Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-08 Terurut Topik Awang Satyana
Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui 
zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan 
lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu. 
   
  Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa 
hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan 
puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat 
ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai 
sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis yang 
sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di sekuen DNA 
pun. 
   
  Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. 
Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada 
komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 
kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar 
nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen 
itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak memahami 
bahasa mereka.
   
  Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak info 
yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa 
melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil 
polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi 
spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa menguraikan 
kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita mengetahui seluruh 
aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana 
hidupnya, perkawinan2 yang pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, 
yah memang mengurai sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu 
tak bisa diperoleh dari sekedar deskripsi.
   
  Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di 
biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu 
spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak 
informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari puluhan 
ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup.
   
  salam,
  awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil,
tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual,
belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh
(Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya
ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam
negeri yg mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang
basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei wrote:
 Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik
 (berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa
 meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi
 Linneaus itu berdasarkan morfometri dan penampakan
 fenotipe, sedangkan karakter seperti itu sangat bias
 dan memerlukan orang-orang yang sangat terlatih,
 apalagi untuk membedakan spesies-spesies kriptik (yang
 sulit dibedakan secara morfologi). Akan tetapi dengan
 sekuens DNA, semuanya serba pasti karena unit terkecil
 pembangun makhluk hidup adalah DNA (pastinya beda
 kalau bicara soal nanomolecular, ngomongin atom-atom).
 Nah yang kami lakukan adalah menempatkan kembali
 posisi living organisms dalam letak yang sesungguhnya
 dalam evolusinya. Mengenai apakah kita bisa mastikan
 apakah yang kita ekstrak dari fosil itu adalah ancient
 DNA atau bukan kontaminan, mestinya ditemani oleh
 metode pembanding lainnya, misalnya dengan peluruhan
 karbon radioaktif dari DNA yang diisolasi, kalau
 sampelnya cukup. Dengan teknik PCR, dengan sampel yang
 sangat sangat sedikit pun, DNA bisa diperbanyak,
 diamplifikasi. Sebagai contoh, dari segi forensik, di
 mana sampel yang ada misalnya hanya ada satu rambut
 suspect (harus ada akar rambutnya), kita bisa melacak,
 rambutnya siapa.

 Dalam membuat pohon filogenetik kita masih merujuk ke
 klasifikasi konvensional, karena dari situlah kita
 beranjak, dan kemudian meluruskan posisi organisme
 tertentu yang kami anggap salah letak.

 Mengenai DNA yang diambil dari fosil (barangkali
 masing-masing bidang ilmu memiliki masing-masing
 penjelasan mengenai apa itu fosil) tentunya bukan DNA
 utuh karena pastinya sudah terfragmetasi, sehingga
 kalau pun kita membangunkan kembali dinosaurus,
 mimpinya masih 

Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil --

2006-02-08 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Bagi Palinologist pertanyaan mendasar seperti yg Pak Awang tanyakan
adalah wajar. Apalagi kalau tujuannya untuk aplikasi sekedar mencari
fasies atau lingkungan pengendapan. Itulah sebabnya dari awal saya
menyebutkan bahwa riset-riset DNA pada fosil masih hanya meramaikan
dunia riset dan juga memberikan ide pada film fiksi ilmiah termasuk
bermimpi. :)

Namun tentunya ada hal-hal lain yg terselip dalam penelitian DNA pada
fosil2 ini:

-Higher resolution tool.

Dalam beberapa hal mungkin analoginya akan seperti penggunaan FMI/OBMI
dibandingkan dengan identifikasi lithology dengan menggunakan dip
meter atau gamma ray, seolah-olah FMI/OBMI hanyalah higher resolution
tool. Demikian juga dengan identifikasi DNA, dapat memiliki arti high
resolution detection diantra fosil2 tsb.
Namun ketika gamma-ray log dan dip-meter saja sudah dianggap cukup,
untuk apa melakukan akuisisi data OBMI akan muncul sebagai pertanyaan
aplikasi (bukan riset tentunya). Tujuan riset bisa sangat nggrambyang
atau samar-samar saja, dan lebih spekulatip ketimbang exploration wild
cat.

Sama halnya dengan identifikasi species, barangkali dengan
identifikasi DNA akan diketahui lebih detil lagi, misalnya sub
speciesnya atau ... apapunlah. Seolah tidak hanya tahu speciesnya
tetapi juga tahu diama rumahnya atau ekstrimnya kita bahkan akan tahu
siapa namanya  :)

- New identification tool (Forensic science tool)

Namun tentunya ada beberapa hal yg bisa dilakukan dengan mengetahui
DNA diantara fosil-fosil ini tentunya. DNA akhirnya bukan hanya alat
deteksi taksonomi saja, seperti yg dilakukan oleh paleontologist.
Identifikasi DNA tentunya bisa lebih banyak dipakai untuk mempelajari
fosil untuk tujuan forensic science tool. Misalnya mengapa dia punah,
mengisi mising-mising taxa dalam taxonomy, dll. (Implications of
ancient DNA for phylogenetic studies.  DeSalle R Experientia 1994 Jun
15;50(6):543-50 American Museum of Natural History, New York, New York
10024.)

Dalam evolusi tentunya Pak Awang juga mengerti bahwa teori evolusi yg
dibangun awalnya hanya dari bentuk nya saja (morphology). Dan kita
ketahuui bahwa dari morfologi ini saja sering urutan evolusi menjadi
kurang tepat. Sehingga diperlukan pendekatan genotype-nya salah
satunya tentu akan lebihbagus kalau diketahui DNA sequencenya.

Memang betul dalam DNA sequence yang kalau dituliskan ATCG-nya akan
suangat panjang. Dan dengan car-cara terterntu microbiologist ini
mampu memotong dimanakah Rantai ATCG dalam DNA ini yg memiliki arti.
Bahkan setahu saya dalam rantai chromosom ini dimana adanya DNA ini
lebih banyak sampahnya ketimbang berliannya. Sehingga memotong dan
memilih sequence DNA yg tepat sangatlah perlu.

Namun perkembangan komputasi akan sangat-sangat membantu dalam
menganalisa ribuan bahkan jutaan parameter. Seperti yg Pak Awang
tuliskan ada ribuan taxa yg dikenal saat ini, tapi saya yakin
perkembangan komputasi saat ini akan memudahkan hal itu.

Mnurut saya perlunya mengurai sequence DNA memang masih jauuh ...
mungkin saat ini hanya untuk riset. Akan sangat jauh bagi kita yg ada
di industri aplikatif. Seperti yang ada pada link saya sampaikan
sebelumnya tentang riset DNA on fossil.

salam,
RDP

On 2/8/06, Awang Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
 ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar diketahui 
 zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran stratigrafi dan 
 lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu.

   Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa 
 hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, dan 
 puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa sangat 
 ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu mengurai 
 sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain identifikasi jenis 
 yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik yang terkunci di 
 sekuen DNA pun.

   Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang menakjubkan. 
 Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, sitosin, guanin) pada 
 komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang jumlahnya luar biasa. 23 
 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya bisa berisi sekitar 3 miliar 
 nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi molekuler, miliaran kode sekuen 
 itu hanya mirip celotehan-celotehan yang riuh rendah karena kita tak 
 memahami bahasa mereka.

   Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak 
 info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia tanpa 
 melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi fosil 
 polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya identifikasi 
 spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun belum bisa 
 menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. Perlukah kita 
 mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia meridionalis, 

Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] Biostratigraphi di shelf atau delta

2006-02-08 Terurut Topik Yahdi Zaim

Teman2,

Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang analisis DNA untuk fosil 
polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut ilmu pengetahuan hal 
tersebut ya sah-sah saja.
Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut saja paleo-DNA untuk 
fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari fosil Bovidae (kelompok 
kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah dari Formasi Kabuh, 
Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara megaskopis sangat sedikit 
mengalami ubahan ataupun proses mineralisasi, karena untuk analisis DNA yang 
diperlukan salah satunya yang penting adalah kandungan/unsur zat organiknya, 
berupa protein. Analisis saya lakukan di Laboratorium DNA Prodi (dulu 
namanya Departemen) Biologi ITB, yang alatnya cukup canggih, hasil kerjasama 
dengan pihak Jepang, kalau tidak salah dari University of Nagoya. Sayang 
tidak berhasil, karena ternyata yang namanya fosil, semua unsur organiknya 
sangat2 sedikit bahkan dapat dikatakan sudah hilang akibat proses 
ubahan/mineralisasi dan impurities yang terjadi selama proses fosilisasi. 
Jadi ya sayang sekali, karena tadinya saya berharap bisa melacak garis 
keturunan fosil yang saya analisis tersebut melalui paleo-DNA.


Wassalam,

Yahdi Zaim
Prodi Teknik Geologi
KK Geologi dan Paleontologi
FIKTM - ITB


- Original Message - 
From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]

To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re: [iagi-net-l] 
Biostratigraphi di shelf atau delta



Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu spesies pollen atau foram 
?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui spesiesnya agar 
diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk membantu penafsiran 
stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang mengandung polen itu.


 Kalau sang palinologist sudah tahu itu Florschuetzia trilobata yang biasa 
hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang biasa hidup di 25-10 Ma, 
dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia untuk Recent taxa 
sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck, 1977), apakah perlu 
mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau diambil selain 
identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa mengurai kode2 genetik 
yang terkunci di sekuen DNA pun.


 Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat informasi yang 
menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG (adenin, timin, 
sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat variasi sekuen yang 
jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma atau telur misalnya 
bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi, semaju sekarang pun biologi 
molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya mirip celotehan-celotehan yang 
riuh rendah karena kita tak memahami bahasa mereka.


 Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita perlu menggali lebih banyak 
info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens - manusia. Mengenal manusia 
tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi untuk mengidentifikasi 
fosil polen atau foram dengan melibatkan DNA, padahal tujuannya hanya 
identifikasi spesies yah buat saya sih berlebihan, sementara kita pun 
belum bisa menguraikan kode miliaran kombinasi sekuen nukleotida itu. 
Perlukah kita mengetahui seluruh aspek kehidupan Florschuetzia 
meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana hidupnya, perkawinan2 yang 
pernah dialaminya, dll. Kalau kita jawab : perlu, yah memang mengurai 
sekuen DNA yang ada di selnya memang diperlukan sebab itu tak bisa 
diperoleh dari sekedar deskripsi.


 Hanya, saat ini rasanya belum perlu. Teknik2 DNA adalah alat utama di 
biomedis dan paleoantropologi - sebab kita hanya berhubungan dengan satu 
spesies : manusia (atau hominid), sementara kita ingin menggali banyak 
informasi daripadanya. Kalau kita hanya ingin mengenal spesies dari 
puluhan ribu taxa pollen ? Deskripsi pun sudah cukup.


 salam,
 awang

Rovicky Dwi Putrohari [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Dear Trina,
Apakah teknik2 PCR yang anda lakukan ini juga dilakukan di Indonesia ?
Saya tahu beberapa alat PCR di Lab Mikrobiologi UI. Tetapi mereka
menggunakannya utk mikrobiologi klinik. Belum sampai ke fossil,
tentunya sampel preparasinya akan sangat berbeda. Namun masih manual,
belum otomatis. Apakah alat-alatnya juga sama ?

Selama ini sepertinya biaya utk PCR dalam isolasi DNA masih relatip
mahal (100-200 ribu rups  ini harga utk kebutuhan klinis looh
(Rumah Sakit). Reagent-reagent kitsnya pun kebanyakanmasih impor. Saya
ngga tau apakah Trina tahu dimana ada reagent kits yg dibuat didalam
negeri yg mungkin lebih ekonomis.

Kalau boleh Trina cerita Donk buat temen-temen IAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia) ini tentang identifikasi DNA. Dasar teori yang
basic-basic dasar bagian bottom yg paling mudah saja lah.

Thx

RDP

On 2/8/06, Trina Tallei wrote:

Dream can come true. Who knows. Sejauh ini filogenetik
(berdasarkan sekuens DNA) oleh kami dianggap bisa
meluruskan sejarah. Kalau di biologi, taksonomi
Linneaus itu berdasarkan 

[iagi-net-l] Course Field Workshop: Fluvial-Deltaic Sedimentology of Malawa Clastics South Sulawesi_Clossing Date

2006-02-08 Terurut Topik GDA cbn
Dear
Course  Field Workshop
Participant Candidates


This is a reminder that the registration of course and field workshop
Fluvial-Deltaic Sedimentology of Mallawa Clastics, South Sulawesi which
plan to be held in South Sulawesi on February 20-23, 2006. supervised by Dr.
Ir. Andang Bachtiar MSc.
Will be clossed :

Wednesday, February 15th, 2006

We suggest to register as soon as possible before the clossing date (few
seat are still available)



Best Regards,


GDA Consultant
Course Committee


Dear Explorationist,

Considering so many enthusiastic response from previous participants of
the course in 2001 - 2005 we will organize
the Course and Field Workshop :


Fluvial-Deltaic Sedimentology of Malawa Clastics South Sulawesi
on February, 20-23, 2006

Attached to this mail, we include the complete information about the
course. Please have a look, and thanks for your attention. For whom
interested in this course, please do not hesitate to contact us via this
address, phone  fax if there is any further question(s).



Best regards,



GDA Consultant
COURSE COMMITTEE




COURSE TITLE
Fluvial-Deltaic Sedimentology  Of Mallawa Clastics South Sulawesi
DATE
February 20-23' 2006
WHO SHOULD ATTEND?
exploration geologists, development/production geologist, geophysicist,
reservoir engineers, log analyst, petrophysicist  coal geologist.
COURSE VENUE
Mallawa, Soppeng, Bulu Dua, Gattareng, Padang Lampe, Doi-doi, Siloro, South
Sulawesi.
REGISTRATION FEE
- US$ 1.200,- /Person
(include: hotel, lunches, course material, transportation, without airfare)
OBJECTIVE COURSE
Hydrodynamics, Sedimentary Structure, Biogenic Structure, Log Character,
Sequence Stratigraphy, and Experience Outcrop/Core Description guidelines.




THE INSTRUCTOR IS
Dr. Ir. Andang Bachtiar, MSc.
23-year working experience in oil  gas exploration in Indonesia Basins
(Kutai, South Sumatra, Central Sumatra, and East Java basins) has documented
many examples of the said sedimentology and application in exploration,
which he will intensively share with you.

COURSE GENERAL INFORMATION
- Language :  Bahasa Indonesia  English
- Text  Guidebook :  English
- Duration : 4 (Four) days, 5 (five) night
- Quota participants are : 10-20  persons
- Participant fee should has been paid 4 (four)  days before implementation.

For registration please reply this email, phone or fax
more information please contact :
GDA COURSE COMMITTEE
Rizkyani / Johnson / Endra
Jl. Tebet Timur Dalam IV No.24 Jakarta 12820 Indonesia
Phone : 021. 829 2539, 08158911144, 081586434394, 0817843733
Fax : 021. 829 2539
E-mail: [EMAIL PROTECTED] / [EMAIL PROTECTED], Website: www.gda.co.id


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



[iagi-net-l] Mud Mound

2006-02-08 Terurut Topik Ferdinandus . KARTIKO-SAMODRO
Barusan baca report lama
ada target yang disebut mudmounds
sepertinya sempat disinggung waktu diskusi tentang madura.

mungkin ada yang bersedia menjelaskan apa yang dimaksud dengan
mudmounds...?
bagaimana genesanya dan mengapa sering dijadikan target padahal kalau
istilah mud mounds bukannya berarti banyak mudnya yang menyebabkan
porositinya kecil..?

Regards

Kartiko-Samodro
Telp : 3852

This e-mail (including any attached documents) is intended only for the
recipient(s) named above.  It may contain confidential or legally
privileged information and should not be copied or disclosed to, or
otherwise used by, any other person. If you are not a named recipient,
please contact the sender and delete the e-mail from your system.


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



[iagi-net-l] Professor of Palaeontology and Stratigraphy

2006-02-08 Terurut Topik widya
FIY: Anybody interested in more detail about how DNA could
contribute in Palaeontology and Stratigraphy is
adviced to contact the person below.

http://unit.cug.edu.cn/dxy/grzy/lxl/index2.html

Lai Xulong, male, born in 1964. Professor of
Palaeontology and Stratigraphy. BSc (China University
of Geosciences-CUG) 1984, Ph.D (CUG) 1991. He is
currently member of the leading group of Conodont
Association of China. One of the editors of four
monographs: ' The Triassic of Qinling Mountains and
Nieghbouring Areas' (Press of CUG) 1992; '
Sedimentation and Evolution of Qinling Phanerzoic
Basin' (Geological Publishing House)1994; ' Late
Permian to Triassic Ecostratigraphy of Yangtze Plate
and Adajecent Area' ( Science Press )1995; ' Tectonic
Physical Chemistry and Metallogenesis' (Geological
Publishing House)1999. His research interests are in
conodonts and mass extinction during the Permian -
Triassic transitional period, Triassic biostratigraphy
and basinal evolution in Qinling orogenic belt,
Northwest China. Since 1997, he has been involving the
research of ancient DNA -an exciting and challenging
field.

kind regards,
widya


  Original Message
 
 Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re:
 [iagi-net-l]
 Biostratigraphi di shelf atau delta From:Yahdi
 Zaim
 [EMAIL PROTECTED]
 Date:Thu, February 9, 2006 7:20 am
 To:  iagi-net@iagi.or.id
  [EMAIL PROTECTED]

--

 Teman2,

 Rasanya memang berlebihan seperti kata Pak Awang
 analisis DNA untuk fosil
 polen dan foram, meski jika dipandang dari sudut
 ilmu pengetahuan hal
 tersebut ya sah-sah saja.
 Saya pernah mencoba melakukan analisis DNA - sebut
 saja paleo-DNA untuk
 fosil vertebrata, tepatnya tulang metatarsal dari
 fosil Bovidae (kelompok
 kerbau-sapi dan banteng) berumur Plestosen Tengah
 dari Formasi Kabuh,
 Perning, Jawa Timur. Fosil yang saya pilih, secara
 megaskopis sangat
 sedikit  mengalami ubahan ataupun proses
 mineralisasi, karena untuk
 analisis DNA yang  diperlukan salah satunya yang
 penting adalah
 kandungan/unsur zat organiknya,  berupa protein.
 Analisis saya lakukan di
 Laboratorium DNA Prodi (dulu  namanya Departemen)
 Biologi ITB, yang
 alatnya cukup canggih, hasil kerjasama  dengan pihak
 Jepang, kalau tidak
 salah dari University of Nagoya. Sayang  tidak
 berhasil, karena ternyata
 yang namanya fosil, semua unsur organiknya  sangat2
 sedikit bahkan dapat
 dikatakan sudah hilang akibat proses
 ubahan/mineralisasi dan impurities
 yang terjadi selama proses fosilisasi.  Jadi ya
 sayang sekali, karena
 tadinya saya berharap bisa melacak garis  keturunan
 fosil yang saya
 analisis tersebut melalui paleo-DNA.

 Wassalam,

 Yahdi Zaim
 Prodi Teknik Geologi
 KK Geologi dan Paleontologi
 FIKTM - ITB


 - Original Message -
 From: Awang Satyana [EMAIL PROTECTED]
 To: iagi-net@iagi.or.id;
 [EMAIL PROTECTED]
 Sent: Wednesday, February 08, 2006 3:54 PM
 Subject: Re: [iagi-net-l] Re: DNA on fossil -- Re:
 [iagi-net-l]
 Biostratigraphi di shelf atau delta


  Wah, apa perlunya mengurai sekuen DNA suatu
 spesies pollen atau foram
 ?Palinologist mendeskripsi polen untuk mengetahui
 spesiesnya agar
 diketahui zonasi umur dan tempat hidupnya untuk
 membantu penafsiran
 stratigrafi dan lingkungan pengendapan batuan yang
 mengandung polen itu.
 
   Kalau sang palinologist sudah tahu itu
 Florschuetzia trilobata yang biasa
  hidup di antara 35-25 Ma, atau F. levipoli yang
 biasa hidup di 25-10 Ma,
  dan puluhan ribu taxa lagi (diversitas di Indonesia
 untuk Recent taxa
 sangat ekstrim, sampai 30.000 taxa kata Haseldonck,
 1977), apakah perlu
 mengurai sekuen DNA-nya ? Info apa lagi yang mau
 diambil selain
 identifikasi jenis yang sudah bisa dilakukan tanpa
 mengurai kode2
 genetik  yang terkunci di sekuen DNA pun.
 
   Memang sih kita juga tahu bahwa DNA itu memuat
 informasi yang
  menakjubkan. Empat nukleotida pada inti DNA : ATCG
 (adenin, timin,
 sitosin, guanin) pada komosom manusia bisa membuat
 variasi sekuen yang
 jumlahnya luar biasa. 23 kromosom setiap sel sperma
 atau telur misalnya
 bisa berisi sekitar 3 miliar nukleotida. Tapi,
 semaju sekarang pun
 biologi  molekuler, miliaran kode sekuen itu hanya
 mirip
 celotehan-celotehan yang  riuh rendah karena kita
 tak memahami bahasa
 mereka.
 
   Dalam biomedis, DNA memang butuh, sebab kita
 perlu menggali lebih banyak
  info yang dibawa satu spesies, Homo sapiens -
 manusia. Mengenal manusia
 tanpa melibatkan biomolekuler memang dangkal - tapi
 untuk
 mengidentifikasi  fosil polen atau foram dengan
 melibatkan DNA, padahal
 tujuannya hanya  identifikasi spesies yah buat saya
 sih berlebihan,
 sementara kita pun  belum bisa menguraikan kode
 miliaran kombinasi
 sekuen nukleotida itu.  Perlukah kita mengetahui
 seluruh aspek kehidupan
 Florschuetzia
  meridionalis, dari mana asalnya, bagaimana
 hidupnya, perkawinan2 yang
 pernah dialaminya,