Boseke Minahaizi

Kamis 29 October 2020
Oleh : Dahlan Iskan

IA bukan seorang ilmuwan –dalam pengertian akademisi. Tapi buku yang ia
terbitkan ini bisa meruntuhkan teori lama yang sudah mengakar: dari mana
asal usul orang Minahasa.

Nama penulis buku itu: Weliam H Boseke. Asli Manado. Buku yang ia tulis
berjudul Leluhur Minahasa. Tebalnya 332 halaman.

Sebenarnya buku itu sudah diterbitkan tahun 2018 tapi saya baru tahu minggu
lalu. Seorang teman pengusaha mengirimkannya ke rumah saya.

Begitu membukanya, saya langsung ingin menamatkannya. Baru kali ini saya
membaca buku dimulai sejak dari kata pengantarnya. Yang panjangnya 21
halaman. Yang ditulis oleh seorang ahli etnomusikologi dari Universitas Sam
Ratulangi Manado: Prof Dr Perry Rumengan.


Biasanya saya membaca kata pengantar belakangan. Takut terpengaruh opini di
kata pengantar itu. Tapi kali ini saya sengaja mengubah kebiasaan itu. Itu
karena awalnya saya lebih percaya pada reputasi guru besar itu daripada
penulis buku ini.

Ternyata Prof Perry sendiri kaget dengan isi buku yang ia antarkan itu.
Bahkan Prof Perry menegaskan akan melakukan koreksi atas teorinya selama
ini.

Padahal Weliam Boseke bukan seorang akademisi. Penelitian yang ia lakukan
pun tidak didasarkan pada metode penelitian ilmiah. Prof Perry lebih
menggelari Boseke sebagai pengusaha yang gigih. Termasuk gigih dalam
menelusuri asal usul Minahasa itu.

Intinya: Boseke membuktikan bahwa asal usul orang Minahasa adalah dari
bangsa Han.

Boseke banyak sekali menelusuri asal usul kata-kata yang ada di Minahasa.
Ratulangi itu misalnya dari kata "rao tu lang yi"'. Kawilarang itu dari
''kai hui la ran''. Lasut itu dari "la shu de". Sumual dari ''shu mou ao
le''. Sumendap dari kata ''shu men dao pe''. Sumakut dari ''shu mou gu
de''. Lumintang dari ''lu mon tang''. Sarundayang dari ''sha ru en dao
yang''.

Nama apa pun yang sekarang ada di Manado ditemukan asal usulnya dalam
bahasa Han. Termasuk Supit, Sumual, dan banyak lagi. Saya agak kecewa
ketika tidak menemukan asal usul nama Samola –mentor yang paling
memengaruhi jalan hidup saya: Eric Samola.

Awal 1980-an, ketika pertama kali mendarat di Manado, saya membaca dari
balik jendela pesawat tulisan besar di atap bandara: Sitou Timou Tumou Tou.

Saya tidak pernah bertanya apa arti kalimat itu. Logika saya berjalan:
pasti itu semacam kalimat "Selamat Datang di Manado".

Saya menyesal pernah sombong seperti itu. Belakangan baru saya tahu: bahwa
itu bukan ucapan selamat datang. Itu adalah filsafat orang Minahasa yang
ditulis dalam bahasa Minahasa. Yang artinya: orang hidup itu harus
menghidupi orang hidup. Atau: manusia itu harus memanusiakan manusia.

Begitu dalam artinya. Saya pun kagum dengan filsafat tinggi orang Minahasa.

Dalam buku ini, Boseke menegaskan, Sitou Timou Tumou Tou itu adalah
filsafat yang hidup di zaman dinasti Han. Bandingkan bunyinya dengan
kalimat aslinya ini: Zi Tou Tu Mou Tu Mou Zi Tou. Yang artinya sama dengan
yang tadi itu.

Pun lambang Minahasa yang dulu ikut menghiasi wajah depan semua KTP di
sana. Di bagian bawah lambang itu tertulis motto: i yayat li santi.
Artinya: bergembiralah dan agungkan Tuhan.

Itu, menurut Boseke, juga sesanti dari dinasti Han. Terutama di masa
kemakmuran kekaisaran Han. Hanya saja kata ''Tuhan'' di situ aslinya
berarti ''Kaisar''. Yang di sana juga dianggap setengah Tuhan.

Di Minahasa kuburan disebut ''waruga". Kata aslinya berbunyi ''wa ru ge''.
Atau dalam huruf Mandarin ditulis 挖入格.

Kata itu sebenarnya berarti peti mati. Lalu bertransformasi menjadi kuburan..

Di buku itu juga ditulis bahwa hampir semua nama kampung lama di Minahasa
asalnya dari bahasa Han. Demikian juga nama-nama gunung. Termasuk
istilah-istilah sehari-hari di sana.

Boseke tergugah melakukan penelusuran (istilah saya untuk mengganti
penelitian) bermula dari kakeknya. Yang sangat dituakan di Minahasa. Dulu.
Setiap ada acara-acara adat ritual kakeknyalah yang diminta membaca mantra.

Tapi sang kakek sendiri tidak tahu arti dari mantra yang dilagukan itu.
"Itu bahasa Minahasa tua," ujar sang kakek setiap kali ditanya. "Rumit
sekali menjelaskan artinya," tambah sang kakek.

Setelah kakeknya meninggal tugas itu menjadi tanggung jawab pamannya. Tapi
sang paman juga tidak tahu arti dalam mantra itu. Tapi setiap kali
melagukannya selalu saja nadanya sendu. Sedih. Seperti meratap.

Boseke sendiri lantas kawin dengan orang Manado keturunan Tionghoa. Yang
masih punya nama dan marga Tionghoa. Dari istrinya itu Boseke akhirnya bisa
bahasa Mandarin.

Pengusaha biasanya selalu ingin tahu. Demikian juga Boseke. Ia ingin tahu
mengapa orang Manado berkulit kuning dan bermata sipit. Memang sudah ada
bisik-bisik bahwa orang Minahasa itu keturunan Tionghoa. Tapi dari buku
asal usul Minahasa tidak pernah menguraikan secara jelas bagaimana
hubungannya.

Bahkan selama ini dikembangkan legenda bahwa orang Minahasa itu berasal
dari keturunan seorang ibu yang kawin dengan anaknya sendiri --hanya mereka
berdua yang tertambat di Minahasa.

Maka dengan dana sendiri Boseke melakukan penelusuran sampai ke Tiongkok.
Khususnya ke Sichuan, salah satu pusat pemerintahan kekaisaran Han. Boseke
juga ke Korea, Jepang, dan Taiwan.

Saat di Sichuan itu Boseke menemukan mantra yang dulu dialunkan kakeknya.
Yang bunyi dan nadanya sangat mirip.

Ternyata itu adalah nyanyian sedih yang diratapkan bangsa Han setelah
kekaisaran itu runtuh. Mereka menginginkan kejayaan kembali bangsa Han.

Itulah semacam doa yang terus diratapkan siapa pun yang menginginkan
kejayaan kembali bangsa Han. Di mana pun mereka berada. Termasuk oleh
mereka yang sudah menyebar ke mana-mana --akibat perang yang tidak
habis-habisnya pasca kejayaan kekaisaran Han.

Kekaisaran Han adalah yang paling lama berkuasa di Tiongkok. Yakni selama
400 tahun. Sejak 250 tahun sebelum Masehi sampai 150 tahun setelah Masehi.

Buku ini juga menceritakan perang-perang antar negara Shu (Sichuan dan
sekitarnya), Wi (di utara sungai Huang He) dan Wu (Wuhan dan sekitarnya
sampai Guangdong dan Shanghai).

Pusat pemerintahan Han sendiri pindah-pindah. Awalnya di Chang An
(sekarang: Xi'an), Laoyang (kota Laoyang sekarang masuk provinsi Henan) dan
Chengdu (sekarang masih bernama Chengdu, ibu kota provinsi Sichuan).

Nama Minahasa pun ternyata terkait dengan sejarah banyaknya pengungsian
akibat perang ratusan tahun berikutnya. Terutama pengungsian terhadap
wanita dan anak-anak. Mereka dinaikkan kapal agar bisa menghilir di sungai
Changjiang (Yang Tze Kiang) yang sangat besar itu. Mereka pun menghilang ke
timur --termasuk lepas ke muara sungai menuju lautan bebas.

Asal kata Minahasa, tulis Boseke, dari bahasa Han: Min Na Hai Zi. Lalu
menjadi Minahasa. Artinya: orang-orang (rakyat) dan anak-anak sampai di
sini.

Kata ''mayesu'' di Minahasa berarti pulang. Tapi 'pulang' dalam pengertian
pengungsi itu adalah pulang ke negeri 'shu'. Mereka begitu rindu pulang
sampai-sampai mayesu sendiri berarti pulang.

Buku ini juga menarik karena Boseke menceritakan perang tiga negara --Shu,
Wi, Wu-- sehingga bagi pembaca yang malas mengikuti Samkok yang
berjilid-jilid bisa cepat tahu pokok persoalan. Termasuk peran Jenderal
Zhuge Liang, Jenderal Chao Chao, dan putri Xiao Mi.

Di Tiongkok kini ada taksi khusus mobil listrik dengan nama Chao Chao. Itu
untuk menggambarkan di mana pun Anda Chao Chao ada di situ. Waktu itu
Jenderal Chao Chao memang dikagumi karena di mana pun ada musuh ia ada di
situ.

Sedang kecantikan Xiao Mi kini juga menjadi merek handphone –meski xiao mi
sendiri artinya beras kecil-kecil, warna kuning, yang biasanya enak untuk
bubur.

Tentu saya ingin sekali bertemu Boseke. Masih begitu banyak pertanyaan yang
mengganjal.(Dahlan Iskan)

https://www.disway.id/r/1111/boseke-minahaizi#.X5njuduSAco

Kirim email ke