-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/read/detail/354727-omnibus-law-dalam-perspektif-desa



Rabu 21 Oktober 2020, 22:05 WIB 

Omnibus Law Dalam Perspektif Desa 

Marjono, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng | Opini 

  Omnibus Law Dalam Perspektif Desa Dok.pribadi Marjono DPR RI telah 
mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang (UU). 
Banyak reaksi timbul dari berbagai kalangan, utamanya kawan-kawan pekerja, 
sehingga terjadi demo di berbagai daerah yang intinya menolak UU ini. Satu 
pelajaran berharga dari peristiwa demo ini adalah kurangnya pemahaman para 
pendemo terhadap substansi UU tersebut. Bahkan ada yang tidak tahu sama sekali 
mereka berdemo tentang apa. Maka, edukasi secara komprehensif mengenai UU ini 
kepada masyarakat menjadi sangat penting. Penting dipahami bahwa omnibus law 
adalah suatu UU yang merangkum sejumlah UU untuk dipadukan dalam satu kerangka 
yang integratif. Semangat dari omnibus law ini adalah menyederhanakan regulasi 
yang tumpang tindih, panjang dan berbelit-belit. Karena selama ini, Indonesia 
dikenal dengan banyaknya UU yang bertabrakan, dan salah satu kendala investasi 
di Indonesia adalah tidak adanya kepastian hukum tersebut. Dalam omnibus law 
ini ada 79 UU yang diselaraskan dan diintegrasikan menjadi satu 'keranjang' 
omnibus law yang mencakup 11 klaster. Ada klaster penyederhanaan perizinan; 
persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan 
perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi 
pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek 
pemerintah; serta kawasan ekonomi. Salah satu klaster yang mendapat resistensi 
cukup banyak adalah klaster ketenagakerjaan. UU tersebut mengubah, menghapus 
atau menetapkan pengaturan baru, seperti UU 13 Tahun 2003 tentang 
Ketenagakerjaan, UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24 
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU 18 tahun 2017 
tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; serta mengubah 28 pasal yang ada 
di UU 13 Tahun 2003, menghapus 32 pasal yang ada di UU 13 Tahun 2003, serta 
menetapkan pengaturan baru dengan menyisipkan 7 pasal yang ada di UU 13 Tahun 
2003. Sesungguhnya UU Ciptaker hanya mengatur garis besar dan selebihnya diatur 
dalam peraturan pemerintah atau diatur dalam perjanjian kerja, peraturan 
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Banyak pihak yang khawatir hal-hal 
tersebut akan menyebabkan perlindungan pekerja menjadi rentan jika peraturan 
pemerintah tidak segera diterbitkan atau perusahaan tidak membuat perjanjian 
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, sehingga menimbulkan 
gelombang protes terkait kekhawatiran tersebut. Selain itu, pekerja merasakan 
UU 13 Tahun 2003 lebih rigid dan detail dalam mengatur ketenagakerjaan. Harus 
kita akui bahwa pengesahan UU Ciptaker ini tidak memuaskan semua pihak, ada 
sebagian yang merasa dirugikan. Maka, kita perlu duduk bersama. Pertama yang 
kita lakukan adalah disiminasi, sosialisasi secara mendalam untuk menyampaikan 
isi UU Ciptaker. Selanjutnya, segera diterbitkan PP sebagai peraturan 
pelaksana. Selain itu, mewajibkan seluruh perusahaan menyusun perjanjian kerja, 
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama serta memberikan sanksi 
tegas apabila tidak menyusun peraturan tersebut. Yang tidak kalah penting, kita 
harus memberikan ruang untuk menerima masukan hal-hal yang belum diatur dalam 
UU Ciptaker agar bisa masuk dalam peraturan pemerintah. Kita duduk, ketemu 
dengan pengusaha, buruh, kita ngobrol, mana yang kira-kira menjadi persoalan 
dan bagaimana kita melaksanakan itu, sehingga semua akan bisa mengerti. Jika 
kita cermati arahan Presiden Jokowi atas omnibus law UU Ciptaker (9/10), 
sekurangnya banyak membawa berkah bagi aras pedesaan. Pasal 109 UU Ciptaker 
membuka kesempatan bagi desa untuk membentuk perseroan terbatas perorangan yang 
bisa dilakukan oleh Bumdes dan UMK. Di sini tidak perlu lagi proses perizinan, 
pelaku UMKM cukup mendaftarkan saja, dan pemerintah akan memberikan insentif 
berupa keringanan biaya. Di luar itu, dalam pengurusan sertifikasi halal juga 
tak berbayar alias gratis. Ini semua menjadi berkah kasat mata maupun yang 
tersembunyi di balik UU Ciptaker, yakni peluang usaha di desa semakin luas. 
Produktif Selanjutnya, Pasal 117 UU Ciptaker secara eksplisit menyatakan bahwa 
badan usaha milik desa (Bumdes) adalah badan hukum yang didirikan oleh desa 
dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, 
mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau 
jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. 
Ditegaskan juga, desa dapat mendirikan Bumdes, yang harus dikelola dengan 
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bumdes dapat menjalankan usaha di 
bidang ekonomi dan atau pelayanan umum, serta dapat membentuk unit usaha 
berbadan hukum. Karena, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut Bumdes 
sebagai badan usaha, namun belum tegas tertulis sebagai badan hukum. Itu bagian 
yang membebani Bumdes selama ini hingga sulit menjalin kerja sama bisnis dengan 
pihak lain, serta sulit menjangkau modal perbankan. Akibatnya, berbagai 
kesempatan kerja sama, permodalan, hingga perluasan usaha Bumdes terkendala. 
Bumdes merupakan aset desa-desa di Indonesia yang akan berperan penting bagi 
pembangunan dan kemajuan desa. Bumdes sebagai media bagi desa untuk lebih 
produktif dalam memberdayakan potensinya, sehingga kebijakan pemerintah harus 
sejalan dan mendukung agar ruang berusaha semakin terbuka luas. Best Practice 
Bumdes, kita bisa belajar pada Bumdes Ponggok Klaten, Bumdes Pujon Kidul 
Malang. Di luar itu, dikutip dari laman kemendesa.go,id (12/10/2020) UU 
Ciptaker juga memberikan kemudahan, proteksi dan pemberdayaan kepada Bumdes. 
Koperasi, maupun UMKM dalam melakukan usaha dan mendatangkan kemudahan arus 
investasi ke pedesaan. Dengan demikian, tentu akan berimbas pada banyak 
terserapnya tenaga kerja di desa dan peningkatan pertumbuhan ekonomi desa, 
sekurangnya bagi penaikan pendapatan asli desa (PAD). Dengan terbukanya 
lapangan kerja dan usaha di desa, maka kemudian akan meredam gelombang 
urbanisasi yang secara regular menjadi persoalan baru bagi area kota-kota 
besar. Jika ada pihak yang tidak setuju dengan UU Ciptaker, bisa mengajukan 
permohonan agar DPR mereview UU tersebut. Bisa juga menempuh jalur hukum dengan 
mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cara-cara 
seperti ini jauh lebih elegan daripada demonstrasi yang anarkis dan menimbulkan 
chaos di mana-mana. Kita tahu, demonstrasi bagian dari demokrasi. Namun, ketika 
situasi menjadi tidak kondusif, beraktivitas pun menjadi tidak nyaman, investor 
pun enggan berinvestasi. Siapa yang rugi? Tentu kita semua. Oleh karena itu, 
perlu kita mengedepankan komunikasi untuk menemukan solusi, bukan aksi anarki 
yang membuat merugi. UU baru harapan baru. Semoga.

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/read/detail/354727-omnibus-law-dalam-perspektif-desa





Kirim email ke