-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1971-pilkada-ganjil



Senin 26 Oktober 2020, 05:00 WIB 

Pilkada Ganjil 

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group | Editorial

   Pilkada Ganjil MI/Ebet Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group. 
JANGAN berharap jujur dan adil (jurdil) datang dengan sendirinya seperti hujan 
turun dari langit. Jurdil menyangkut pilkada memang harus diatur dengan tegas. 
Diatur saja sering ditiputipu, apalagi kalau tanpa diatur sama sekali. Pilkada 
menyangkut kontestasi sehingga jurdil itu tidak sekadar membutuhkan pengawasan, 
tapi juga pemantauan. Karena itu, pilkada membutuhkan dua lembaga sekaligus, 
yaitu lembaga pengawasan dan pemantauan. Dua lembaga itu ibarat dua sisi koin 
pilkada. Lembaga pengawasan dipegang Bawaslu. Ia ibarat wasit dalam sebuah 
pertandingan. Meski Bawaslu dengan segenap perangkatnya sampai tingkat paling 
bawah, tetap saja belum cukup. Karena itu, perundangan pun mengatur keberadaan 
pemantau pilkada. Kehadiran pemantau, baik dalam negeri maupun luar negeri, 
dianggap menambah bobot atau nilai pilkada itu sendiri. Tidak hanya pilkada, 
pemilu legislatif apalagi pilpres membutuhkan kehadiran lembaga pemantau. Meski 
pilkada dan pemilu hakikatnya sama, lembaga pemantau diatur berbeda. UU Pemilu 
menempatkan pemantau di bawah otoritas Bawaslu, sedangkan UU Pilkada 
menempatkan pemantau di bawah KPU. Karena itu, pemantau pemilu serentak 
legislatif dan presiden diakreditasi Bawaslu, pemantau pilkada diakreditasi 
KPU. Harus tegas dikatakan bahwa inisiatif warga membentuk lembaga pemantau 
patut diapresiasi karena hal itu memperlihatan antusiasme tinggi untuk mengawal 
legitimasi pilkada. Keberadaan pemantau menggenapkan dan ketiadaannya 
mengganjilkan pilkada. Apakah masyarakat sudah siap jika pilkada yang digelar 
pada 9 Desember tanpa lembaga pemantau? Terus terang, pilkada yang digelar di 
masa pandemi covid-19 mendatangkan sejumlah masalah bagi lembaga pemantau. 
Masalah terbesar ialah persoalan dana. Hampir semua lembaga donor memberi 
perhatian pada masalah covid-19, sedangkan pemantau pilkada diwajibkan memenuhi 
kebutuhan dana sendiri. Pemantauan pilkada wajib mematuhi protokol kesehatan 
seperti rapid test dan swab test bagi pemantau, penggunaan alat pelindung diri, 
pengecekan suhu tubuh, pakai masker, dan menjaga jarak. Pemantauan pilkada 
dengan mematuhi protokol kesehatan pasti membutuhkan dana yang besar, hal yang 
sangat istimewa bagi pemantau yang notabene ialah lembaga swadaya masyarakat. 
Kiranya negara mencarikan solusi agar pemantau tetap hadir dalam pilkada untuk 
menambah bobot demokrasi di tengah pandemi. Meskipun pilkada tanpa pemantau 
tetap sah adanya, keberadaan pemantau penting, sangat penting, dalam masyarakat 
yang belum sepenuhnya memercayai keadilan dan ketidakberpihakan penyelenggara 
pemilu. Nur Hidayat Sardini (2011) menyodorkan lima manfaat pemantau pemilu. 
Pertama, memberikan keabsahan terhadap proses pemilu. Kedua, meningkatkan rasa 
hormat dan kepercayaan terhadap HAM, khususnya hak sipil dan politik. Ketiga, 
meningkatkan kepercayaan terhadap proses pemilu. Keempat, membangun kepercayaan 
terhadap demokrasi, dan kelima, mendukung upaya penyelesaian konflik secara 
damai. Begitu pentingnya keberadaan pemantau sehingga terdapat tujuh pasal yang 
mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Mulai 
pasal 123 sampai pasal 130. Memang, dalam pasal 123 disebutkan pelaksanaan 
pemilihan dapat dipantau oleh pemantau pemilihan. Meski disebut ‘dapat’, 
pengaturan tentang lembaga pemantau sangat rinci. Misalnya, bersifat 
independen, mempunyai sumber dana yang jelas, dan terdaftar dan memperoleh 
akreditasi dari KPU provinsi atau KPU kabupaten/ kota sesuai dengan cakupan 
wilayah pemantauannya. Dari sisi perspektif HAM warga, kehadiran pemantau 
mutlak dibutuhkan demi keadilan pilkada. Ketika warga pergi ke bilik suara dan 
menetapkan pilihannya, ia tidak hanya memilih pemimpinnya, tetapi juga memilih 
arah pembangunan daerahnya. Eloknya, meski pilkada diselenggarakan di masa 
pandemi covid-19, sama seperti lembaga pengawas, pemantau juga difasilitasi 
kehadirannya oleh pemerintah daerah. Fasilitasi itu sesuai amanat Pasal 133A UU 
10/2016 bahwa pemerintahan daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan 
demokrasi di daerah, khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 
menggunakan hak pilih. Pemantau pilkada itu bagian tak terpisahkan dari 
partisipasi masyarakat yang mestinya difasilitasi pemerintah daerah. Fasilitasi 
yang diberikan pemerintah daerah, misalnya, seluruh kebutuhan terkait dengan 
protokol kesehatan untuk pemantau pilkada ditanggung pemerintah daerah. Terus 
terang, belumlah genap bila pilkada digelar tanpa kehadiran lembaga pemantau. 
Belum genap karena koin pilkada bersisikan pengawasan dan pemantauan. Tanpa 
salah satunya, pilkada itu terasa ganjil.

Sumber: https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1971-pilkada-ganjil






Kirim email ke