http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/21/opini/2455333.htm
Rendahnya Pertumbuhan Buah Kebijakan Ekonomi Iman Sugema Sebagaimana diperkirakan para ekonom, pertumbuhan ekonomi pada triwulan terakhir 2005 semakin melemah. Pertumbuhan year on year pada triwulan itu hanya 4,9 persen. Menurunnya pertumbuhan sudah terantisipasi sejak triwulan pertama meski saat itu Tim Ekonomi masih merasa optimistis. Tahun 2005 juga ditandai merosotnya indikator sosial ekonomi. Inflasi, kemiskinan, dan pengangguran meroket. Tahun itu boleh dikata sebagai tahun ketidakpuasan masyarakat terhadap Tim Ekonomi. Karena itu, tidak mengherankan jika berbagai survei yang dilakukan lembaga kajian dan media massa menunjukkan merosotnya penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Kita juga kehilangan momentum di tahun 2005. Berdasarkan hitungan ekonometrik teman-teman di Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, potential growth tahun itu sekitar 6,3 persen. Artinya, pertumbuhan aktual lebih rendah sekitar 0,7 persen dari yang seharusnya. Nasi sudah jadi bubur Nasi sudah menjadi bubur, tidak relevan meratapi apa yang telah terjadi. Yang penting, mempelajari penyebab kemunduran itu dan berusaha tidak melakukan kesalahan yang sama di masa datang. Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan konsumsi dan investasi mengalami kemerosotan. Melemahnya pertumbuhan konsumsi tampaknya terkait dengan merosotnya daya beli akibat tingginya inflasi tahun lalu. Selama beberapa tahun terakhir konsumsi merupakan kontributor pertumbuhan terbesar dan paling stabil. Karena itu, penting memelihara daya beli rumah tangga. Aneka kebijakan yang bersifat inflatoir, seperti kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, sebaiknya tidak dilakukan semena-mena. Yang lebih mengkhawatirkan, pertumbuhan investasi fisik kotor yang 1,78 persen pada triwulan keempat 2005. Ada dua alasan. Pertama, investasi merupakan jenis pengeluaran yang pertumbuhannya merosot, di mana pada 2004 kecenderungannya meningkat dan selalu di atas single digit. Tren pada 2005 justru terbalik dan kembali ke single digit. Kedua, investasi amat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sekarang dan di masa datang. Mengingat pertumbuhannya melambat, kita tak dapat berharap pertumbuhan di masa datang akan lebih baik. Jika ingin lebih baik, kita harus menggenjot investasi besar-besaran. Artinya, iklim investasi harus lebih kondusif. Mengingat masalah besar kita adalah kemiskinan dan pengangguran, maka investasi harus diarahkan ke sektor-sektor padat karya seperti pertanian dan manufaktur yang menyerap tenaga kerja maksimal. Kedua sektor itu kini sedang merosot tajam. Secara total, pertumbuhan sektor pertanian 2005 hanya 2,49 persen, jauh lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Meski kontribusi terhadap produk domestik bruto sekitar 13 persen, hampir setengah dari pekerja di Indonesia ada di sektor ini. Karena itu, kemiskinan akan lebih parah jika sektor pertanian tidak berkembang. Lantas bagaimana dengan rencana pemerintah merevitalisasi pertanian? Tampaknya, tahun 2005 lebih banyak diwarnai kebijakan yang justru menghambat kemajuan sektor pertanian. Kepentingan stabilisasi jangka pendek seperti pengendalian inflasi telah mengorbankan kepentingan pembangunan jangka panjang. Padahal, kompetitifnya harga sekaligus rendahnya inflasi dengan sendirinya akan terjamin jika kita mampu mengembangkan sektor ini melalui produktivitas dan efisiensi. Tanpa itu, kita akan selalu terjebak kenaikan harga dan kesulitan mengendalikan inflasi. Karena itu, kebijakan dari sisi suplai menjadi lebih relevan. Namun, di tahun 2005 kebijakan yang diambil justru cenderung counter productive. Sebagai contoh, kenaikan harga BBM menyebabkan nelayan tidak bisa melaut, produsen di sektor kehutanan harus menanggung pembengkakan biaya operasi, dan petani pangan menghadapi mahalnya ongkos transportasi. Hal ini diperparah kondisi kualitas infrastruktur pertanian dan perdesaan yang semakin merosot. Sektor manufaktur juga melemah, hanya 4,63 persen atau lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan tiga tahun sebelumnya. Indeks produksi beberapa subsektor padat tenaga kerja seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki menurun (artinya, output-nya menurun). Selain dipukul kenaikan harga BBM, sektor manufaktur juga dipengaruhi kenaikan suku bunga kredit. Pemulihan sektor ini amat tergantung pada perkembangan harga energi dan suku bunga riil. Kesulitan pengendalian kedua hal itu seharusnya dikompensasi dengan penurunan biaya-biaya tidak langsung, seperti sistem transportasi yang lebih efisien, pajak, dan kepabeanan yang lebih kompetitif, penghapusan biaya siluman, dan kecepatan penanganan dispute perusahaan dan pekerja. Namun, hal itu tampaknya masih jauh dari kenyataan. Tampaknya, kita akan menghadapi tren yang terjadi di tahun 2005. Daftar panjang tentang apa yang akan dilakukan Tim Ekonomi bukan obat mujarab. Kita masih menunggu langkah-langkah tidak konvensional berupa cara-cara baru dan inovatif guna menumbuhkembangkan perekonomian. Sejauh ini hal itu belum ada. Seperti pepatah bilang, it takes two steps to move one step forward. Kita harus melakukan lompatan supaya betul-betul yakin kita telah melangkah. Iman Sugema International Center for Applied Finance and Economics, Institut Pertanian Bogor [Non-text portions of this message have been removed] Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional? Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/