Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi. Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei wrote: Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih, apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom). Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak, diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak, rambutnya siapa. Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme tertentu yang kami anggap salah letak. Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga kalau pun kita membangunkan kembali dinosaurus, mimpinya masih
Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --
Bagi Palinologist pertanyaan mendasar seperti yg Pak Awang tanyakan adalah wajar. Apalagi kalau tujuannya untuk aplikasi sekedar mencari fasies atau lingkungan pengendapan. Itulah sebabnya dari awal saya menyebutkan bahwa riset-riset DNA pada fosil masih hanya meramaikan dunia riset dan juga memberikan ide pada film fiksi ilmiah termasuk bermimpi. :) Namun tentunya ada hal-hal lain yg terselip dalam penelitian DNA pada fosil2 ini: -Higher resolution tool. Dalam beberapa hal mungkin analoginya akan seperti penggunaan FMI/OBMI dibandingkan dengan identifikasi lithology dengan menggunakan dip meter atau gamma ray, seolah-olah FMI/OBMI hanyalah higher resolution tool. Demikian juga dengan identifikasi DNA, dapat memiliki arti high resolution detection diantra fosil2 tsb. Namun ketika gamma-ray log dan dip-meter saja sudah dianggap cukup, untuk apa melakukan akuisisi data OBMI akan muncul sebagai pertanyaan aplikasi (bukan riset tentunya). Tujuan riset bisa sangat nggrambyang atau samar-samar saja, dan lebih spekulatip ketimbang exploration wild cat. Sama halnya dengan identifikasi species, barangkali dengan identifikasi DNA akan diketahui lebih detil lagi, misalnya sub speciesnya atau ... apapunlah. Seolah tidak hanya tahu speciesnya tetapi juga tahu diama rumahnya atau ekstrimnya kita bahkan akan tahu siapa namanya :) - New identification tool (Forensic science tool) Namun tentunya ada beberapa hal yg bisa dilakukan dengan mengetahui DNA diantara fosil-fosil ini tentunya. DNA akhirnya bukan hanya alat deteksi taksonomi saja, seperti yg dilakukan oleh paleontologist. Identifikasi DNA tentunya bisa lebih banyak dipakai untuk mempelajari fosil untuk tujuan forensic science tool. Misalnya mengapa dia punah, mengisi mising-mising taxa dalam taxonomy, dll. (Implications of ancient DNA for phylogenetic studies. DeSalle R Experientia 1994 Jun 15;50(6):543-50 American Museum of Natural History, New York, New York 10024.) Dalam evolusi tentunya Pak Awang juga mengerti bahwa teori evolusi yg dibangun awalnya hanya dari bentuk nya saja (morphology). Dan kita ketahuui bahwa dari morfologi ini saja sering urutan evolusi menjadi kurang tepat. Sehingga diperlukan pendekatan genotype-nya salah satunya tentu akan lebihbagus kalau diketahui DNA sequencenya. Memang betul dalam DNA sequence yang kalau dituliskan ATCG-nya akan suangat panjang. Dan dengan car-cara terterntu microbiologist ini mampu memotong dimanakah Rantai ATCG dalam DNA ini yg memiliki arti. Bahkan setahu saya dalam rantai chromosom ini dimana adanya DNA ini lebih banyak sampahnya ketimbang berliannya. Sehingga memotong dan memilih sequence DNA yg tepat sangatlah perlu. Namun perkembangan komputasi akan sangat-sangat membantu dalam menganalisa ribuan bahkan jutaan parameter. Seperti yg Pak Awang tuliskan ada ribuan taxa yg dikenal saat ini, tapi saya yakin perkembangan komputasi saat ini akan memudahkan hal itu. Mnurut saya perlunya mengurai sequence DNA memang masih jauuh ... mungkin saat ini hanya untuk riset. Akan sangat jauh bagi kita yg ada di industri aplikatif. Seperti yang ada pada link saya sampaikan sebelumnya tentang riset DNA on fossil. salam, RDP On 2/8/06, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote: Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis,
Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta
Teman2, Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA. Wassalam, Yahdi Zaim Prodi Teknik Geologi KK Geologi dan Paleontologi FIKTM - ITB - Original Message - From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi. Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup. salam, awang Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote: Dear Trina, Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ? Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil, tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual, belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ? Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip mahal (100-200 ribu rups ini harga utk kebutuhan klinis looh (Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam negeri yg mungkin lebih ekonomis. Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah. Thx RDP On 2/8/06, Trina Tallei wrote: Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi Linneaus itu berdasarkan
[iagi-net-l] Course Field Workshop: Fluvial-Deltaic Sedimentology of Malawa Clastics South Sulawesi_Clossing Date
Dear Course Field Workshop Participant Candidates This is a reminder that the registration of course and field workshop Fluvial-Deltaic Sedimentology of Mallawa Clastics, South Sulawesi which plan to be held in South Sulawesi on February 20-23, 2006. supervised by Dr. Ir. Andang Bachtiar MSc. Will be clossed : Wednesday, February 15th, 2006 We suggest to register as soon as possible before the clossing date (few seat are still available) Best Regards, GDA Consultant Course Committee Dear Explorationist, Considering so many enthusiastic response from previous participants of the course in 2001 - 2005 we will organize the Course and Field Workshop : Fluvial-Deltaic Sedimentology of Malawa Clastics South Sulawesi on February, 20-23, 2006 Attached to this mail, we include the complete information about the course. Please have a look, and thanks for your attention. For whom interested in this course, please do not hesitate to contact us via this address, phone fax if there is any further question(s). Best regards, GDA Consultant COURSE COMMITTEE COURSE TITLE Fluvial-Deltaic Sedimentology Of Mallawa Clastics South Sulawesi DATE February 20-23' 2006 WHO SHOULD ATTEND? exploration geologists, development/production geologist, geophysicist, reservoir engineers, log analyst, petrophysicist coal geologist. COURSE VENUE Mallawa, Soppeng, Bulu Dua, Gattareng, Padang Lampe, Doi-doi, Siloro, South Sulawesi. REGISTRATION FEE - US$ 1.200,- /Person (include: hotel, lunches, course material, transportation, without airfare) OBJECTIVE COURSE Hydrodynamics, Sedimentary Structure, Biogenic Structure, Log Character, Sequence Stratigraphy, and Experience Outcrop/Core Description guidelines. THE INSTRUCTOR IS Dr. Ir. Andang Bachtiar, MSc. 23-year working experience in oil gas exploration in Indonesia Basins (Kutai, South Sumatra, Central Sumatra, and East Java basins) has documented many examples of the said sedimentology and application in exploration, which he will intensively share with you. COURSE GENERAL INFORMATION - Language : Bahasa Indonesia English - Text Guidebook : English - Duration : 4 (Four) days, 5 (five) night - Quota participants are : 10-20 persons - Participant fee should has been paid 4 (four) days before implementation. For registration please reply this email, phone or fax more information please contact : GDA COURSE COMMITTEE Rizkyani / Johnson / Endra Jl. Tebet Timur Dalam IV No.24 Jakarta 12820 Indonesia Phone : 021. 829 2539, 08158911144, 081586434394, 0817843733 Fax : 021. 829 2539 E-mail: [EMAIL PROTECTED] / [EMAIL PROTECTED], Website: www.gda.co.id - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
[iagi-net-l] Mud Mound
Barusan baca report lama ada target yang disebut mudmounds sepertinya sempat disinggung waktu diskusi tentang madura. mungkin ada yang bersedia menjelaskan apa yang dimaksud dengan mudmounds...? bagaimana genesanya dan mengapa sering dijadikan target padahal kalau istilah mud mounds bukannya berarti banyak mudnya yang menyebabkan porositinya kecil..? Regards Kartiko-Samodro Telp : 3852 This e-mail (including any attached documents) is intended only for the recipient(s) named above. It may contain confidential or legally privileged information and should not be copied or disclosed to, or otherwise used by, any other person. If you are not a named recipient, please contact the sender and delete the e-mail from your system. - To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) -
[iagi-net-l] Professor of Palaeontology and Stratigraphy
FIY: Anybody interested in more detail about how DNA could contribute in Palaeontology and Stratigraphy is adviced to contact the person below. http://unit.cug.edu.cn/dxy/grzy/lxl/index2.html Lai Xulong, male, born in 1964. Professor of Palaeontology and Stratigraphy. BSc (China University of Geosciences-CUG) 1984, Ph.D (CUG) 1991. He is currently member of the leading group of Conodont Association of China. One of the editors of four monographs: ' The Triassic of Qinling Mountains and Nieghbouring Areas' (Press of CUG) 1992; ' Sedimentation and Evolution of Qinling Phanerzoic Basin' (Geological Publishing House)1994; ' Late Permian to Triassic Ecostratigraphy of Yangtze Plate and Adajecent Area' ( Science Press )1995; ' Tectonic Physical Chemistry and Metallogenesis' (Geological Publishing House)1999. His research interests are in conodonts and mass extinction during the Permian - Triassic transitional period, Triassic biostratigraphy and basinal evolution in Qinling orogenic belt, Northwest China. Since 1997, he has been involving the research of ancient DNA -an exciting and challenging field. kind regards, widya Original Message Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta From:Yahdi Zaim [EMAIL PROTECTED] Date:Thu, February 9, 2006 7:20 am To: iagi-net@iagi.or.id [EMAIL PROTECTED] -- Teman2, Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal tersebut ya sah-sah saja. Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA. Wassalam, Yahdi Zaim Prodi Teknik Geologi KK Geologi dan Paleontologi FIKTM - ITB - Original Message - From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED] Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA pun. Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka. Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya,