Re: [GM2020] hilangnya sebuah generasi

2010-06-21 Terurut Topik funcotanipu

Dua hari sebelumnya, tulisan Arie M Pedju ttg Teknologi, SBY dan Obama.

Menarik dan inspiratif.



Powered by Telkomsel BlackBerry®

-Original Message-
From: Sofyan Uli 
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Mon, 21 Jun 2010 17:53:18 
To: 
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] hilangnya sebuah generasi

Hilangnya Sebuah Generasi
Sabtu, 19 Juni 2010 | 04:45 WIBOleh Alexander Supelli
Ary Mochtar Pedju (Kompas, 16/6/2010) mengontraskan pidato Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono di Puspiptek, Serpong (20/1/2010), dengan artikel seorang 
cendekiawan (Koran Tempo, 20/11/2009). Di satu sisi, kita dengar pentingnya 
penguasaan teknologi agar tidak terlindas derap sejarah yang terutama 
digerakkan teknologi. Di sisi lain, ada kegerahan akan ketergantungan Indonesia 
pada sumber daya manusia, teknologi, dan modal asing.
Kontras berubah menjadi ironi kalau kita tengok peristiwa 15 tahun lalu. Jutaan 
orang baik di dalam maupun di luar negeri hampir-hampir tidak percaya 
menyaksikan prototipe pesawat N250 mengudara. Itulah salah satu karya rancang 
bangun anak bangsa di tangga teknologi tinggi. Apa yang tersisa dari peristiwa 
10 Agustus 1995 mungkin hanya Keppres No 71 Tahun 1995 tentang Hari Kebangkitan 
Teknologi Nasional.
Sukses itu tidak lepas dari ”nasionalisme” yang mau menjadikan industri 
dirgantara simbol kemajuan bangsa. Namun, di belakang yang simbolik, tertanam 
jerih payah insinyur dan ahli teknik PT Industri Pesawat Terbang Nusantara 
serta ratusan ribu jam kerja dan modal yang tidak sedikit.
Cerai berai
Tanpa perlu masuk ke perdebatan ”IPTN era 90-an” sukses atau gagal, butir yang 
kadang lepas dari perdebatan adalah peran IPTN dalam membangun sumber daya 
manusia (SDM) setara SDM negara-negara maju, khususnya dalam bidang rancang 
bangun/teknologi pesawat komersial berpenumpang 19 sampai dengan 70 orang. 
Sesudah krisis ekonomi-politik 1997/1998, IPTN (kini PT Dirgantara 
Indonesia/PTDI) memangkas 80 persen jumlah karyawannya.
Ke mana perginya tenaga terdidik teknologi yang kalau mengutip SBY disebut 
intangible intellectual resources? Lebih dari 200 insinyur dan ahli teknik eks 
PTDI kini tersebar di pabrik-pabrik pesawat terbang dunia. Boeing (AS) 
mempekerjakan 30 orang, Bombardier (Kanada) merekrut 20 orang, EADS-AIRBUS 
Industries (Jerman, Inggris, dan Spanyol) 75 orang. Tahun 2000 s/d 2005 
tercatat hampir 100 orang bekerja di Embraer, Brasil, untuk program ERJ 
170/190. Tidak sedikit di Belanda, Belgia, Swiss, UAE, Riyadh, Turki, Malaysia, 
dan Singapura.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan diperkirakan mencapai 5 persen-6 persen 
per tahun. Pertanyaannya, untuk negara kepulauan sebesar Indonesia, jenis 
transportasi efisien apa yang dapat ikut memicu pembangunan daerah terpencil? 
Rute di bawah 500 kilometer efisien ditempuh menggunakan pesawat 
berbaling-baling. Untuk Indonesia, yang paling sesuai adalah pesawat 
berpenumpang 19 orang dengan daya kargo 2-3 ton dan daya jelajah 1.000–1.500 
kilometer. Perawatan pesawat jenis ini mudah dan murah. Harga beli dan biaya 
operasi langsungnya pun rendah.
Tidak mengherankan jika pesawat jenis inilah yang berdatangan ke pasar 
Indonesia. Polri membeli 10 Skytruck (Polandia). Sebuah perusahaan penerbangan 
swasta punya dua buah LET 42 (Czech). Belasan DHC-6 Twin-Otter (Kanada) dibeli 
untuk rute penerbangan perintis. China giat menawarkan Harbin Y-12, dan Merpati 
Nusantara menggunakan M60 (sejenis N250) buatan China untuk rute Indonesia 
Timur. TNI juga sedang mengkaji pembelian pesawat jenis itu.
Kini, PTDI serius mengkaji kelayakan Program N219. Alasannya adalah fakta di 
atas serta prakiraan bahwa dalam 15 tahun mendatang Indonesia butuh 250 pesawat 
jenis ini untuk mengganti pesawat-pesawat sekelas yang menua serta pertumbuhan 
armada. Dana program pengembangan N219 di bawah 200 juta dollar AS. Fase 
perancangan, pembuatan prototipe, uji coba, sertifikasi laik terbang, sampai 
akhirnya punya nilai komersial memerlukan waktu tiga tahun. Dengan perencanaan 
matang, analisis titik impas bisa tercapai pada penjualan unit ke-200.
Hidup bersama
Menyangkut produksi dalam negeri biasanya muncul pendapat bukankah lebih untung 
beli dari luar? Sikap itu kiranya perlu diimbangi pertanyaan seserius apa kita 
mau menjalankan alih teknologi, membangun SDM, dan memicu inovasi?
Dalam sistem ekonomi yang sepenuhnya mementingkan profit, waktu adalah taruhan. 
Meski menyiapkan SDM melibatkan skala panjang waktu, tidak berarti logika SDM 
tidak bisa diinjeksikan ke gairah mencari profit. Tentu ada konsekuensi. Profit 
jangka pendek menurun, demi produktivitas jangka panjang. Dengan kata lain, 
logika SDM menuntut agar ke dalam rancangan profit jangka pendek ditanamkan 
kebutuhan menciptakan ”rumah-rumah produksi”, apakah itu di bidang otomotif, 
pertahanan, kedirgantaraan, energi surya, peralatan medis, dan sebagainya. 
Brasil, Rusia, India, dan China mengambil pilihan ini.
Kita tahu sifat sumber daya pengetahuan berbeda

[GM2020] hilangnya sebuah generasi

2010-06-21 Terurut Topik Sofyan Uli
Hilangnya Sebuah Generasi
Sabtu, 19 Juni 2010 | 04:45 WIBOleh Alexander Supelli
Ary Mochtar Pedju (Kompas, 16/6/2010) mengontraskan pidato Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono di Puspiptek, Serpong (20/1/2010), dengan artikel seorang 
cendekiawan (Koran Tempo, 20/11/2009). Di satu sisi, kita dengar pentingnya 
penguasaan teknologi agar tidak terlindas derap sejarah yang terutama 
digerakkan teknologi. Di sisi lain, ada kegerahan akan ketergantungan Indonesia 
pada sumber daya manusia, teknologi, dan modal asing.
Kontras berubah menjadi ironi kalau kita tengok peristiwa 15 tahun lalu. Jutaan 
orang baik di dalam maupun di luar negeri hampir-hampir tidak percaya 
menyaksikan prototipe pesawat N250 mengudara. Itulah salah satu karya rancang 
bangun anak bangsa di tangga teknologi tinggi. Apa yang tersisa dari peristiwa 
10 Agustus 1995 mungkin hanya Keppres No 71 Tahun 1995 tentang Hari Kebangkitan 
Teknologi Nasional.
Sukses itu tidak lepas dari ”nasionalisme” yang mau menjadikan industri 
dirgantara simbol kemajuan bangsa. Namun, di belakang yang simbolik, tertanam 
jerih payah insinyur dan ahli teknik PT Industri Pesawat Terbang Nusantara 
serta ratusan ribu jam kerja dan modal yang tidak sedikit.
Cerai berai
Tanpa perlu masuk ke perdebatan ”IPTN era 90-an” sukses atau gagal, butir yang 
kadang lepas dari perdebatan adalah peran IPTN dalam membangun sumber daya 
manusia (SDM) setara SDM negara-negara maju, khususnya dalam bidang rancang 
bangun/teknologi pesawat komersial berpenumpang 19 sampai dengan 70 orang. 
Sesudah krisis ekonomi-politik 1997/1998, IPTN (kini PT Dirgantara 
Indonesia/PTDI) memangkas 80 persen jumlah karyawannya.
Ke mana perginya tenaga terdidik teknologi yang kalau mengutip SBY disebut 
intangible intellectual resources? Lebih dari 200 insinyur dan ahli teknik eks 
PTDI kini tersebar di pabrik-pabrik pesawat terbang dunia. Boeing (AS) 
mempekerjakan 30 orang, Bombardier (Kanada) merekrut 20 orang, EADS-AIRBUS 
Industries (Jerman, Inggris, dan Spanyol) 75 orang. Tahun 2000 s/d 2005 
tercatat hampir 100 orang bekerja di Embraer, Brasil, untuk program ERJ 
170/190. Tidak sedikit di Belanda, Belgia, Swiss, UAE, Riyadh, Turki, Malaysia, 
dan Singapura.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan diperkirakan mencapai 5 persen-6 persen 
per tahun. Pertanyaannya, untuk negara kepulauan sebesar Indonesia, jenis 
transportasi efisien apa yang dapat ikut memicu pembangunan daerah terpencil? 
Rute di bawah 500 kilometer efisien ditempuh menggunakan pesawat 
berbaling-baling. Untuk Indonesia, yang paling sesuai adalah pesawat 
berpenumpang 19 orang dengan daya kargo 2-3 ton dan daya jelajah 1.000–1.500 
kilometer. Perawatan pesawat jenis ini mudah dan murah. Harga beli dan biaya 
operasi langsungnya pun rendah.
Tidak mengherankan jika pesawat jenis inilah yang berdatangan ke pasar 
Indonesia. Polri membeli 10 Skytruck (Polandia). Sebuah perusahaan penerbangan 
swasta punya dua buah LET 42 (Czech). Belasan DHC-6 Twin-Otter (Kanada) dibeli 
untuk rute penerbangan perintis. China giat menawarkan Harbin Y-12, dan Merpati 
Nusantara menggunakan M60 (sejenis N250) buatan China untuk rute Indonesia 
Timur. TNI juga sedang mengkaji pembelian pesawat jenis itu.
Kini, PTDI serius mengkaji kelayakan Program N219. Alasannya adalah fakta di 
atas serta prakiraan bahwa dalam 15 tahun mendatang Indonesia butuh 250 pesawat 
jenis ini untuk mengganti pesawat-pesawat sekelas yang menua serta pertumbuhan 
armada. Dana program pengembangan N219 di bawah 200 juta dollar AS. Fase 
perancangan, pembuatan prototipe, uji coba, sertifikasi laik terbang, sampai 
akhirnya punya nilai komersial memerlukan waktu tiga tahun. Dengan perencanaan 
matang, analisis titik impas bisa tercapai pada penjualan unit ke-200.
Hidup bersama
Menyangkut produksi dalam negeri biasanya muncul pendapat bukankah lebih untung 
beli dari luar? Sikap itu kiranya perlu diimbangi pertanyaan seserius apa kita 
mau menjalankan alih teknologi, membangun SDM, dan memicu inovasi?
Dalam sistem ekonomi yang sepenuhnya mementingkan profit, waktu adalah taruhan. 
Meski menyiapkan SDM melibatkan skala panjang waktu, tidak berarti logika SDM 
tidak bisa diinjeksikan ke gairah mencari profit. Tentu ada konsekuensi. Profit 
jangka pendek menurun, demi produktivitas jangka panjang. Dengan kata lain, 
logika SDM menuntut agar ke dalam rancangan profit jangka pendek ditanamkan 
kebutuhan menciptakan ”rumah-rumah produksi”, apakah itu di bidang otomotif, 
pertahanan, kedirgantaraan, energi surya, peralatan medis, dan sebagainya. 
Brasil, Rusia, India, dan China mengambil pilihan ini.
Kita tahu sifat sumber daya pengetahuan berbeda dengan sumber daya tak 
terbarukan yang menipis dengan meningkatnya penggunaan. Tenaga terdidik 
teknologi yang tercerai berai di banyak negara adalah sumber daya yang semakin 
digunakan, semakin meningkat keunggulannya. Sepuluh tahun sesudah mereka 
meninggalkan Indonesia dan berkarya di pabrik-pabrik terkemuka luar negeri, 
kita mengelus dada me