Tunjangan Hari Raya Buat Seluruh Rakyat Jumat, 27 Agustus 2010| Editorial
Seperti kebiasaan di belahan dunia lain, pada tiap hari raya tuntutan konsumsi dalam masyarakat mengalami peningkatan. Hal ini mendorong adanya kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR), baik bagi pekerja di instansi pemerintah (negeri) maupun swasta. Bagi pekerja swasta pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) telah mengingatkan agar tiap-tiap perusahaan memenuhi kewajiban pembayaran THR paling lambat H-7 menjelang hari raya. Juga ditegaskan bahwa pekerja kontrak dan outsourcing pun berhak mendapatkan tunjangan yang sama. Menurut ketentuan normatif, pembayaran THR bagi pekerja adalah sejumlah satu bulan gaji (upah) yang dibayarkan satu minggu sebelum hari raya. Di sini terdapat persoalan bahwa upah atau gaji yang diberikan perusahaan kepada mayoritas karyawan swasta masih sangat rendah. Rendahnya upah ini menjadi persoalan tersendiri terkait politik upah murah yang diciptakan rezim orde baru Soeharto dan dilanjutkan sampai rezim SBY-Boediono sekarang. Sekadar ilustrasi, sebuah perusahaan Jepang baru saja menyatakan niat pindah dari Tiongkok ke Indonesia karena upah buruh di sini sedikitnya tiga kali lebih murah. Upah rendah masih dijadikan keunggulan komparatif untuk menarik investor berakumulasi di sini, dari keringat tenaga kerja yang dibayar murah. Dengan demikian pemberian THR berbasiskan upah pun menjadi tidak memadai. Seperti disebutkan pada awal tulisan, tuntutan konsumsi yang lebih tinggi telah menjadi tradisi pada tiap hari raya. Di sini terdapat beragam biaya sosial yang harus ditanggung oleh para pekerja, terlebih bagi yang mudik ke kampung halaman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut mencakup biaya transportasi, biaya silaturahmi, sampai dengan konsumsi makanan dan pakaian yang terbaik. Terlepas dari pro-kontra tingkat konsumsi yang sangat tinggi pada hari-hari besar keagamaan, THR tidak saja dapat dilihat sebagai hak ekonomi namun juga berhubungan erat dengan hak sosial budaya, atau lebih khusus ketika bersosialisasi dalam tata masyarakat yang masih membutuhkan perantara-perantara material. Dalam mengimplementasikan THR ini kita masih menemui banyak persoalan seperti terlambatnya pembayaran, jumlah THR yang tidak sesuai ketentuan, serta kesenjangan yang sangat mencolok antara kelompok sosial satu dengan yang lain. Masih banyak perusahaan yang tidak sanggup memenuhi kewajiban normatifnya tepat waktu dan tak jarang juga pemberian tersebut di bawah ketentuan normatif. Sementara contoh untuk kasus terakhir adalah jauhnya tunjangan bagi buruh atau pekerja biasa dengan jajaran atasan di dalam perusahaan—yang kembali berkait dengan timpangnya standar pengupahan. Lebih jauh, hak ekonomi dan sosial budaya di atas tidak hanya milik pekerja formal yang hak-hak normatifnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam iklim neoliberal ini, deindustrialisasi melahirkan lebih banyak pekerja di sektor informal dan pengangguran. Jumlah pekerja sektor informal dan pengangguran saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pekerja formal. Bagaimana hak sosial pekerja informal ini dipenuhi? Kerap kebutuhan ini dipenuhi melalui mekanisme yang sudah ada dalam tradisi kemasyarakatan. Namun mekanisme seperti ini tidak memberikan kepastian atau hanya berdasarkan kebaikan hati dari masyarakat yang `lebih mampu'. Di sini, kembali, penting adanya peran negara untuk mensejahterakan seluruh Rakyat. Artinya, para pekerja di sektor informal maupun pengangguran pun berhak menuntut tunjangan sebagaimana yang diperoleh pekerja formal. Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdik...@yahoo.com <mailto:redaksiberdik...@yahoo.com> http://berdikarionline.com/editorial/20100827/tunjangan-hari-raya-buat-s\ eluruh-rakyat.html <http://berdikarionline.com/editorial/20100827/tunjangan-hari-raya-buat-\ seluruh-rakyat.html> [Non-text portions of this message have been removed]