Jokowi Sangat Butuh Kemenangan Trump?R53 - Friday, November 6, 2020 16:30
https://www.pinterpolitik.com/jokowi-sangat-butuh-kemenangan-trump
 
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald 
Trump (kiri) dan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Christine Lagarde 
(kanan). (Foto: White House)
6 min read

Pilpres AS 2020 benar-benar menjadi pusat perhatian dunia saat ini, termasuk di 
Indonesia. Pasalnya, siapa Presiden AS selanjutnya disebut sangat memengaruhi 
perekonomian global dalam empat tahun ke depan. Dengan ambisi ekonomi Presiden 
Jokowi, khususnya seteleh meneken UU Ciptaker, mungkinkah kemenangan Donald 
Trump sangat dibutuhkan?

--------------------------------------------------------------------------------

PinterPolitik.com

Bagi mereka yang mengikuti diskursus kekinian politik internasional, tentu 
sangat mengenal nama Donald Trump dan Joe Biden. Bagaimana tidak? Keduanya 
adalah kandidat utama dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020. 

Bukannya melebih-lebihkan, siapa yang menjadi Presiden AS memang menjadi 
penentu atas laju perekonomian dunia ke depannya. Saat ini, dunia 
menanti-menanti, apakah Trump akan kembali memimpin, atau justru Biden 
menggeser posisi politisi Partai Republik tersebut.

Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia. Berbagai pengamat dan 
pelaku ekonomi, serta pemangku kebijakan juga tengah menanti. Pasalnya, Partai 
Demokrat dan Partai Republik yang berdiri di belakang Trump dan Biden memiliki 
ideologi ekonomi yang berbeda, sehingga menentukan kebijakan ekonomi yang 
nantinya diterapkan.


Dengan ambisi ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pertumbuhan ekonomi, 
mungkinkah kemenangan Trump adalah harapan yang ideal? Hal tersebut, misalnya, 
diungkapkan oleh ekonom senior Faisal Basri baru-baru ini.



Ideologi Ekonomi yang Berbeda
Tidak seperti partai politik (parpol) di Indonesia, parpol di AS memiliki 
perbedaan dan pemetaan ideologi yang begitu jelas. Ini pula yang membuat publik 
mudah menentukan pilihan kandidat karena terdapat rujukan jelas terkait 
bagaimana gambaran kebijakan yang diambil kandidat terpilih nantinya.

Kimberly Amadeo dalam tulisannya Democrats or Republicans: Which Is Better for 
the Economy? menyebutkan bahwa Partai Demokrat yang mendukung Biden mengarahkan 
kebijakan ekonomi untuk membantu kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. 
Selain untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, kebijakan tersebut juga 
dipercaya sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.. 

Ini bertolak dari temuan bahwa kelompok berpenghasilan rendah lebih cenderung 
menghabiskan uang ekstra untuk kebutuhan sehari-hari daripada menabung atau 
berinvestasi. Dengan demikian, ini secara langsung meningkatkan permintaan dan 
memacu pertumbuhan ekonomi.

Dalam tulisannya Why Trickle-Down Economics Works in Theory But Not in Fact, 
Amadeo menyebutkan bahwa kesimpulan semacam itu bertolak dari evaluasi mazhab 
trickle-down economics atau trickle-down effect yang terbukti tidak efektif 
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.  

Trickle-down effect sendiri adalah mazhab ekonomi yang berasumsi bahwa untuk 
mendorong pertumbuhan ekonomi maka kebijakan ekonomi harus diarahkan kepada 
pengusaha atau industri besar. 

Lalu, Amadeo juga menyebutkan bahwa Partai Demokrat mendukung teori ekonomi 
Keynesian. Teori tersebut meyakini bahwa pemerintah harus meningkatkan 
permintaan (demand) atau keinginan dan kemampuan konsumen untuk membeli barang 
atau jasa karena dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.


Kontras dengan Partai Demokrat, Partai Republik yang mendukung Trump bertolak 
dari teori supply-side economics, khususnya yang menguntungkan pebisnis dan 
investor. Teori ini menyatakan bahwa pemotongan pajak pada bisnis memungkinkan 
mereka memperkerjakan lebih banyak pekerja, yang pada gilirannya meningkatkan 
permintaan dan pertumbuhan. Asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi didapatkan 
melalui peningkatan produksi.

Berbeda dengan Partai Demokrat yang menganjurkan intervensi negara dalam 
aktivitas ekonomi, Partai Republik mendorong usaha mengejar kemakmuran tanpa 
adanya campur tangan pemerintah. Menurut mereka, itu dicapai dengan 
meningkatkan kompetensi individual atau mendorong kompetisi.

Teori supply-side economics yang dianut Partai Republik jelas merupakan mazhab 
trickle-down economics. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang 
dikeluarkan Trump, seperti pemotongan pajak bagi pengusaha.



Jokowinomics
Untuk memudahkan kerja sama ekonomi, ataupun kerja sama lainnya, satu faktor 
yang harus ada adalah kesamaan persepsi atas bagaimana tujuan dapat dicapai. 
Tentu kita paham, setiap kerja sama ekonomi memiliki tujuan yang sama, yakni 
meraih keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, perselisihan kerap kali 
terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang cara mencapai tujuan tersebut.

Selaku negara adidaya yang begitu memengaruhi ekonomi global, pemimpin-pemimpin 
dunia tentunya harus menyamakan persepsi atau setidaknya beradaptasi dengan 
kebijakan ekonomi Presiden AS yang tengah berkuasa. Di konteks tersebut, 
Presiden Jokowi tampaknya cukup diuntungkan karena terlihat menerapkan 
kebijakan ekonomi yang sejalan dengan Trump.

Sejak periode pertama kepemimpinannya, publik dengan jelas melihat mantan Wali 
Kota Solo tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur. Masalahnya, 
infrastruktur yang dibangun, seperti jalan tol dan jembatan, justru adalah 
infrastruktur yang mendukung kelas menengah, seperti pemilik mobil. 

Asep Suryahadi dan Ridho Al Izzati dalam tulisannya Middle Class the Winners of 
Economic Growth Under Jokowi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan 
pembangunan ekonomi di bawah Presiden Jokowi justru hanya menguntungkan kelas 
menengah saja, dan tidak mampu dinikmati oleh lapisan terbawah dari masyarakat 
alias kelompok miskin.

Simpulan itu mungkin saja dibantah dengan gelontoran dana desa yang dikeluarkan 
pemerintahan Jokowi. Akan tetapi, 70 persen dari dana tersebut justru 
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur desa.

James Guild dalam tulisannya Jokowinomics Gambles with Indonesia’s 
Democratisation menyebutkan bahwa ambisi Presiden Jokowi untuk memompa anggaran 
ke proyek infrastruktur dan mendapatkan modal swasta, baik asing maupun 
domestik, karena percaya itu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7 
persen. Menurut Guild, di periode kedua ini, proyek infrastruktur akan 
dilanjutkan, dan bahkan ditingkatkan intensitasnya.


Dari berbagai kebijakan ekonomi yang ada, seperti pembangunan infrastruktur, 
pemberian tax amnesty atau pengampunan pajak, hingga usaha untuk menarik 
investor sebesar-besarnya melalui Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU 
Ciptaker), terlihat jelas Presiden Jokowi bertolak dari mazhab trickle-down 
economics yang notabene sejalan dengan Partai Republik.

Dengan kata lain, tampaknya dapat disimpulkan bahwa baik Trump dan Presiden 
Jokowi, sama-sama menganut mazhab ekonomi yang sama. Tentunya, ini memudahkan 
kerja sama karena adanya kesamaan terkait persepsi atas cara mencapai 
pertumbuhan ekonomi.



Butuh Kemenangan Trump?
Selain faktor kesamaan mazhab ekonomi, menurut Faisal Basri, Presiden AS yang 
berasal dari Partai Republik memang lebih memudahkan dalam melakukan kerja sama 
ekonomi. Menurutnya, Partai Demokrat kerap memberikan banyak syarat dalam hal 
kerja sama dengan negara sahabat. Sebaliknya, Partai Republik cenderung 
melakukan usaha untuk ikut menstabilkan ekonomi negara sahabatnya. 

Ekonom dari Institute for Development of Economics (Indef) ini juga menyebutkan 
kebijakan-kebijakan ekonomi Trump nantinya justru dapat memperkuat Rupiah. 
Berbeda dengan Partai Demokrat yang menahan dan menurunkan defisit, ataupun 
menaikkan pajak demi menjaga ekonomi dalam negeri, Partai Republik justru 
mengeluarkan kebijakan cetak uang yang dapat membuat nilai Dolar AS turun, 
sekaligus menguatkan Rupiah. 

Selain itu, kita juga melihat terdapat sinyal-sinyal kerja sama ekonomi yang 
baik yang ditunjukkan Trump akhir-akhir ini. Karena konflik Perang Dagang 
dengan Tiongkok, pabrik-pabrik AS di negeri Tirai Bambu dikabarkan akan 
direlokasi di Indonesia. Ini tentu adalah informasi yang sangat baik. 

Lalu, berbeda dengan Biden yang terlihat lebih merangkul Tiongkok, Trump 
sepertinya lebih bisa diandalkan untuk mengimbangi intervensi Xi Jinping di 
Laut China Selatan (LCS). Tidak bertepuk sebelah tangan, manuver yang dilakukan 
AS juga terlihat berusaha mendekati Indonesia agar tidak dipengaruhi lebih jauh 
oleh Tiongkok.

Itu misalnya terlihat dari diundangnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo 
Subianto ke Pentagon, kunjungan Menteri Luas Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo ke 
Nahdlatul Ulama (NU), hingga memberikan pembebasan bea masuk melalui skema 
Generalized System of Preferences (GSP).

Akan tetapi, sebagaimana tulisan ini adalah interpretasi, ada pula pengamat 
yang menilai kemenangan Biden justru yang lebih menguntungkan bagi Indonesia 
secara ekonomi. Menurut mereka, politisi Partai Demokrat tersebut dipercaya 
akan membawa kestabilan dan menurunkan ketidakpastian pasar yang terjadi di 
bawah kepemimpinan Trump.

Pada akhirnya, di luar berbagai interpretasi yang ada, saat ini kita hanya 
dapat menunggu siapa pemenang Pilpres AS. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. 
(R53) 

Reply via email to