Fw: [GELORA45] Konflik Laut China Selatan dan Belanja Alutsista Kita

2020-11-04 Terurut Topik 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]


From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Thursday, November 5, 2020 1:36 AM
To: GELORA45@yahoogroups.com ; Sahala Silalahi 
  


-- 
j.gedearka 

https://news.detik.com/kolom/d-5241385/konflik-laut-china-selatan-dan-belanja-alutsista-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list

Kolom

Konflik Laut China Selatan dan Belanja Alutsista Kita

Bogi Periklas - detikNews

Rabu, 04 Nov 2020 16:18 WIB


Ilustrasi peta-peta di Laut China Selatan. (Hobe/Holger Behr/Wikimedia Commons)
Jakarta -

Pada beberapa hari terakhir ini, banyak beredar berita mengenai kunjungan 
Menhan Prabowo Subianto ke beberapa negara. Salah satu agenda penting yang 
selalu dibahas di setiap negara adalah potensi pembelian alat utama sistem 
pertahanan (alutsista). Sekilas agenda tersebut terlihat biasa saja. Namun, 
jika kita kaitkan dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, maka 
kunjungan Menhan menjadi punya arti tersendiri.

Sejak menjabat sebagai Menhan di Kabinet Indonesia Maju pada 2019 yang lalu, 
Prabowo terlihat memiliki ambisi yang sangat kuat untuk memajukan alutsista 
angkatan bersenjata kita. Berbagai alutsista baru maupun bekas pakai terlihat 
diusahakan untuk didatangkan olehnya. Kebijakan ini terlihat memperoleh 
dukungan yang cukup kuat dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini 
terlihat dengan besarnya anggaran yang diperoleh Kemenhan pada 2020 ini sebesar 
sekitar Rp 127 triliun.

Angka tersebut naik sekitar 17% dari APBN 2019. Dari total anggaran tersebut, 
terdapat porsi sekitar Rp 10,86 triliun yang akan dipakai untuk melakukan 
modernisasi alutsista ketiga matra. Matra darat akan memperoleh Rp 4,59 
triliun, matra laut sebesar Rp 4,16 triliun, dan matra udara akan memperoleh Rp 
2,11 triliun.

Semua anggaran itu masih akan ditambah dengan rencana Kemenhan untuk mengajukan 
pinjaman luar negeri sebesar Rp 20 miliar dolar AS. Proposal pinjaman luar 
negeri ini sudah diajukan ke Bappenas sejak pertengahan Juli lalu. Rencananya 
pinjaman ini akan digunakan untuk membiayai pembelian alutsista ketiga matra 
dari luar negeri selama periode 2020-2024.

Terdapat beberapa alutsista penting yang masuk ke dalam wishlist Kemenhan. 
Beberapa di antaranya mempunyai harga yang cukup fantastis, bahkan untuk ukuran 
anggaran negara-negara maju. F-16 Block 72 Viper tampaknya berada pada urutan 
teratas dari daftar pesawat tempur yang ingin didatangkan oleh Kemenhan.

Selain karena faktor sudah cukup banyaknya populasi pesawat F-16 di Indonesia, 
pesawat tersebut juga sudah ditawarkan oleh Amerika sejak lama. Pesawat tempur 
dengan biaya per unit sekitar Rp 70 juta dolar itu merupakan salah satu pesawat 
paling populer di dunia.

Selain F-16, terdapat juga pesawat F-35 yang juga ditaksir oleh Indonesia. Hal 
ini diungkapkan langsung oleh Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono. 
Menurutnya, pemilihan pesawat ini adalah akibat dari sulitnya realisasi 
pembelian Sukhoi SU-35 dari Rusia.

Hanya saja dibutuhkan lobi yang sangat kuat jika kita menginginkan pesawat itu. 
Sebab sampai saat ini, hanya sekutu terdekat Amerika saja yang diperbolehkan 
membeli pesawat yang harganya tidak kurang dari 80 juta dolar per unitnya 
tersebut.

Selain pesawat tempur, pemerintah juga sangat berkeinginan membeli beberapa 
alutsista laut. Misalnya, kapal selam Scorpene dan kapal perang korvet Gowind 
dari Prancis. Ini semua belum termasuk rencana pembelian alutsista bekas pakai 
yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu. Rencana pembelian 15 pesawat 
tempur Eurofighter Typhoon milik Austria dan 1 fregat Bremen Class dari Jerman 
merupakan bagian dari rencana ini.

Disesuaikan

Tentu semua pembelian alutsista haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan 
ancaman yang ada. Ancaman di sini bisa didefinisikan sebagai ancaman bersenjata 
yang bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan 
keselamatan segenap bangsa.

Berbicara masalah kedaulatan negara, tentu masalah yang mengemuka akhir-akhir 
ini adalah onflik di Laut China Selatan. Masalah ini dimulai dari banyaknya 
nelayan asal negeri Tiongkok yang memasuki area ZEE kita. Kemudian diikuti 
dengan semakin seringnya kapal coast guard negeri itu yang ikut masuk ke daerah 
tersebut. Hal ini tentu saja semakin memanaskan hubungan diplomatik antara 
kedua negara. Situasi yang memanas pada kawasan tersebut harus disikapi dengan 
kepala dingin.

Kita harus melihat secara lebih teliti, apakah ancaman tersebut betul-betul 
nyata atau hanya ilusi belaka. Kita harus melihat kembali, apakah kondisi 
tersebut cukup untuk suatu saat berpotensi menimbulkan perang terbuka? Sudah 
tepatkah jika kita secara besar-besaran meningkatkan anggaran militer kita 
karena alasan tersebut?

Sebetulnya terdapat beberapa alasan kuat yang membuat kemungkinan terjadinya 
perang menjadi sangat kecil, atau bahkan menjadi nihil.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama periode 2019, China 
mencatat realisasi investasi di Indonesia sebesar 4,7 miliar dolar AS. Nilai 
tersebut 

[GELORA45] Konflik Laut China Selatan dan Belanja Alutsista Kita

2020-11-04 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


-- 
j.gedearka 



https://news.detik.com/kolom/d-5241385/konflik-laut-china-selatan-dan-belanja-alutsista-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Konflik Laut China Selatan dan Belanja Alutsista Kita

Bogi Periklas - detikNews

Rabu, 04 Nov 2020 16:18 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Ilustrasi peta-peta di Laut China Selatan. (Hobe/Holger Behr/Wikimedia Commons)
Jakarta -

Pada beberapa hari terakhir ini, banyak beredar berita mengenai kunjungan 
Menhan Prabowo Subianto ke beberapa negara. Salah satu agenda penting yang 
selalu dibahas di setiap negara adalah potensi pembelian alat utama sistem 
pertahanan (alutsista). Sekilas agenda tersebut terlihat biasa saja. Namun, 
jika kita kaitkan dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, maka 
kunjungan Menhan menjadi punya arti tersendiri.

Sejak menjabat sebagai Menhan di Kabinet Indonesia Maju pada 2019 yang lalu, 
Prabowo terlihat memiliki ambisi yang sangat kuat untuk memajukan alutsista 
angkatan bersenjata kita. Berbagai alutsista baru maupun bekas pakai terlihat 
diusahakan untuk didatangkan olehnya. Kebijakan ini terlihat memperoleh 
dukungan yang cukup kuat dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini 
terlihat dengan besarnya anggaran yang diperoleh Kemenhan pada 2020 ini sebesar 
sekitar Rp 127 triliun.

Angka tersebut naik sekitar 17% dari APBN 2019. Dari total anggaran tersebut, 
terdapat porsi sekitar Rp 10,86 triliun yang akan dipakai untuk melakukan 
modernisasi alutsista ketiga matra. Matra darat akan memperoleh Rp 4,59 
triliun, matra laut sebesar Rp 4,16 triliun, dan matra udara akan memperoleh Rp 
2,11 triliun.

Semua anggaran itu masih akan ditambah dengan rencana Kemenhan untuk mengajukan 
pinjaman luar negeri sebesar Rp 20 miliar dolar AS. Proposal pinjaman luar 
negeri ini sudah diajukan ke Bappenas sejak pertengahan Juli lalu. Rencananya 
pinjaman ini akan digunakan untuk membiayai pembelian alutsista ketiga matra 
dari luar negeri selama periode 2020-2024.

Terdapat beberapa alutsista penting yang masuk ke dalam wishlist Kemenhan. 
Beberapa di antaranya mempunyai harga yang cukup fantastis, bahkan untuk ukuran 
anggaran negara-negara maju. F-16 Block 72 Viper tampaknya berada pada urutan 
teratas dari daftar pesawat tempur yang ingin didatangkan oleh Kemenhan.

Selain karena faktor sudah cukup banyaknya populasi pesawat F-16 di Indonesia, 
pesawat tersebut juga sudah ditawarkan oleh Amerika sejak lama. Pesawat tempur 
dengan biaya per unit sekitar Rp 70 juta dolar itu merupakan salah satu pesawat 
paling populer di dunia.

Selain F-16, terdapat juga pesawat F-35 yang juga ditaksir oleh Indonesia. Hal 
ini diungkapkan langsung oleh Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono. 
Menurutnya, pemilihan pesawat ini adalah akibat dari sulitnya realisasi 
pembelian Sukhoi SU-35 dari Rusia.

Hanya saja dibutuhkan lobi yang sangat kuat jika kita menginginkan pesawat itu. 
Sebab sampai saat ini, hanya sekutu terdekat Amerika saja yang diperbolehkan 
membeli pesawat yang harganya tidak kurang dari 80 juta dolar per unitnya 
tersebut.

Selain pesawat tempur, pemerintah juga sangat berkeinginan membeli beberapa 
alutsista laut. Misalnya, kapal selam Scorpene dan kapal perang korvet Gowind 
dari Prancis. Ini semua belum termasuk rencana pembelian alutsista bekas pakai 
yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu. Rencana pembelian 15 pesawat 
tempur Eurofighter Typhoon milik Austria dan 1 fregat Bremen Class dari Jerman 
merupakan bagian dari rencana ini.

Disesuaikan

Tentu semua pembelian alutsista haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan 
ancaman yang ada. Ancaman di sini bisa didefinisikan sebagai ancaman bersenjata 
yang bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan 
keselamatan segenap bangsa.

Berbicara masalah kedaulatan negara, tentu masalah yang mengemuka akhir-akhir 
ini adalah onflik di Laut China Selatan. Masalah ini dimulai dari banyaknya 
nelayan asal negeri Tiongkok yang memasuki area ZEE kita. Kemudian diikuti 
dengan semakin seringnya kapal coast guard negeri itu yang ikut masuk ke daerah 
tersebut. Hal ini tentu saja semakin memanaskan hubungan diplomatik antara 
kedua negara. Situasi yang memanas pada kawasan tersebut harus disikapi dengan 
kepala dingin.

Kita harus melihat secara lebih teliti, apakah ancaman tersebut betul-betul 
nyata atau hanya ilusi belaka. Kita harus melihat kembali, apakah kondisi 
tersebut cukup untuk suatu saat berpotensi menimbulkan perang terbuka? Sudah 
tepatkah jika kita secara besar-besaran meningkatkan anggaran militer kita 
karena alasan tersebut?

Sebetulnya terdapat beberapa alasan kuat yang membuat kemungkinan terjadinya 
perang menjadi sangat kecil, atau bahkan menjadi nihil.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama periode 2019, China 
mencatat realisasi investasi di Indonesia sebesar 4,7 miliar dolar AS. Nilai 
tersebut hanya kalah dari Singapura yang mencatat realisasi penanaman modal 
sebesar 6,5 miliar dolar AS.

Investasi