Terimakasih Pak Awang atas informasinya. yang menarik ini. Suatu Tantangan
bagi para ahli kebumian perlu ditanggapi dengan serius. Perlu ada pertemuan
khusus untuk membicarakan hal ini. Geoficika yang lebih rinci dari yang
sudah-sudah. Ajak itu teman-teman geofisika. Mereka punya senjata apa saja.
M.Untung
- Original Message -
From: "Awang Satyana"
To: "Forum Himpunan Ahli Geofisika Indonesia" ;
Cc: "Geo Unpad" ; "Eksplorasi BPMIGAS"
Sent: Monday, March 23, 2009 8:59 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Re: [Forum-HAGI] BP Migas Ambil SampelLumpur
Lapindo : (? minyak)
Sejauh data menunjukkan, lumpur disimpulkan berasal dari sekuen Pliosen.
TD sumur Banjar Panji-1 tak pernah mencapai jauh ke dalam Miosen, sekitar
puncaknya saja -itu pun hanya berdasarkan korelasi regional dengan sumur di
dekatnya (Porong-1) yang menembus gamping berumur muda (eq. Wonosari -Miosen
Atas). Tidak ada gamping Kujung I (Oligo-Miosen) yang ditembus sumur. Bahwa
sumur hanya menembus lapisan-lapisan tipis gamping di dalam sekuen Pliosen
masih terbuka kemungkinannya. Tidak ada sampel gamping yang naik ke
permukaan di TD sumur, sehingga spekulasi terbuka. Hanya, tak mungkin Kujung
I sudah ditembus, itu akan sangat tidak masuk akal berdasarkan korelasi
dengan sekitarnya.
Berdasarkan data, wilayah CO2 tinggi di Jawa Timur semuanya terdapat di sisi
utara onshore dan batas offshore, terutama di bagian barat. Perlu
mendapatkan perhatian bahwa wilayah selatan pun berpeluang punya CO2 tinggi
sebab batugamping di sini, berdasarkan data sumur Banjar Panji yang
diekstrapolasi, bisa masuk ke overmature window. Di samping itu, ia bersatu
tempat dengan volkanisme. Dalam kasus seperti ini, CO2 bisa tinggi oleh
thermal degradation karbonat di overmature window, dan volcanic degassing
oleh magma volkanisme.
Metana selalu berasosiasi dengan mud volcanism, suatu hal yang wajar. Dalam
kondisi tertentu bila ia terkonsentrasi melebihi ambang batas terbakar, ia
akan terbakar oleh gesekan udara saja. Saat ini, di banyak tempat
berdasarkan data, kejenuhan konsentrasi semacam itu belum tercapai di
wilayah LUSI. Belum ada penelitian rasio antara kandungan gas helium vs.
metana di wilayah ini. Sebenarnya, itu perlu dilakukan untuk mengetahui
seberapa jauh sistem volkanisme berpengaruh kepada LUSI. Semakin besar
kandungan heliumnya (yang dikarakterisasi dengan isotop He3/He4), semakin
besar ia berasosiasi dengan volkanisme.
Tentang minyak yang dikabarkan keluar (secara signifikan ?) bersamaan
lumpur, saya pikir akan menjadi salah satu kunci dan novum (bukti baru)
untuk memahami asal-muasal LUSI. Sejak awal pun sebenarnya oil film sudah
dilaporkan keluar bersama lumpur, mengambang di atasnya. Kalau di media
ditulis bahwa warnya cairan hitam mengkilat keluar bersama lumpur dan itu
dianggap minyak, maka secara volumetrik ia sudah signifikan dibandingkan
sekedar oil film. Saya tak yakin bahwa BPMIGAS mengambil sampel ini; yang
saya baca di Media Indonesia hari ini, yang mengambil sampel itu adalah
Ditjen Migas, Departemen ESDM, bersama BPLS.
Minyak ini, kalau benar minyak, sangat perlu dikarakterisasi secara detail.
Hasil karakterisasi kemudian harus dibandingkan dengan karakter minyak
lapangan-lapangan minyak di Jawa Timur, baik offshore maupun onshore. Hasil
evaluasi regional saya tentang minyak2 Jawa Timur (dipubilkasi di
Proceedings IPA 2003) menunjukkan bahwa minyak2 ini paraffinic
waxy-moderately waxy, medium-medium high API, low sulfur content, semua data
biomarker dan isotop karbon-13 menunjukkan lingkungan terrestrial-marginal
marine dengan tipe kerogen dominan tipe III. Berdasarkan oil grouping,
secara regional ia tipe "D" mengikuti klasifikasi (Clayton dan Fleet,
1991) - ini artinya "kerogen derived from higher landplant in marginal
marine -deltaic or parallic environment". Minyak2 di onshore Jawa sedikit
lebih bersifat marin daripada minyak2 offshore-nya yang lebih terrestrial,
dan berdasarkan rasio oleanane : hopane -mungkin source onshore sedikit
lebih muda (metode
age-biomarker ini masih harus diselidiki).
Berdasarkan source rock geochemistry dan korelasi, yang paling mungkin
sebagai batuan induk minyak2 ini adalah middle Eocene Ngimbang Bawah dan
sebagian atasnya, dan sebagian kecil Late Oligocene Kujung III. Source
facies dan kekayaan organik kedua batuan induk ini memenuhi syarat dan
berkorelasi positif. Ke depan, hal ini bisa dibuktikan untuk minyak2 Jawa
Timur melalui kandungan biomarker bisnorlupane-nya - Eocene age-diagnostic
biomarker.
Sekali nanti minyak LUSI sudah ada data lengkap geokimianya, akan diketahui
minyak itu asalnya dari mana. Apa pun batuan induknya, berdasarkan diskusi2
di atas dan data sejauh ini, ia tak akan keluar dari Middle Eocene Ngimbang
atau Late Oligocene Kujung III. Apa implikasi ini ? Minyak yang keluar di
titik sembur LUSI berasal jauh dari tempat yang lebih dalam dari TD sumur
Banjar Panj-1. Mengapa ia sampai terbawa dalam semburan lu