-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4934688/persoalan-pokok-aturan-mogok-kerja?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Persoalan Pokok Aturan Mogok Kerja

Sahid Hadi - detikNews
Rabu, 11 Mar 2020 16:17 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Ilustrasi PHK
Ilustrasi: Zaki Alfarabi/detikcom
Jakarta -
Langkah PT Alpen Food Industry (AFI) dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja 
(PHK) terhadap 620 buruhnya riuh di ruang publik. Berdasarkan keterangan 
perwakilan AFI, langkah ini ditempuh lantaran para buruh melakukan mogok kerja 
ilegal. Namun, pada sisi lain Juru Bicara Serikat Buruh pada perusahaan 
tersebut mengklaim bahwa mogok kerja sudah legal atau sah sesuai ketentuan 
perundang-undangan.

Tentu saja, pihak perusahaan dan buruh punya alasan dan tolok ukurnya 
masing-masing dalam membenarkan tindakannya. Oleh sebab itu, lepas dari 
dualitas klaim yang mengemuka, artikel ini tidak dituliskan dengan maksud 
mencari, apalagi menelaah, klaim yang paling benar. Artikel ini lebih 
dihadirkan untuk memberi sebuah tawaran alternatif guna menyelesaikan persoalan 
di atas.

Aturan yang Bermasalah

Perusahaan dalam relasinya dengan buruh menguasai secara absolut apa yang oleh 
Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron disebut sebagai "kapital sosial", 
yaitu ekonomi. Sebagaimana diamati Anthony Giddens dalam New Rules of 
Sociological Method (1976), kepemilikan atas kapital ini membuat kedudukan 
perusahaan menjadi dominan atas buruh, bahkan terlampau kuat.

Sebaliknya, para buruh menjadi pihak yang rentan dan umumnya kehilangan posisi 
tawar atas perusahaan. Dominasi perusahaan begini merupakan gejala yang buruk. 
Pasalnya, dominasi memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan. Dalam konteks 
relasi perusahaan dan buruh, ada amat banyak contoh-contoh penyalahgunaan 
dominasi ini di berbagai belahan dunia. Inilah salah satu sebab dihadirkannya 
mekanisme mogok kerja bagi para buruh.

Bila bekerjanya mogok kerja dijelaskan dengan pendekatan strukturasi dari 
Anthony Giddens, maka ia merupakan modalitas, sekaligus fasilitas sosial. Dalam 
fungsi ini, mogok kerja bekerja untuk mencegah dominasi perusahaan atas buruh. 
Itulah sebabnya, sebagaimana ditegaskan oleh International Labor Organization 
(ILO), mogok kerja bukanlah aksi sosial semata. Lebih dari itu, mogok kerja 
merupakan hak mendasar, sekaligus sarana prinsipil bagi buruh dalam membela 
kepentingan-kepentingan ekonomi dan sosialnya.

Lepas dari signifikansinya, sah atau tidaknya pelaksanaan mogok kerja ternyata 
menjadi persoalan pokok dalam kasus PHK AFI. Secara nasional, UU No.13/2003 
tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 137 sampai 145, dan Keputusan Menteri 
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.232/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang 
Tidak Sah telah mengatur tolok ukur keabsahan ini.

Berdasarkan paket peraturan tersebut, sah atau tidaknya mogok kerja bergantung 
pada gagalnya perundingan perusahaan dan buruh; kesepakatan penyelesaian 
perselisihan hubungan industrial tidak tercapai. Gagalnya perundingan, selain 
karena perusahaan tak mau melakukannya, juga terjadi akibat perundingan yang 
telah dilakukan rupanya mengalami jalan buntu (deadlocked) yang dinyatakan 
dalam risalah perundingan, baik oleh perusahaan maupun buruh.

Sekilas, tak ada yang keliru dengan ketentuan ini. Namun, inilah hulu 
persoalannya. Persoalan mendasar terletak pada penggunaan ketentuan prosedural 
dalam menata pelaksanaan mogok kerja. Ketentuan prosedural ini merujuk pada 
adanya keharusan para pihak untuk menyatakan dalam sebuah risalah tertulis, 
bahwa perundingan telah gagal lantaran deadlocked.

Dengan adanya prasyarat yang tidak hanya prosedural, namun juga formalistis dan 
maha-kaku ini, mogok kerja akan selalu dianggap tidak sah bila tidak ada 
pernyataan tertulis sebagaimana disebutkan tadi, walaupun perundingan telah 
dilakukan berkali-kali, bahkan berpuluh-puluh, beratus-ratus, hingga 
beribu-ribu kali. Ini tak ubahnya yang terjadi dalam kasus PHK AFI terhadap 
buruh-buruhnya.

Mogok kerja, padahal, merupakan wujud dari kebebasan berekspresi; sebuah 
kebebasan yang secara alamiah telah melekat pada diri setiap manusia. Sesuai 
dengan natur kebebasan berekspresi, keberadaan mogok kerja pada buruh pun sejak 
awal sudah sah, bahkan legitimate. Jadi, sah atau tidaknya mogok kerja pada 
dasarnya tidak tergantung sama sekali pada aturan hukum apapun, apalagi dalam 
negara demokratis tak ubahnya Indonesia. Artinya, ada logika keliru dalam 
aturan ini.

Logika keliru tersebut seolah-olah menunjukkan, negara masih terjebak dalam 
jaring-jaring wataknya yang administratif, kuno, dan bahkan ketinggalan zaman. 
Aturan-aturan yang ada seharusnya disusun semata-mata untuk menjamin secara 
optimal pelaksanaan mogok kerja yang damai dan tertib.

Sebagai perbandingan, keterjebakan negara pada pola prosedural-formalistis ini 
juga terjadi dalam sektor yang lain. Misalnya, dalam penataan ruang kebebasan 
beragama atau berkeyakinan melalui syarat-syarat kuantitatif dalam pendirian 
tempat ibadah. Bahkan, dampak yang satu ini telah menyebabkan banyak malapetaka 
sosial dalam bentuk intoleransi dan ancaman-ancaman terhadap kebebasan beragama 
atau berkeyakinan.

Sebuah Tawaran Alternatif

PHK yang dilakukan AFI di tengah mogok kerja para buruh menunjukkan timpangnya 
relasi kuasa antara perusahaan dan buruh. Mogok kerja sudah sepatutnya tidak 
hanya dipahami sebagai aksi sosial para buruh, namun juga sebagai sebuah 
respons terhadap ketidakadilan. Karenanya, negara harus bertindak melampaui 
(beyond) aturan-aturan yang telah dibuatnya.

Untuk itu, pertama, negara sepatutnya tampil sebagai aktor independen dalam 
proses perundingan ulang perusahaan dengan buruh. Dalam perundingan ini, negara 
harus sebisa mungkin memetakan nilai pembuka atau tawaran awal yang disampaikan 
para pihak (Aspiration Price) dan nilai atau tawaran terendah yang dapat 
diterima para pihak atas tuntutan-tuntutannya (Reservation Price).

Berdasarkan pemetaan ini, tentu sebuah ruang atau margin-margin yang 
memungkinkan terjadinya kesepakatan baru (zone of possible agreement) akan 
mewujud. Dari ruang ini, sebuah solusi yang saling memenangkan dan 
menguntungkan para pihak secara seimbang (win-win solution) pada umumnya dapat 
diperoleh.

Kedua, negara harus terbuka untuk mengevaluasi aturan terkait keabsahan mogok 
kerja. Ini dilakukan agar ketentuan tersebut tidak menjadi jari-jari hukum yang 
justru mencengkeram dan menghalangi kebebasan buruh dalam menuangkan 
ekspresinya. Evaluasi ini diorientasikan untuk menguatkan aturan-aturan yang 
menjamin damai dan tertibnya pelaksanaan mogok kerja, bukan malah menentukan 
sah atau tidaknya mogok kerja.

Memang, perselisihan perusahaan dan buruh bukan persoalan yang sederhana. Ia 
kompleks. Bila tidak segera diselesaikan dengan cara-cara yang tepat, maka akan 
muncul banyak ketidakadilan-ketidakadilan yang lain, bak efek domino. Oleh 
sebab itu, negara tak boleh mandek dan diam hanya karena telah memberi 
fasilitas kepastian berupa aturan-aturan. Negara sepatutnya hadir di sini.

Sahid Hadi peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia

(mmu/mmu)
phk
mogok kerja
buruh
alpen food industry


0 komentar




Kirim email ke