumber )
===