Zizou

JIKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latin-kan dengan lafal
Inggris, ia adalah Zîn ad-Dîn. Di Indonesia ia akan dipanggil
Zainuddin. Konon itu berarti "ornamen iman".

Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bukit-bukit Aljazair
yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut niat
memperbaiki nasib, Smaïl Zidane, si ayah, pergi merantau ke Paris.
Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pindah ke Marseille, di
selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.

Pada pertengahan 1960-an itu, Smaïl bekerja sebagai petugas gudang,
sering dalam giliran malam. Ia ingat Zainuddin mudah bermimpi buruk
bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu senggangnya ia
penuhkan perhatian bagi anak yang lembut hati yang dipanggilnya
Yazid atau "Yaz" itu.

Ketika Zidane muda sudah jadi pemain bola termasyhur, dan seluruh
Prancis mengelu-elukannya sebagai pahlawan, dan para pengagumnya
memanggilnya "Zizou", bukan "Yaz", ia tak melupakan apa yang
diberikan ayahnya. "Saya mendapatkan semangat dari dia,"
katanya. "Ayahlah yang mengajari kami bahwa seorang imigran harus
bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan orang lain--
dan tak boleh menyerah."

Daerah La Castellane, di bagian utara Kota Marseille, tempat
Zainuddin Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapangan
Place de la Tartane, bukanlah wilayah yang ramah. Orang menyebutnya
sebagai quartier difficile, perkampungan sulit. Di tepi jalan yang
berdebu itu, di deretan perumahan kotak-kotak itu, hidup si muslim,
si miskin, si minoritas, yang akhir-akhir ini merisaukan Prancis:
beban, ancaman, atau bantuankah mereka?

Dalam hal itu "Zizou" mau tak mau memikul sebuah pertanyaan--
meskipun kita tak tahu sadarkah ia akan hal itu.

Ketika Prancis keluar sebagai kampiun Piala Dunia 1998, sebuah
perayaan spontan meluap di Paris: satu setengah juta manusia
berderet di Champs Elysees. Sebuah potret besar Zidane, pencetak gol
yang menjadikan negerinya sang juara, diproyeksikan di Arc de
Triomphe. Ribuan orang berseru, tiba-tiba, "Zidane! Président!"

Zainuddin, keturunan minoritas yang disebut les beurs, serta-merta
jadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering disebut "paling
rasialis" di Eropa.

Agaknya Piala Dunia sebuah simptom: kompetisi itu adalah ekspresi
nasionalisme dalam demamnya yang tak berbahaya. Juga nasionalisme
yang tak sama dengan rasialisme. Eropa pernah melahirkan Naziisme,
tapi ada sesuatu yang sering diabaikan: nasionalisme punya kemampuan
untuk melupakan.

Prancis semenjak revolusi pada abad ke-18 merupakan contohnya. Dari
pengalaman itu pada abad ke-19 Ernest Renan mengemukakan
pentingnya "lupa" dalam membentuk bangsa: sebuah "nasion" terjadi
ketika ikatan kedaerahan, rasial, dan keagamaan tak lagi diingat-
ingat. Telah tumbuh hasrat untuk berbareng (le désir de l'être
ensemble) di antara anasir yang berbeda-beda. Sebuah kebersamaan pun
terbangun.

Zidane menerima dan diterima oleh kebersamaan itu--yang bernama
"Prancis"--ketika ada kehendak "melupakan" ikatannya dengan sesuatu
yang bukan "Prancis". Juga di lapangan hijau itu: "Prancis" hadir
bukan cuma pada warna kaus yang seragam, tapi juga pada agresivitas
Zidane yang melupakan diri bahwa ia seorang pemain Real Madrid--
seperti halnya lawannya hari itu, Ronaldo dari Brasil.

Demikianlah identitas "Prancis" berkibar dari lupa dan benturan.
Kompetisi Piala Dunia memang metafora yang bagus tentang
antagonisme, di mana perbedaan yang mutlak tak pernah ada. Sebuah
pertandingan selalu mengasumsikan semacam persamaan: tak ada pihak
yang 100 persen ganjil bagi pihak lain. Yang terjadi adalah ada yang
menang, ada yang kalah.

Sebagaimana dalam kehidupan: ada antagonisme dalam tiap kebersamaan,
dan si menang naik, si kalah turun. Kesetaraan yang penuh tak bisa
tercapai; tiap angka 0-0 akan diselesaikan dengan tendangan penalti.
Tapi dorongan ke arah kesetaraan akhirnya tak dapat dielakkan, dan
argumen untuk mengekalkan perbedaan akan terguncang. "Kami berasal
dari sebuah keluarga yang tak punya apa-apa," kata Smaïl Zidane
menyaksikan tempik-sorak bagi anaknya di seantero negeri. "Kini kami
dihormati orang Prancis dari segala jenis."

Tapi justru karena itulah Zidane membawa sebuah pertanyaan bagi
Prancis: bisakah logika perbedaan diguncang oleh logika kesetaraan?
Bagaimana mungkin "mereka"--yang muslim, yang lain--dianggap
sederajat dengan "kita", mayoritas?

Tampak bahwa di sini yang ditekankan bukanlah lupa, melainkan
ingatan--dan wajah buruk nasionalisme pun menyeringai.

Setelah kemenangan tim Prancis pada tahun 1998 itu, Jean-Marie Le
Pen, pemimpin Front National--yang selalu mencurigai minoritas--
akhirnya menerima Zidane dengan catatan: sang bintang adalah "putra
Aljazair Prancis". Itulah alasannya kenapa Zainuddin layak diterima
di antara "kita": Zizou datang dari keluarga "harki", kata Arab
untuk menyebut orang Aljazair yang bertempur di pihak Prancis, sang
penjajah, pada masa perang kemerdekaan.

Zainuddin membantah itu: keluarganya bukan pengkhianat. Tapi bisakah
ia mendefinisikan diri, ketika dunia privat seseorang diserbu
kebencian hitam-putih orang ramai? Oktober 2001, sebuah pertandingan
persahabatan dicoba antara tim Prancis dan Aljazair di Stade de
France. Pertandingan itu simbolik: kedua negeri itu tak pernah
bertemu di lapangan bola sejak perang kemerdekaan Aljazair. Tapi
seperti diceritakan Andrew Hussey dalam The Observer, menjelang hari
itu Zidane diancam akan dibunuh. Poster dipasang: "Zidane-Harki".
Akhirnya permainan tak selesai. Beberapa anak muda keturunan Arab
berseru mengelu-elukan Usamah bin Ladin dan mengutuk Republik
Prancis.

Demikianlah lupa dan ingatan bisa dibongkar pasang untuk
diteriakkan, juga bagi si pemalu yang bersuara lirih itu, Zinedine
Zidane.

Goenawan Mohamad
(Catatan Pinggir Majalah TEMPO, 10 Juli 2006)


Want to be your own boss? Learn how on Yahoo! Small Business. __._,_.___

selamat datang di web baru FoSSEI
http://www.fossei.org





SPONSORED LINKS
Online social science degree Social science course Social science degree
Social science education Bachelor of social science Social science major


YAHOO! GROUPS LINKS




__,_._,___

Kirim email ke