-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5230609/mewaspadai-pasal-pendidikan-uu-cipta-kerja?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Mewaspadai Pasal Pendidikan UU Cipta Kerja

Rangga Asmara - detikNews

Selasa, 27 Okt 2020 14:47 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
YOGYAKARTA, INDONESIA - SEPTEMBER 28: Kharisma Anisa Putri (14), uses her broke 
screen smartphone for studying online using free wifi provided by the village 
as to help parents with financial difficulties, they pay 30,000 Indonesian 
Rupiah or around (USD 2) per month amid the Coronavirus pandemic on September 
28, 2020 in Yogyakarta, Indonesia. According to the Indonesian Ministry of 
Education and Culture data nearly 70 million children have been affected by 
school shutdowns which started in mid-March. Since it closed on March 16, the 
school has implemented various methods and approaches to support distance 
learning. Even so, its implementation in the field still faces various 
obstacles. The problem is limited support facilities, such as laptops, smart 
phones, and internet data packages. In addition, parents also claim to not have 
enough time and feel they lack the knowledge to accompany children to learn 
online. Indonesia is struggling to contain thousands of new daily cases of 
coronavirus amid easing of rules to allow economic activity to resume. (Photo 
by Ulet Ifansasti/Getty Images)
Foto ilustrasi: Ulet Ifansasti/Getty Images
Jakarta -

Upaya pemerintah meringkas berbagai peraturan untuk menumbuhkan iklim investasi 
usaha melalui skema Omnibus Law menambah daftar produk hukum kontroversial yang 
disahkan pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Meski begitu, Omnibus Law 
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja digadang-gadang mampu mempercepat transformasi 
ekonomi nasional di tengah pelemahan ekonomi global akibat pandemi.

Gelombang penolakan Omnibus Law ini sudah menyeruak ke publik sejak masih 
menjadi RUU. Bukan hanya kluster ketenagakerjaan yang ramai dipersoalkan, 
kluster pendidikan yang sebelumnya dikatakan dihapuskan juga menjadi polemik. 
Semua pasal kluster pendidikan memang akhirnya sama sekali tak tercantum di UU 
Cipta Kerja yang disahkan, namun di paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 
65 masih ada 1 pasal 2 ayat yang muncul.

Pasal itu berbunyi, "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat 
dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang 
ini," pada ayat (1), dan "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada 
sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan 
Pemerintah," pada ayat (2).

Jika menilik pada Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 nomor 4, yang dimaksud dengan 
perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk 
memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Sedangkan pada Pasal 1 
nomor 7, yang disebut pelaku usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha 
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.

Selanjutnya soal definisi badan usaha diatur di Pasal 1 nomor 9. Yang dimaksud 
badan usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan 
hukum yang didirikan di wilayah NKRI dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada 
bidang tertentu.

Substansi dari pasal tersebut arahnya memberikan jalan dan kesempatan pada 
korporasi untuk masuk ke sistem pendidikan Indonesia. Dengan adanya UU Cipta 
Kerja, unit usaha yang berinvestasi di Indonesia dapat memperlebar usahanya 
melalui sektor pendidikan. Pasal tersebut membuat pemerintah mudah mengeluarkan 
kebijakan perizinan usaha di bidang pendidikan.

Gagal Paham

Sejatinya, menyebut izin pendirian lembaga pendidikan dengan istilah perizinan 
berusaha pada sektor pendidikan itu sendiri akan membuat publik menjadi gagal 
paham, karena izin usaha meliputi semua aspek kegiatan ekonomi sebagaimana 
tertuang dalam Pasal 1 huruf d UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar 
Perusahaan. Di dalamnya jelas dinyatakan, usaha adalah setiap tindakan, 
perbuatan, atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh 
setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.

Tidak bisa dimungkiri, isi pasal pendidikan pada UU Cipta Kerja dapat memberi 
ruang kepada korporasi menjadi benar-benar pengelola komoditas pendidikan, 
dengan mengatur izin pendidikan sebagai izin usaha/bisnis profit bukan 
non-profit. Meskipun selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), 
namun PP adalah ranah otoritas kerja eksekutif, dibuat tanpa perlu persetujuan 
wakil rakyat dan lebih sulit dikontrol oleh publik.

Harus diakui, adanya perizinan berusaha dalam Pasal 65 akan menjadikan sektor 
pendidikan sebagai aktivitas ekonomi. Tren ekonomi abad ke-21, sektor jasa 
masih menjadi primadona. Dunia pendidikan adalah satu dari tiga sektor bisnis 
yang dianggap paling menjanjikan, selain teknologi informasi, dan wellness. 
Belum lagi Indonesia terikat pada komitmen internasional bahwa pendidikan masuk 
sektor jasa yang diakui oleh The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). 
Tidak aneh jika kluster pendidikan UU Cipta Kerja masih menyisakan satu pasal 
"perizinan berusaha" untuk mengakomodasi investasi yang bersifat komoditas jasa 
perdagangan.

Meski begitu, UUD 1945 dan UU Sisdiknas sebenarnya telah mengunci sektor ini 
dengan mematok "prinsip nirlaba". Begitu juga dinyatakan dalam UU No. 12/2012 
tentang Pendidikan Tinggi bahwa otonomi pengelolaan perguruan tinggi 
dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba, akuntabel, transparan, penjaminan 
mutu, efektif, dan efisien.

Tapi nyatanya pasal pendidikan pada UU Cipta Kerja masih memberi ruang sektor 
pendidikan diprivatisasi para investor. Meski pemerintah berdalih pemberlakuan 
izin usaha ini hanya akan berlaku di kawasan ekonomi khusus (KEK), tetap saja 
pada saatnya nanti diimplementasikan perlu mekanisme check and balance agar 
penyedia jasa pendidikan tidak hanya menjadi perusahaan layaknya lembaga kursus 
yang hanya mementingkan perputaran roda ekonomi.

Jalan Yudisial

Praksis pendidikan nasional seharusnya bersendikan pada agama dan kebudayaan, 
sebagaimana digariskan oleh Ki Hajar Dewantara hampir satu abad yang lalu. Oleh 
karena itu, konsep restorasi sistem pendidikan nasional harus dikembalikan pada 
akar budaya leluhur sebagai syarat dan juga tujuan membentuk kepribadian serta 
kemerdekaan pendidikan di Indonesia. Dengan begitu, nilai lokal akan dihargai 
internasional, bukan justru menjadi pasar semata.

Pada hakikatnya pendidikan adalah hak dasar yang dijamin dalam konstitusi kita. 
Masa depan bangsa ini tidak boleh dipertaruhkan hanya dengan segelintir pasal 
dalam UU Cipta Kerja. Kendali pembangunan sektor pendidikan di Indonesia harus 
dipandu oleh negara (state led-development), sebagaimana manifesto Nawacita 
bidang pendidikan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah seharusnya 
memproteksi sektor pendidikan dari ancaman privatisasi pendidikan yang 
mengedepankan kebebasan individu melalui mekanisme pasar (market 
driven-development) atau fundamentalisme pasar (neoliberalisme).

Perlu kerja sama banyak pihak utamanya akademisi dan praktisi terkait untuk 
bersama-sama menggalang kesepahaman soal substansi Omnibus Law yang 
bertentangan dengan konstitusi. Pasal-pasal kontroversial termasuk pasal 
pendidikan UU Cipta Kerja ini dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) asal 
didalilkan bertentangan dengan UUD 1945.

Sebagaimana satu dekade lalu, upaya mempertegas prinsip nirlaba dalam dunia 
pendidikan berbuah dengan pembatalan UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum 
Pendidikan (BHP) oleh MK. MK menilai UU BHP menjadikan pendidikan nasional 
diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari 
negara. Tugas pemerintah di bidang pendidikan akan dilaksanakan oleh Badan 
Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah 
(BHPPD). Padahal, UUD 1945 mengamanatkan tanggung jawab pendidikan nasional 
pada negara.

Kemenangan di masa lalu dapat menjadi model untuk menggugat pasal-pasal 
bermasalah UU Cipta Kerja. Jalan yudisial harus kembali ditempuh mengiringi 
aksi sosial. Tidak bisa gugatan dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa 
mendengar lebih banyak keluhan dari pihak-pihak terkait yang merasa dirugikan 
dengan UU sapu jagat ini. Kalau tidak, elemen civil society akan melakukan 
langkah yang sama kelirunya dengan DPR yang terburu-buru mengesahkan UU ini.

(mmu/mmu)





Kirim email ke