-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-5230318/menguji-dasar-sosiologis-uu-cipta-kerja?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Menguji Dasar Sosiologis UU Cipta Kerja

Umar Sholahudin - detikNews

Selasa, 27 Okt 2020 12:09 WIB
1 komentar
SHARE
URL telah disalin
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Indonesia Menggugat tutup 
Exit Tol Pasteur. Aksi itu digelar untuk menolak omnibus law UU Cipta Kerja.
Foto: Yudha Maulana
Jakarta -

Sebuah peraturan perundangan-undangan yang baik dan fungsional di masyarakat 
tidak hanya dituntut memiliki dasar pertimbangan filosofis dan yuridis yang 
kuat, tetapi juga pertimbangan sosiologis. Dalam perspektif sosiologis, perlu 
kita cermati dan kritisi bersama apakah UU Cipta Kerja yang menimbulkan 
kontroversi itu telah mempertimbangkan aspek sosiologis dan dinamika kekinian 
dan proyeksi ke depan yang memadai.

Pertimbangan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa UU Cipta Kerja memiliki 
dasar rasionalitas, validitas, dan visibilitas filosofis, yuridis, dan 
sosiologis yang paralel. Pertimbangan dan uji dasar sosiologis ini penting 
dilakukan untuk memastikan sebuah produk hukum akan dapat dapat diterima 
masyarakat dan diimplementasikan dengan efektif atau tidak, atau memiliki 
legitimasi sosial yang kuat di mata masyarakat.

Pertimbangan sosiologis penting untuk diajukan dan didialogkan karena; pertama, 
mengutip filosof Romawi, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), ubi ius ibi 
societas, di mana ada hukum di situ ada masyarakat, atau sering kita sebut 
sebagai law in society (hukum dalam masyarakat). Ini memberi makna bahwa hukum 
tak dapat dilepaskan dari konteks sosial-masyarakatnya. Rahim dari hukum adalah 
masyarakat.

Kedua, karena bagaimanapun undang-undang muara terakhirnya adalah masyarakat. 
Bagaimana sebuah produk hukum jika ketika dalam proses dan pengesahannya 
mendapat protes dan penolakan dari masyarakat. Dipastikan, undang-undang 
tersebut ketika diimplementasikan akan tetap bermasalah dan tidak akan efektif 
dijalankan.

Legitimasi

Saat ini UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober lalu masih terus 
mendapat protes dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum 
buruh. Aksi protes dan penolakan yang sangat keras dari berbagai elemen 
masyarakat dan meluas dari berbagai daerah menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja ini 
memiliki daya legitimasi sosial yang rendah.

Hipotesis sosialnya: semakin tinggi dan luas tingkat penolakan dari masyarakat 
atas sebuah undang-undang, semakin rendah tingkat legitimasi sosialnya. Secara 
sosiologis, legitimasi sosial ini setidaknya terkait dengan tiga hal, yakni 
social materiality assessment, proses dan prosedur pembahasan, serta substansi 
yang diatur.

Pertama, social materiality assessment, ini terkait dengan bagaimana pemerintah 
bersama DPR menggali, memilah, dan memilih bahan-bahan sosial yang bersumber 
dari aspirasi dan fakta-fakta sosial yang ada dan berkembang untuk dijadikan 
sebagai roll materiality hukum dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Dalam konteks 
ini, DPR dan pemerintah kurang menangkap suasana kebatinan dari aspirasi dan 
kepentingan masyarakat yang akan dikonversi dalam norma-norma hukum.

Ada disparitas yang lebar antara basis sosial hukum (baca: masyarakat) dan 
norma hukum itu sendiri. Karena itu, wajar jika masyarakat memprotes da 
menolak. Roll materiality yang digali dan diformulasikan dalam bahan hukum 
lebih mengedepankan kepentingan elite (kekuasaan dan pengusaha) daripada 
kepentingan rakyat.

Kedua, lemah dalam proses dan prosedur pembahasan. Dalam proses pembahasan RUU 
Cipta Kerja, masyarakat menilai DPR kurang terbuka, transparan, dan 
partisipatif. Hal ini ditandai dengan waktu pembahasan yang dilakukan dengan 
menggunakan sistem "kejar tayang" dan terlalu buru-buru; dilakukan dalam 
kondisi keprihatinan pandemi Covid-19, sehingga keterlibatan masyarakat dalam 
proses pembuatannya sangat terbatas dan berakibat pada banyak pasal-pasal dalam 
UU yang bermasalah dan dipermasalahkan publik.

Selain tu, aspirasi dan kepentingan masyarakat/buruh untuk diakomodasi dalam UU 
Cipta Kerja justru di ujung dikhianati. Para anggota dewan dan pemerintah lebih 
mendengar dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan elite politik atau 
pengusaha dari pada aspirasi dan kepentingan buruh. Karena itu, wajar jika 
publik menilai, UU Cipta Kerja ini cacat prosedur.

Ketiga, lemah dari substansi yang diatur. Banyak dari materi yang diatur dalam 
UU Cipta Kerja ini mengandung dan mengundang masalah dan dipermasalahkan 
publik. Beberapa di antaranya; pertama, masalah pesangon. Pasal 89 Omnibus Law 
Cipta Kerja mengubah Pasal 156 ayat 1 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), 
di mana uang pesangon memang ada, tetapi tidak ada standar minimal dan uang 
penghargaan masa kerja, serta uang pengganti ditiadakan.

Pasal 156 ayat 12 hanya mengatur standar maksimal pesangon. Jadi pengusaha 
bebas memberikan uang pesangon di bawah standar UU Cipta kerja. Kedua, masalah 
Upah Minimum Regional (UMR). Pasal 89 Omnibus Law Cipta kerja mengubah Pasal 88 
UUK. Dalam Pasal 88c hanya mempertahankan aturan soal UMR, tetapi UMP dan UMK 
dihapus; UMK menjadi tidak wajib karena di pasal itu ada frase "dapat". Padahal 
sebelumnya, bupati/wali kota memiliki wewenang memberi rekomendasi dalam 
penentuan upah minum mengingat pemda yang lebih tahu dan paham kondisi 
sosial-ekonomi daerahnya. Di UU Cipta kerja, bupati/wali kota tidak lagi punya 
wewenang itu.

Ketiga, UU Cipta Kerja ini menghapus Pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat 
pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Di UUK, PKWT bagi pekerja maksimal 
bisa sampai dua tahun dan boleh diperpanjang setahun. Di UU Cipta Kerja, PKWT 
dihapus. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan seseorang 
pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut menjadi pekerja 
kontrak seumur hidup atau sewaktu-waktu di PHK secara sepihak.

Keempat, masalah tenaga kerja Asing (TKA). Pasal 89 tentang perubahan Pasal 42 
ayat 1 UUK, TKA tidak bebas masuk; harus memenuhi syarat dan peraturan. UU 
Cipta Kerja membuka peluang TKA lebih mudah masuk ke Indonesia karena izin 
tertulis diganti dengan rencana penggunaan TKA (Pasal 42), tidak perlu ada 
penanggung (Pasal 43), dan syarat ketentuan jabatan dan kompetensi untuk TKA 
dihapus (Pasal 43). Dampaknya, TKA bebas mengisi posisi apapun, termasuk posisi 
paling rendah.

Pasal tersebut tentu saja akan berpotensi memberi "karpet merah" pada TKA, dan 
sebaliknya "karpet hitam" bagi tenaga kerja lokal. Artinya, ini akan banyak 
merugikan tenaga kerja kita di dalam negeri yang saat ini masih berlimpah. 
Masih banyak lagi pasal-pasal yang bermasalah dan dipermasalahkan publik, 
termasuk kaum buruh. Karena itu, wajar jika publik menilai, UU Cipta Kerja ini 
cacat secara substansi.

Signifikansi

Menurut sosiolog hukum Indonesia Soetandyo Wignyosoebroto (2013), salah satu 
indikator kuat sebuah hukum undang-undang (baca: hukum positif) memiliki 
legitiamsi sosial yang kuat, jika hukum undang-undang tersebut memiliki apa 
yang disebut the social significance of law. Artinya, hukum dan bekerjanya 
hukum harus memiliki signifikansi sosial yang tinggi dalam masyarakat.

Signifikansi sosial dari bekerjanya hukum adalah ketika hukum mewujud dalam 
bentuk keteraturan perilaku orang dalam suatu masyarakat. Hukum undang-undang 
yang berlaku formal (hukum positif) dan telah diberlakukan itu ditaati, 
dipatuhi, dan dijalankan menjadi perilaku warga masyarakat dalam kehidupan 
mereka sehari-hari. Semakin tinggi kepatuhan dan konformitas warga masyarakat 
terhadap hukum, maka semakin tinggi tingkat signifikansi sosialnya. 
(Wignyosoebroto, 2013).

Dalam konteks ini, proses pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU 
tidak atau kurang memiliki legitimasi sosial yang kuat. Karena sejak awal 
pembahasan sudah banyak diprotes dan mendapatkan penolakan dari masyarakat, 
baik dari sisi prosedur maupun substansi. Sebuah produk undang-undang yang 
dinilai cacat prosedur dan substansi, jika dipaksakan disahkan dan diberlakukan 
bukannya akan menjadi solusi (problem solving), tetapi justru akan menjadi 
sumber masalah baru (problem maker).

Artinya, jika tidak ada revisi atau perbaikan atas UU Cipta Kerja ini, dan 
kemudian dipaksakan diberlakukan, berpotensi tidak akan berjalan efektif, 
karena masih bermasalah dan dipermasalahkan masyarakat. Karena itu, secara 
sosiologis UU Cipta kerja ini memiliki the social significance of law yang 
rendah. Akibatnya, berpotensi akan banyak pelanggaran dan tidak efektif 
dijalankan. Untuk meredakan suasana, masih ada ruang dan waktu bagi DPR dan 
pemerintah untuk kembali duduk satu meja untuk merevisi pasal-pasal yang 
bermasalah dan dipermasalahkan publik.

Umar Sholahudin dosen Sosiologi Hukum FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 
mahasiswa S3 FISIP Universitas Airlangga

(mmu/mmu)






Reply via email to