-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5222684/pilkada-dalam-pusaran-vuca?tag_from=wp_cb_kolom_list





Kolom

Pilkada dalam Pusaran "Vuca"

Ali Faisal - detikNews

Rabu, 21 Okt 2020 16:07 WIB
0 komentar
SHARE
URL telah disalin
Jakarta -

Belum lama ini, saya menjadi pembicara seminar nasional bertajuk "Menjawab 
Tantangan Vuca: Menjadi Pemimpin yang Agile dan Digital" yang diselenggarakan 
oleh HIMA Politeknik STIA - LAN Bandung, Jakarta, dan Makassar. Di forum ini, 
saya menyampaikan beberapa hal tentang Vuca yang kian nyata menjadi fakta 
sosial dalam berbagai aspek kehidupan.

Saya memantik pembicaraan dengan anekdot "kodok rebus yang abai dengan 
perubahan." Bukan untuk menyinggung siapapun, tapi agar kita mulai menyadari 
perubahan yang supercepat. Bahwa kita tak bisa lagi terlalu nyaman dalam posisi 
status quo, hanya bangga pada pencapaian masa lalu dengan kebesaran dan 
kelebihannya.

Padahal di luar terjadi percepatan yang dahsyat. Jika kita tidak beradaptasi 
dan segera menyadari perubahan, maka kita menjadi korban kesupercepatan 
perubahan itu. Sebagaimana "kodok yang terebus" karena tak sadar dan "terlena"; 
ia tidak aware gejala perubahan, dan terlambat ketika menyadari bahaya 
menimpanya.

Perubahan dan kemajuan teknologi adalah keniscayaan. Dan harus kita maknai 
sebagai urgensi transformasi bagi pos-pos pelayanan umum, sekaligus menjawab 
ekspektasi dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi. Tak terkecuali adaptasi 
baru dalam pelaksanaan Pilkada 2020.

Kondisi ini yang saya sebut sebagai Vuca. Istilah yang dikenalkan Warren Bennis 
dan Burt Nanus (seorang pakar bisnis dan kepemimpinan dari Amerika Serikat) 
pada dekade 90-an. Istilah yang mulanya dikenalkan dalam lingkungan militer. 
Istilah yang menggambarkan situasi medan tempur yang penuh keterbatasan, 
sehingga para tentara seperti berjalan dalam kebutaan. Bahkan, bisa 
mengakibatkan chaos dalam perang berkabut (fog war).

Vuca adalah akronim Volatility untuk merujuk kondisi lingkungan yang labil, 
berubah sangat cepat dalam skala besar, dan uncertainity untuk keadaan yang 
akan terjadi dan sulit diprediksi dengan akurat. Kemudian, complexity, untuk 
merujuk tantangan yang lebih rumit karena faktor yang saling terkait, dan 
ambiguity untuk merujuk ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.

Seperti perubahan akibat pandemi Covid-19 sekaligus percepatan teknologi dalam 
pelaksanaan pilkada yang puncaknya pada 20 Desember. Pandemi yang terjadi sejak 
Maret sangat sulit diprediksi, rumit, penuh ketidakjelasan, dan sulit 
diprediksi situasi dan kondisinya. Banyak fase perubahan yang supercepat dan 
tak terduga.

Suka tidak suka, kita dipaksa berpikir keras melakukan inovasi. Bahwa adaptasi 
atau kenormalan baru tidak mungkin disikapi dengan gaya lama. Apalagi dengan 
prosedur biasa, karena nyatanya kita berpilkada dalam suasana yang extra 
ordinary.

Terlebih, perubahan akibat mewabahnya Covid-19 yang luas, masif, dan mematikan 
menjadi tantangan baru. Bahkan, tak terpikirkan sebelumnya oleh siapapun, baik 
pembuat kebijakan, penyelenggara pilkada, para kandidat, aktor politik, dan 
seluruh rakyat. Kondisi unpredictable di tengah pelaksanaan pilkada sungguh 
suatu tantangan berat.

Situasi memang belum sepenuhnya membaik. Tapi kita semua sudah terjebak pada 
istilah dan gegap gempita new normal, ditandai dengan dibukanya mall dan pusat 
keramaian. Tak ketinggalan, pilkada yang juga memasuki fase new normal 
(adaptasi kebiasaan baru).

Pilihan Sulit

Sempat terjadi dialektika merespons kelanjutan pilkada. Sebagian pihak 
menginginkan ditunda, sebagian berharap dilanjutkan dengan disiplin protokol 
kesehatan. Masing-masing pihak mempunyai argumen yang rasional. Tapi, pada 
akhirnya secara hukum dan politik diambil pemerintah dan DPR dengan keputusan 
tetap melanjutkan pilkada.

Meski ada syarat dan pedoman tertentu, keputusan hukum dan politik yang telah 
ditetapkan tidak menyudahi suara dan dialektika pro dan kontra. Dalihnya, 
karena kondisi penularan pandemi yang terus bertambah. Termasuk menjangkit 
sebagian penyelenggara dan peserta pilkada.

Kita sebagai bangsa dihadapkan pada pilihan sulit. Namun, kita tak bisa memilih 
jalan mundur. Seperti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang 
berjalan maju secara bertahap. Gejalanya terasa dan terukur, sehingga kita 
memiliki waktu dan cara beradaptasi dan bermigrasi pada jalan perubahan 
tersebut.

Apalagi, pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam bentuk pilkada harus diakui terus 
mengalami kemajuan, kendati tak sedikit kelemahan dan kekurangannya. Tapi 
indikasi kemajuannya tak bisa juga kita nafikan. Bahkan, pilkada lebih terbuka 
dan demokratis. Kita sudah melaksanakan pilkada langsung, dari yang sebelum 
2005 menggunakan pemilihan melalui DPRD. Sistem yang dulu kita nilai mekanisme 
dan kandidatnya terbatas untuk diakses publik. Bahkan, terkesan sentralistis, 
elitis, dan kompromistis.

Maka dengan diputuskannya pilkada berlanjut, ikhtiar lebih untuk menyelamatkan 
jiwa manusia dan menyelamatkan demokrasi harus secara beriringan. Pelayanan 
umum dalam konteks pilkada pun harus melakukan adaptasi dengan 
lompatan-lompatan kemajuan. Perlu pula memberikan regulasi yang layak dan 
sepadan. Sarana dan prasarana sampai pendidikan yang diperlukan dan informasi 
yang memadai.

Selain itu juga menghadirkan pilihan-pilihan kandidasi terseleksi, kebebasan 
yang terlindungi, jaminan keamanan, perlakuan yang setara dan berkeadilan 
sebagai implementasi kedaulatan rakyat secara konstitusional dan demokratis.

Seperti diketahui, beberapa tahapan sempat dihentikan pada awal tahapan pilkada 
berdasarkan keputusan KPU. Lalu diperkuat seiring keluarnya Perppu Nomor 2 
Tahun 2020, dengan menyertakan nomenklatur kondisi baru bencana non alam, 
sebagai prasyarat pilkada lanjutan. Legalitas penundaan dan prosedur 
penghentian kembali. Kemudian Perppu ini pun menjadi lebih kuat setelah 
ditetapkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020.

Dalam situasi yang sulit inilah dibutuhkan kelincahan (agilitas) dalam berpikir 
dan bertindak yang sebangun dengan keadaan yang terjadi. Terutama para pemangku 
kepentingan dalam pelaksanaan pilkada. Mereka harus tampil berpengaruh sebagai 
role model, yang menjadi panutan terbaik penerapan adaptasi kebiasaan baru 
dengan disiplin dan konsisten. Juga harus mampu meyakinkan serta adaptif 
berbasis digital.

Saya yakin, pengaruh positif yang tumbuh dari semua tampilan role model ini, 
akan menumbuhkan kepercayaan publik. Bahkan menimbulkan keyakinan bahwa 
pelaksanaan Pilkada dengan beragam tahapannya, dapat diselenggarakan dengan 
pola-pola yang terukur dengan bobot mudharat yang dapat diperhitungkan.

Maka, penting mencari role model yang super agile dengan lima ciri-ciri 
sebagaimana dilansir dalam riset Korn Ferry (Sudirgo). Yakni, People Agility, 
mereka yang mampu kerja sama dengan siapapun; Change Agility, mereka yang mampu 
beradaptasi dengan perubahan seekstrem apapun; Result Agility, mereka yang 
mampu tetap berprestasi dan menghasilkan dalam kondisi apapun; Mental Agility, 
mereka yang mampu bertahan dalam tekanan mental apapun; dan Learning Agility, 
mereka yang mampu memahami dan mempelajari hal baru dengan cepat,

Super agile jiwanya seperti terselimuti rasa husnuzon, akan ada saja alasan 
positif bagi penganut optimistik. Perspektifnya diarahkan pada peluang dan 
jalan keluar. Satu contoh yang membalik ketakutan menjadi harapan, adalah Bob 
Johansen, dalam bukunya Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for 
an Uncertain World (2009). Vuca yang telah kita kenal dengan maknanya yang 
menakutkan, ia redefinisi menjadi Vuca penuh harapan.

Vuca yang dimaksud Bob Johansen adalah Vision-Understanding-Clarity-Agility. 
Yakni, vision, sesuatu yang hendak kita wujudkan di masa yang akan datang. Ini 
layak diperjuangkan dan dapat menjadi legacy. Understanding, sebagai sebuah 
pemahaman akan perubahan dan hal-hal yang perlu disiapkan untuk menghadapinya. 
Clarity atau kemampuan melihat masa depan dengan jelas dan yakin yang boleh 
jadi orang lain tidak mampu melihatnya. Terakhir, agility yakni kelincahan 
menghadapi perubahan, menghadapi tuntutan, perkembangan baru yang tiba-tiba 
muncul.

Nilai Kemanusiaan

Pilkada di tengah pusaran Vuca, pilihan bisa antagonis maupun protagonis. 
Pilihannya tentu saja ada pada kita semua. Yang pasti, semuanya dibutuhkan 
kesadaran dan tanggung jawab yang tanggung renteng, langkah kolektif kolegial 
untuk menyatukan langkah kebijakan yang tegas dan humanis dari pemangku 
kepentingan.

Selain juga, kesadaran utuh dari para kandidat dan aktor politik, bahwa pilkada 
bukan melulu soal perebutan kekuasaan, melainkan menegakkan nilai kemanusiaan. 
Tak terkecuali, usaha pemahaman yang terus menerus dan menanamkan kedisiplinan 
bagi masyarakat luas dengan jalan pendidikan politik dan pendidikan pemilih.

Tak mudah memang, karena libido dan hasrat kekuasaan kerap menjadi pemenang 
acap lebih menonjol dibandingkan melandasi akal budi. Hal yang artifisial pun 
terkadang mengalahkan yang substansial. Padahal urgensi pilkada itu untuk 
menyelamatkan manusia dengan berharap pada kebaikan yang tersistem.

Jika kita percaya pilkada untuk kemanusiaan, kita harus bersepakat, 
"Bagaimanapun suasananya," ucap Cicero, "Keselamatan rakyat adalah hukum 
tertinggi." Salus populi suprema lex esto. Dan kita mesti memilih pilkada dalam 
pusaran Vuca yang berarti vision - understanding - clarity - agility. Semoga!

Ali Faisal anggota Bawaslu Provinsi Banten

(mmu/mmu)
pilkada 2020
vuca






Kirim email ke