SANG ARSITEK BOM SYAHID INDONESIA 

Pemerintah Republik Indonesia dianggapnya terlalu lamban dalam merespon
pergerakan pasukan Belanda yang memboceng pasukan Sekutu (Inggris), maka
bung Tomo bersama para ulama di Surabaya dan wilayah sekitarnya
melakukan inisiatif merekrut arek-arek Suroboyo dalam Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia yang disingkat menjadi BPRI. Pada
perkembangan selanjutnya, pada tanggal 12 Oktober 1945, bung Tomo
diangkat menjadi pimpinan BPRI.

Sebagai seorang pejuang yang memiliki dasar keimanan dan keagamaan yang
cukup serta pengalamannya di pergerakan kepanduan, bung Tomo semenjak
muda memiliki pemahaman bahwa sebagai seorang pandu sejati dan pejuang
bangsa yang tulus maka harus seirama antara perkataan dan perbuatannya. 

Perjuangan kala itu benar-benar membutuhkan kesediaan untuk melakukan
pengorbanan yang teramat besar, tak cukup hanya dengan pengorbanan
‘materi’ dan sumbangan ‘pemikiran’ saja namun harus disertai dengan
kesediaan untuk mengorbankan ‘nyawa’-nya. Seruan kalimat ‘ALLAHU AKBAR‘
serta semboyan ‘MERDEKA atau MATI SYAHID’, merupakan semboyan yang
dikumandangkannya melalui corong radio untuk mengobarkan semangat juang
rakyat Surabaya dan Jawa Timur. Pada waktu itu, hanya ada 2 (dua) tokoh
besar -bung Karno dan bung Tomo- yang melalui pidato dan orasi mampu
mengobarkan ‘fanatisme dan militansi’ rakyat untuk melakukan perlawanan
rakyat semesta.    

Bung Tomo bersama-sama para alim-ulama telah berhasil mengobarkan
‘perlawanan rakyat semesta’ yang sedemikian heroik dan monumental, yang
dalam catatan sejarah Revolusi Fisik Perang Kemerdekaan Republik
Indonesia dikenal sebagai ‘peristiwa 10 Nopember 1945’. Pasukan bala
tentara ‘Sekutu’ yang ‘Pemenang Perang Dunia ke-2’ dilengkapi
persenjataan berat mengalami kesulitan dalam menghadapi perlawanan
rakyat yang ‘massal’ dan ‘nekad’ dari arek-arek Suroboyo yang hanya
dengan berbekal senjata ringan dari hasil melucuti dan merampas senjata
pasukan Samurai-nya ‘Dai-Nippon’.

Suasana revolusi saat itu telah melahirkan banyak pejuang dengan
semangat patriot sejati, kesatuan ‘Pasukan Berani Mati’ bentukan bung
Tomo yang dikenal sebagai “Pasukan Bom Syahid’ benar-benar telah membuat
sulit pergerakan tank serta kendaraan tempur pasukan sekutu. Anggota
pasukan yang direkrut secara tergesa-gesa dengan hanya dibekali
pelatihan sekedarnya namun disertai penempaan ‘ke-iman-an’ ini berhasil
melahirkan suatu kesatuan pasukan dengan personil anggotanya yang
memiliki elan perjuangan yang tulus, patriotisme yang tinggi, dengan
fanatisme-militansi perlawanan yang sangat luar biasa. Disertai
ketetapan dan tekad hati untuk siap ‘Mati Syahid’, mereka tak mengenal
jeri dan takut untuk ‘menubrukkan diri” kearah tank dan iring-iringan
kendaraan tempur pasukan sekutu.

Ketika bung Tomo melakukan rekrutmen jauh di luar kota Surabaya, seorang
arek Suroboyo dengan perawakan lusuh, yang sengaja datang dari kota
Surabaya pergi menyusul bung Tomo, secara ‘sukarela’ bergabung dalam
‘Pasukan Bom Syahid’. Pemuda itulah dalam sejarah pertempuran Surabaya
menjadi sebagai anggota pasukan yang pertama kali ‘Gugur sebagai
Syuhada’. 

Bersamaan dengan hancurnya tank sekutu yang ditubruknya tersebut, telah
lahir seorang “Syuhada’, seorang ‘Bunga Bangsa’, seorang ‘Martir bagi
Kemerdekaan Indonesia’, serta ‘Teladan’ bagi siapa saja yang mengaku
sebagai ‘Pejuang bagi Agama’-nya dan ‘Pejuang Kemerdekaan Republik
Indonesia’.   
  
Bung Tomo sebagai pejuang dan patriot sejati yang benar-benar pernah
mengecap pahit-getirnya berjuang bersama dengan para buruh, para petani,
para tukang becak, para rakyat jelata lainnya, seusai masa Revolusi
Kemerdekaan Indonesia tetap mempertahankan sikap dan cara hidup yang
bersahaja. Tak sedikit pun berharap akan ‘pamrih’ mendapatkan fasilitas
dan limpahan materi dari Pemerintah Republik Indonesia. Ia tetap menjadi
seorang patriot sejati yang lebih berpihak kepada rakyat jelata dengan
landasan keyakinan bahwa ‘surga’ yang diharapkannya.

Tanggal 16 Oktober 1981, selepas Wukuf di Arofah, bung Tomo tutup usia.
Ia pulang ke Rahmatullah ketika sedang menggenapkan kewajiban rukun
Islamnya, ketika sedang melakukan ketaatan kepada perintah Sang Khalik
Penciptanya.  

Jasad sang ‘Arsitek Pasukan Bom Syahid Indonesia’ itu kini telah berada
di perut bumi, terkubur di Tanah Suci, semoga semangat perjuangannya tak
pernah mati. Seperti yang ia katakan bahwa : ‘Cita-cita seorang pejuang
bangsa adalah ingin mendidik anak muda bangsanya menjadi patriot bangsa,
perjuangan tak akan memiliki arti bila tak ada generasi penerus yang
memiliki jiwa patriot sejati’.

* * *
Disadur dari Bung Tomo : Arsitek Pasukan Bom Syahid, yang ditulis Fadli
Rachman dan dimuat di Sejarah Emas Muslim Indonesia, Sabili Edisi Khusus
nomor 9 Th. X  2003.
***
Jakarta, 17 Agustus  2005.
si-pandir yang lagi belajar mengetik.
* * *

Bung Agus dan bung Totot, moderator milist FPK, Yth.
Salam sejahtera.
Pertama-tama saya mohon dimaafkan karena telah mempostingkan ‘sesuatu’
yang tak sesuai dengan aturan main di milist FPK. Sesuatu yang bukan
bersumber atau bukan me-referensi dari berita Kompas atau KCM.
Namun saya yakin ‘spirit’-nya sama dengan visi dan misi yang di emban
oleh Kompas dan KCM maupun FPK yaitu bermuara untuk turut mencerdaskan
bangsa untuk kemandirian dan kesejateraan rakyat indonesia. 
Tentunya bukan ‘spirit’ yang dibungkus dengan ‘sesuatu’ sehingga
hakikatnya justru membuat makin kaya rakyat di negeri-negeri maju
disana, dengan tega hati mengorbankan rakyat Indonesia yang sudah miskin
ini. Apalagi jika pertimbangan men-‘sesuatu’-kan itu karena akan membuat
diri pribadinya dan kelompoknya menjadi mendapatkan secuil limpahan
materi dan cipratan rejekinya.
Bukankah begitu, bung Agus dan bung Totot ?.

Selanjutnya, saya berharap semoga ada yang tergugah karenanya, sehingga
paling tidak akan berujung pada ‘sesuatu’ yang akan mengentaskan negeri
ini dari ancaman momok krisis ekonomi jilid dua dan penjajahan ekonomi
yang berkelanjutan.  
Rupiah yang makin terpuruk, bisa jadi akan menembus angka Rp.12.000,-,
situasi dimana dibutuhkan ‘spirit seperti pada masa revolusi
kemerdekaan’ dahulu kala dari para pemimpin bangsa. 
Karena ‘pamrih’ adalah penyakit ganas di pasca kemerdekaan yang telah
membuat bias dan melencengnya tujuan dasar perjuangan kemerdekaan yang
telah beliau-beliau para patriot bangsa perjuangkan dengan darah dan
nyawanya. 
Sehingga ‘spririt’ itu akan melahirkan kemauan untuk berbuat sesuatu
serta keberanian untuk menghasilkan suatu kebijakan yang berpihak kepada
kepentingan bangsa, walaupun mungkin kebijakan itu akan membuat
pribadinya dan kelompoknya tak lagi mendapatkan rejeki nomplok yang
diharap-harapkan.
Bagaimana mungkin himbauan kepada rakyat akan bersambut dan berbuah
militansi  semangat patriotisme, jika dalam himbauannya tersebut
terselip tersembunyi sesuatu ‘pamrih’ ?.
Betul begitu, bung Agus dan bung Totot ?.

Sesungguhnya ‘fanatisme dan militansi’ itu adalah momok yang paling
ditakuti oleh negara-negara maju. Sejarah mencatat bagaimana ‘bala
tentara’-nya Inggris, Belanda, Amerika, pada Perang Dunia ke-2, pernah
merasakan sedemikian jerinya dan sulitnya menundukkan miltansi dan
semangat Kamikaze serta Bushido-nya para ‘the Last Samurai’-nya
Dai-Nippon di pertempuran front Asia-Pasifik.
Sehingga mereka sampai perlu melakukan ‘serangan teroris’ yang
mengakibatkan ratusan ribu ‘rakyat sipil’ Jepang bergelimpangan menjadi
korban terjangan kekejaman ’Fat-Man dan Little-Boy’. 
Terjangan ‘bom teroris’ pada tanggal 6-Agustus-1945 dan pada tanggal
9-Agustus-1945, telah menelan korban ‘rakyat sipil’ yang jauh lebih
besar daripada korban terjangan bom pesawat pada peristiwa ‘911’.
Peristiwa yang sampai dengan saat ini pun masih menyimpan misteri
sehingga tak heran jika masih ada yang meragukan pelakunya.
Jangan-jangan peristiwa itu malah merupakan kreasi karya masterpiece-nya
‘Junior-nya Bush Senior’.
Serupa juga di front Eropa, militansi-fanatisme yang membuat bangsa Aria
baru dapat ditaklukkan setelah Berlin dihujani ‘bom karpet’ dan ‘fuhrer’
melakukan harakiri.
Nopember 60 tahun yang lalu, sekutu juga merasakan kejerian serupa
ketika menghadapi fanatisme-militansi arek-arek Suroboyo, yang membuat
mereka kehilangan sejumlah perwira menengahnya, bahkan ada yang
berpangkat perwira tinggi.
Hari ini Amerika Serikat melihat ‘reinkarnasi” dari semangat
‘fanatisme-militansi’ rakyat jepang yang dalam mengkonsumsi sesuatu
produk amat dipengaruhi oleh patriotisme produk mereka.
Hari ini juga Amerika Serikat masih kepusingan kelabakan menghadapi
fanatisme-militansi dari ‘sebagian rakyat Irak’ yang merasa Amerika
Serikat telah menginjak-injak kedaulatan negerinya dan mengangkangi
sumur minyak miliknya.
Hari ini, 60 tahun setelah arek-arek Suroboyo mengorbankan nyawanya,
kita telah kehilangan fanatisme-militansi itu demi sesuap nasi dan
segenggam berlian serta segepok sertifikat deposito.
Maka sesungguhnya bangsa yang telah kehilangan fanatisme-militansi
rakyat-nya adalah sasaran empuk yang gurih untuk dikunyahnya. Sehingga
sekalipun dirampok-dikuras-dikangkangi kedaulatan ekonominya namun tetap
saja merasa enjoy dan merasa business usually saja.
Apakah memang demikian, bung Agus dan bung Totot ?.

Memang kita tak kehilangan sama sekali patriotisme itu, terbukti
sedemikian banyak sukarelawan yang mendaftarkan diri ketika dibuka
pendaftaran dan rekrutmen sukarelawan untuk mengulangi konfrontasi
Indonesia-Malaysia yang tertunda di waktu Soekarno dulu. 
Namun ada yang menyayangkan, kenapa patriotisme justru dihembuskan hanya
ketika ada keperluan dan kebutuhan adanya sepasukan jangkrik aduan
sebagai martir untuk melindungi konsesi sumur rejeki yang sudah
terlanjur dijanjikan atau di-deal-kan saja ?.
Apapun kata orang, memang kita wajib memelihara fanatisme-militansi dan
patriotisme itu dikalangan generasi muda bangsa kita ini.
Namun terbayangkah bagaimana jika Irak itu adalah negara kita, apakah
kita punya kemampuan untuk melakukan perlawanan serupa dengan mereka ?.
Rasanya tidak, karena kalaupun kita memiliki fanatisme-militansi dan
patriotisme, namun ‘ketrampilan dasar kemiliteran’ tak kita punyai. 
Ada berapa banyak yang sudah pernah pegang popor senapan ?.
Kalau merasakan kerasnya di-popor gagang senapan, mungkin malah banyak
pemuda dan rakyat kita yang pernah mencicipinya.
Ada berapa banyak yang sudah pernah memasang magasin peluru senapan ?.
Kalau para eksekutif kita justru banyak yang suka bermejeng ria dengan
selalu membawa pistol dengan magasin penuh, atau dikawal centeng
berpistol, untuk sekedar petentang-petenteng dan untuk nakut-nakuti yang
nagih utang, padahal ketika pecah pertempuran justru yang paling dulu
tiba di Changi Singapura, ngibrit untuk ngumpet di kondominium dan
apartemennya.
Begitukah, bung Agus dan bung Totot ?.

Akhirulkalam, semoga bangsa kita secepatnya dapat mandiri dan berdikari,
berdaulat penuh dalam arti sebenar-benarnya, baik dalam hal kedaulatan
politik, kedaulatan wilayah (mengingat jalur udara dan jalur pelayaran
dibeberapa tempat di jalur selat malaka dan kepulauan riau, justru
otoritasnya ada yang ditangan pemerintah negeri jiran) dan termasuk juga
kedaulatan ekonomi.
Mohon dimaafkan jika ada yang membuat kurang berkenan.
Sukses selalu buat bung.
Semoga ada manfaatnya.
Tabik.









    






-- 
http://www.fastmail.fm - Send your email first class



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Put more honey in your pocket. (money matters made easy).
http://us.click.yahoo.com/r7D80C/dlQLAA/cosFAA/GEEolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke