Re: [GM2020] Sekolah ternyata dirancang untuk menghasilkan orang gagal
jadi ingat buku karya ANDREAS HAREFA.. dengan materi yg bernuansa sama... "Jika ingin Sukses, JANGAN sekolah!" hehehehe Pada 24 Juni 2010 11:32, Sofyan Uli menulis: > > > Artikel menarik dari notes teman di facebook smoga bisa bermamfaat dan bisa > jadi bahan diskusi kita. > > *Sekolah ternyata dirancang untuk menghasilkan orang gagal* > > Judul di atas terkesan sangat provokatif, bukan? Saya sengaja membuka > tulisan ini dengan statement yang keras dan menggugat. Namun jangan salah > mengerti. Saya bukan tipe orang yang anti pendidikan formal. Saya sendiri > adalah seorang pendidik, lebih tepatnya Re-Educator, yang sangat concern > dengan kondisi pendidikan di tanah air. Apa yang saya tulis di bawah ini > merupakan kristalisasi hasil belajar saya atas pemikiran para pakar > pendidikan seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Drost, Everett Reimer, John > Holt, Alfie Kohn, Neil Postman, dan William Glasser, ditambah dengan > perenungan dan pengalaman pribadi. > > Proses pendidikan atau lebih tepatnya pembelajaran yang terjadi di sekolah > selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai > dengan cara belajar alamiah kita. Konsep "belajar" yang diterapkan telah > sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri. > > Kembali saya ulangi, masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita > adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua > sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, > yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva > lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak > yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang. > > Bulan lalu dalam dua kesempatan yang berbeda saya bertukar fikiran dengan > rekan saya berprofesi sebagai guru. Saat bertanya, "Bapak/Ibu, jika anda > punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, > anda sukses atau gagal?". mereka menjawab, "Gagal...". "Lho, koq gagal", > tanya saya. "Ya Mas Sigit , kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu > mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal", jawab mereka . > > Saya lalu mengejar dengan pertanyaan, "Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta > mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua > belum bisa (saya tidak menggunakan kata "tidak bisa") memasak nasi goreng > seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?". "Ya, kita akan > mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa", jawab mereka. "Sekarang, > kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil > atau gagal?", tanya saya lagi. "Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita > sangat berhasil Pak", jawab mereka. "Kalau begitu apa bedanya antara > mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, > misalnya matematika atau bahasa Inggris?", kejar saya lagi. Kali ini > semuanya diam dan tidak bisa berkomentar. > > Saya lalu menjelaskan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, > kalau menurut pendapat saya pribadi, tidak normal. Mendapat penjelasan ini > para peserta akhirnya bisa memahami apa yang saya sampaikan. Saat break saya > menemukan satu hal yang sangat menarik. Para rekan saya ini sadar bahwa apa > yang saya sampaikan itu memang benar dan memang seharusnya demikian cara > kita mendidik murid. Namun mereka terikat pada aturan main (baca: sistem > pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk > tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan. > > Saya lalu menceritakan keberhasilan kawan saya, Bpk Yudho yang mengajar > KARATE di satu SMA negri di balikpapan. Saat ujian, 80% dari murid di dojo > Pak Yudho naik 2 tingkat, sisanya naik 1 tingkat. Hal ini sangat mengejutkan > pihak pengurus dan pelatih lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? > Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal? Dan yang lebih ciamik lagi, > Tim penguji Bpk Yudho, tapi disusun oleh tim tersendiri. > > Tujuan kita mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang > diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya > anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang > digunakan di sekolah kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih > kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan "shocked" karena > ternyata, dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita > akan masuk kategori anak yang ?idiot?. Mengapa masuk kategori "idiot"? > Karena anak-anak kita "gagal" terus. Nilai mereka selalu Do ? Re ? Mi alias > 1 , 2, atau 3. > > Dalam hampir setiap kasus yang pernah saya temui, bila ada timbul masalah > belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita > melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem > pendidikan kita hingga masalah muncul. Anak yang dianggap bermasalah > biasanya akan diterapi melalui BK (bimbin
[GM2020] Sekolah ternyata dirancang untuk menghasilkan orang gagal
Artikel menarik dari notes teman di facebook smoga bisa bermamfaat dan bisa jadi bahan diskusi kita. Sekolah ternyata dirancang untuk menghasilkan orang gagal Judul di atas terkesan sangat provokatif, bukan? Saya sengaja membuka tulisan ini dengan statement yang keras dan menggugat. Namun jangan salah mengerti. Saya bukan tipe orang yang anti pendidikan formal. Saya sendiri adalah seorang pendidik, lebih tepatnya Re-Educator, yang sangat concern dengan kondisi pendidikan di tanah air. Apa yang saya tulis di bawah ini merupakan kristalisasi hasil belajar saya atas pemikiran para pakar pendidikan seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Drost, Everett Reimer, John Holt, Alfie Kohn, Neil Postman, dan William Glasser, ditambah dengan perenungan dan pengalaman pribadi. Proses pendidikan atau lebih tepatnya pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Konsep "belajar" yang diterapkan telah sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri. Kembali saya ulangi, masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang. Bulan lalu dalam dua kesempatan yang berbeda saya bertukar fikiran dengan rekan saya berprofesi sebagai guru. Saat bertanya, "Bapak/Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal?". mereka menjawab, "Gagal...". "Lho, koq gagal", tanya saya. "Ya Mas Sigit , kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal", jawab mereka . Saya lalu mengejar dengan pertanyaan, "Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (saya tidak menggunakan kata "tidak bisa") memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?". "Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa", jawab mereka. "Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?", tanya saya lagi. "Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak", jawab mereka. "Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa Inggris?", kejar saya lagi. Kali ini semuanya diam dan tidak bisa berkomentar. Saya lalu menjelaskan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau menurut pendapat saya pribadi, tidak normal. Mendapat penjelasan ini para peserta akhirnya bisa memahami apa yang saya sampaikan. Saat break saya menemukan satu hal yang sangat menarik. Para rekan saya ini sadar bahwa apa yang saya sampaikan itu memang benar dan memang seharusnya demikian cara kita mendidik murid. Namun mereka terikat pada aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan. Saya lalu menceritakan keberhasilan kawan saya, Bpk Yudho yang mengajar KARATE di satu SMA negri di balikpapan. Saat ujian, 80% dari murid di dojo Pak Yudho naik 2 tingkat, sisanya naik 1 tingkat. Hal ini sangat mengejutkan pihak pengurus dan pelatih lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal? Dan yang lebih ciamik lagi, Tim penguji Bpk Yudho, tapi disusun oleh tim tersendiri. Tujuan kita mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang digunakan di sekolah kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan "shocked" karena ternyata, dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita akan masuk kategori anak yang ?idiot?. Mengapa masuk kategori "idiot"? Karena anak-anak kita "gagal" terus. Nilai mereka selalu Do ? Re ? Mi alias 1 , 2, atau 3. Dalam hampir setiap kasus yang pernah saya temui, bila ada timbul masalah belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga masalah muncul. Anak yang dianggap bermasalah biasanya akan diterapi melalui BK (bimbingan konseling) dan kalau masih tidak bisa menjadi anak yang "baik" , anak ini dikeluarkan. Di sini terlihat bahwa sebenarnya anak tidak "Drop Out" tapi "Pushed Out". Lalu, apa sih sebenarnya ujian itu? Untuk kondisi saat ini, ujian adalah suatu cara untuk mengetah