#TidakAtasNamaSaya
Oleh: Alissa Q. WahidKOMPAS, 26 Mei 2019
Sebuah video singkat menunjukkan seorang tokoh berapi-api mengatakan umat Islam 
marah kepada Kapolri dalam menangani aksi unjuk rasa berujung kerusuhan 
beberapa waktu lalu. Saat menyaksikan video tersebut, tiba-tiba tebersit 
pikiran #NotInMyName di kepala saya.
Dengan segera saya menuliskan dua cuitan di akun Twitter saya @alissawahid. 
Satu cuitan menegaskan bahwa sebagai seorang Muslim di Indonesia, saya menolak 
diwakili paksa oleh narasi bahwa umat Islam ditindas dan marah, sebab saya 
merasa Islam di Indonesia baik-baik saja.
Cuitan lainnya tentang penolakan saya untuk diatasnamakan paksa dalam narasi 
rakyat tolak hasil pilpres dan gerakan kedaulatan rakyat. Terinspirasi oleh 
tagar #NotInMyName, saya mengadaptasinya menjadi #TidakAtasNamaSaya yang saya 
sematkan dalam kedua cuitan.
Tagar #NotInMyName dipopulerkan oleh sekelompok Muslim Inggris yang menolak 
ISIS mengatasnamakan umat Islam. Tagar ini pun digunakan kaum Muslim dalam 
solidaritas online menolak serangan teroris di Paris tahun 2015. Publik saat 
itu ingin menunjukkan bahwa lebih banyak orang Islam yang menolak serangan 
teroris.
Tahun 2017, tagar tersebut digunakan oleh masyarakat Hindu di India untuk 
menolak tindakan main hakim sendiri terhadap pemeluk agama non-Hindu yang 
mengonsumsi daging sapi. Saat itu, seorang Muslim berusia 15 tahun mati 
dikeroyok kelompok cow vigilante (pemburu penikmat daging sapi). Karena aksi 
#NotInMyName, Pemerintah India yang sebelumnya mengabaikan aksi keroyokan ini 
akhirnya menegaskan bahwa tidak ada kelompok yang boleh main hakim sendiri.
Tak dinyana, kedua cuitan dengan tagar #TidakAtasNamaSaya menerima amplifikasi 
yang hebat. Lebih dari 2 juta impresi, ratusan ribu interaksi, dan berkembang 
menjadi ribuan cuitan netizen sampai saat tulisan ini diturunkan. Akhirnya, 
tagar ini melambung dan menduduki puncak trending topik secara organik alias 
tanpa rekayasa bot dan strategi buzzing, yang berarti ide ini ”dimiliki” oleh 
netizen secara masif. Apa maknanya?
Seorang netizen dengan handler @AstiMaulidida menuliskan, ”Setelah 
berbulan-bulan, ini tagar yang saya tunggu-tunggu. Saya Muslim, saya warga 
negara Indonesia. Saya sangat menolak diwakili untuk apa pun yang kalian 
lakukan dengan narasi seperti ’atas nama rakyat…’ Stop menyelubungi niat jahat 
kalian dengan nama agamaku. #TidakAtasNamaSaya”
Cuitan di atas menjadi gambaran kegelisahan sebagian besar silent majority 
selama ini. Tagar #TidakAtasNamaSaya merupakan tagar yang tepat untuk menjadi 
kanal aspirasi karena ia bisa menjadi garis demarkasi psikologis. Pengguna 
tagar ini ingin memisahkan diri dari perilaku sekelompok orang yang berusaha 
melakukan generalisasi untuk kepentingan agendanya sendiri.
Secara teoritis, kelompok-kelompok pengusung #BelaRakyat dan #BelaAgama 
memanfaatkan mekanisme filter mental publik yang secara garis besar ada tiga: 
distortion, deletion, dan generalization. Ketiga filter ini adalah mekanisme 
dasar manusia untuk menjaga agar dirinya tidak kewalahan mengelola banjir data 
informasi mentah yang membanjiri otaknya.
Namun, karena ia hanya berupa mekanisme diri, maka ia pun dapat digunakan 
secara salah. Dalam hal ini, filter kognitif ini digunakan untuk memengaruhi 
publik, terutama untuk kepentingan politik.
Distortion berarti pemberian makna yang disengaja dan berbeda dengan realitas 
yang ada. Disinformasi dan hoaks adalah contoh konkret filter ini, di mana 
sebuah peristiwa diberi makna yang berbeda dan lebih bombastis sehingga 
menyentuh sisi kemanusiaan kita. Contohnya, kalimat ”polisi menembaki umat 
Islam” sementara faktanya adalah polisi menembak beberapa orang terduga perusuh 
tanpa melihat mereka sebagai umat Islam atau umat lainnya.
Filter kedua, yaitu deletion, berarti pengabaian terhadap sebagian aspek 
peristiwa, dan otak-hati diarahkan untuk hanya memfokuskan diri pada sebagian 
aspek yang telah dipilih. Sebagai contoh dari situasi kerusuhan, narasi yang 
berkembang tentang polisi menembaki umat Islam mengabaikan informasi aspek 
tindakan anarkistis yang dilakukan oleh korban.
Filter terakhir adalah generalization, yaitu upaya mengatasnamakan kelompok 
yang lebih besar atas peristiwa di kelompok yang lebih kecil. Tagar #BelaUmat 
atau #BelaAgama digunakan untuk membangkitkan sentimen senasib sepenanggungan 
dan mengamplifikasi peristiwa.
Tagar #TidakAtasNamaSaya menentang ketiga model filter mental di atas. Tagar 
ini mengembalikan narasi gerakan kedaulatan rakyat dan bela agama tertentu pada 
faktanya: lepas dari generalisasi, distorsi, dan deletion (pengabaian makna). 
Bahwasanya kelompok pendukung agenda tertentu tidaklah mewakili agenda 
keseluruhan rakyat, dan bahwasanya mereka juga tidak mewakili umat agama di 
Indonesia.
Muncullah pesan Islam di Indonesia baik-baik saja yang sangat kuat beberapa 
hari ini di media sosial, melawan narasi umat Islam ditindas, dicurangi, dan 
dianiaya.
Dalam era disrupsi teknologi informasi yang egaliter, perang gagasan dan narasi 
tidak terelakkan. Masifnya tagar #TidakAtasNamaSaya ini menandakan bahwa publik 
mayoritas yang selama ini bungkam (silent majority) menemukan sebuah kanal baru 
untuk bahu-membahu menolak diwakili paksa dalam narasi sempit.
Begitu pun pesan di dalam tagar tersebut, tentang Islam di Indonesia yang 
baik-baik saja. Saya jadi teringat tulisan lama Gus Dur, ”Kalau sekarang ini 
ada yang menjelekkan nama Islam, kita didik agar membawa nama Islam yang damai. 
Gitu saja kok repot.”

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke