-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/read/detail/360218-perempuan-dan-pembangunan



Kamis 12 November 2020, 03:05 WIB 

Perempuan dan Pembangunan 

Ratu Dian Hatifah Tenaga Ahli Ketua MPR RI Dewan Kehormatan DPP Kaukus 
Perempuan Politik Indonesia | Opini 

  Perempuan dan Pembangunan Dok. Pribadi KUALITAS pelibatan perempuan dalam 
pembangunan masih rendah sehingga entitas dengan jumlah setengah populasi ini 
masih tertinggal dalam berbagai hal. Sejumlah regulasi telah dibuat untuk 
memberi ruang gerak pada perempuan dalam pembangunan. Namun, implementasinya 
masih jauh panggang dari api. Diperlukan sejumlah langkah agar perempuan 
ditempatkan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar partisipan pasif. 
Marginalisasi perempuan dalam pembangunan Marginalisasi perempuan, menurut 
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, adalah suatu pro ses 
peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Ada 
sejumlah fakta yang mengindikasikan proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi 
perempuan. Misalnya, dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari 
nafkah tambahan. Maka, ketika mereka bekerja di sektor publik, sering kali 
dinilai dan dihargai rendah sehingga terjadi proses pemiskinan, dengan alasan 
jenis kelamin. Tidak mengherankan jika pekerjaan yang umum dilakukan perempuan, 
seperti sebagai guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, dan ART, 
dinilai sebagai pekerja rendah sehingga berpengaruh pada tingkat gaji atau upah 
yang diterima. Contoh lain, masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang 
rentan terhadap PHK karena tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat 
bekerja, dengan alasan sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan, dan 
alasan faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan 
menyusui. Dalam bidang pertanian, kita melihat terjadinya perubahan dari sistem 
pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern, dengan menggunakan 
mesinmesin traktor, juga tidak mempertimbangkan dampak terhadap buruh tani 
perempuan yang tersisih. Bahkan, dalam struktur bangunan parpol di Indonesia, 
perempuan masih ditempatkan dalam strata kedua setelah pemenuhan kepentingan 
maskulin. Relasi yang timpang, sering kali menyebabkan penguasaan panggung 
politik digunakan untuk memotong peluang perempuan dengan berbagai cara. Ada 
kalanya, tatanan politik dipertahankan dan digunakan untuk melanggengkan 
dominasi politik laki-laki. Bahkan, tidak jarang partisipasi perempuan masih 
dianggap ancaman. Kebijakan, arah, dan program pembangunan dijalankan 
berdasarkan keputusan strategis di lembaga politik dan peme - rintahan. Oleh 
karena itu, diperlukan ke terwakilan perempuan dalam jumlah memadai di 
posisi-pengambilan keputusan strategis, agar kebijakan, arah, dan program 
pembangunan tidak berimbas pada marginalisasi perempuan. Keterwakilan perempuan 
dalam jumlah memadai merupakan upaya mengimplementasikan nilai-nilai 
kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang 
pembangunan. Implementasi nilai kemitrasejajaran Salah satu strategi 
implementasi nilai kemitrasejajaran ialah bagaimana kaum perempuan tetap 
mengambil posisi di parpol. Sebagaimana diketahui, parpol di Indonesia 
menentukan arah dan kebijakan strategis negara, melalui berbagai keputusan 
politik di parlemen, maupun melalui penempatan kadernya di posisi puncak 
kementerian dan lembaga. Hadirnya perempuan di parpol, parlemen, dan maju dalam 
kompetisi kepala daerah, diharapkan menjadi corong kepen tingan penyelesaian 
problem perempuan dalam pembangunan, menghasilkan kebijakan yang menghadirkan 
perbaikan bagi bangsa dan negara. Bukankah ini sejalan dengan ungkapan populer 
yang menyebutkan, perempuan adalah tiang negara yang dapat memengaruhi baik 
buruknya kondisi sebuah negara? Oleh karena itu, perempuan sebagai tonggak 
pembangunan harus memberikan kontribusi di setiap sisi kehidupan, baik ekonomi, 
bisnis, maupun dalam politik, dengan memantaskan diri sebagai pemimpin. 
Aktualisasi perempuan da lam pembangunan ialah tantangan untuk membantah 
anggapan tidak layak atau tidak berhaknya perempuan menjadi pemimpin. Bagaimana 
dengan urusan rumah tangga yang kerap kali dianggap sebagai tanggung jawab 
perempuan? Jika perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan, sudah 
selayaknya laki-laki pun dapat berpartisipasi dalam urusan rumah tangga 
sehingga tugas domestik dan publik bukanlah sebuah hal baku yang tidak dapat 
dikompromikan. Belajar dari sejarah Ada banyak contoh perempuan sebagai 
pemimpin yang berhasil membangun negerinya. Kita bisa belajar dari Ratu Bilqis 
yang memerintah negeri Saba dan memiliki ‘arsyun ‘azhim (singgasana yang 
besar). Kemampuan kepemimpinan Ratu Bilqis dan membangun tanah Saba telah 
menjadikan negerinya makmur sejahtera, gemah ripah loh jinawi. Dalam 
terminologi Alquran disebutkan, sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafurun 
(negeri yang baik dan Rabb Yang Mahapengampun). Pada periode awal perkembangan 
Is - lam, beberapa sahabiyah dikenal pernah menjadi pemimpin pasar dan ikut ke 
me - dan perang. Dalam catatan sejarah, ti dak kurang 15 perempuan pernah 
mengua sai takhta di berbagai wilayah muslim. Sa - yangnya, mereka yang pernah 
berkuasa pada abad ke-13 sampai ke-17 itu menjadi pemimpin yang dilupakan 
(al-sulthanat al-munsiyat). Kita juga mengenal sejumlah ratu Nusantara, seperti 
Ratu Shima dari Kalingga Jateng, yang berkuasa pada abad VII sebelum kerajaan 
Mataram. Ratu Tribhuwana Tunggadewi dari kerajaan Majapahit, yang berkuasa di 
Jatim pada abad XIV. Tercatat ada empat ratu pernah memimpin kerajaan Aceh, 
yaitu Sultanah Taj al-Alim Suffiyah al-Din Syah (1641-1675), Sultanah Nur alam 
Nakkiyah al-Din Syah (1675- 1678), Sultanah Inayat Syah (1678-1688), dan 
Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Hadirnya perempuan dalam pembangunan, untuk 
memberikan kontribusi positif bagi negara, bangsa, dan peradaban. John Naisbitt 
mengatakan pada 2000-an sebagai dekade kepemimpinan perempuan harus dipersepsi 
tidak hanya dalam makna pemberdayaan, tetapi juga dalam makna pemampudayaan dan 
pencerahan. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam pembangunan bukan sekadar 
dorongan memiliki kekuasaan, melainkan juga bagaimana membuat kekuasaan itu 
memberi makna dalam menyejahterakan masyarakat dan memuliakan peradaban. Oleh 
karena itu, keterlibatan perempuan dalam politik, sesungguhnya bukan untuk 
menjatuhkan, atau merebut kekuasaan laki laki, apalagi menggeser lahan 
laki-laki, melainkan agar keberadaan perempuan sebagai makhluk sosial, sebagai 
mitra sejajar dalam kehidupan, mendapat tempat sebagaimana mestinya.  

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/360218-perempuan-dan-pembangunan





Kirim email ke