Re: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-16 Terurut Topik oki musakti
Dua/tiga tahun yang lalu Don Voelte, bos besar Woodside (waktu ditanya kenapa 
tidak mengikuti jejak Santos, Petronas dan Shell ) mempertanyakan keekonomian 
CBM.
Dia bilang projek CBM seperti di Queensland akan banyak memerlukan statiun 
transmisi/pompakarena tekanan gas yang keluar sangat rendah (saya gak punya 
angka) hingga tidak bisa mengalir natural ke LNG plant. Banyaknya stasiun pompa 
jelas menambah beban biaya yang kudu di recover
Mungkin saat itu dia membandingkan dengan project2 LNG milik Woodside di 
Northwest Shelf yang memang raksasa. Entah kalau hitung-hitungan ini diterapkan 
di projek CBM delta Mahakam atau Sumatra Selatan misalnya.
Selain itu saya juga punya pertanyaan terhadap treatment air buangan. Setahu 
saya di Australia, air hanya ditampund dalam evaporation pond (tentunya dibuat 
kedap hingga tidak mencemari ground water). Teknologi evaporation pond ini 
mungkin sesuai dengan iklim Australia yang kering gersang. Tapi kalau mesti 
diterapkan di Indonesia yang basah dan bercurah hujan tinggi, tentu ceritanya 
bisa lain. 
Begitu pond bocor atau bobol, Bisa-bisa air buangan CBM yang kita semua tahu 
sangat asam dan korosif masuk kedalam sistem air permukaan  daerah tersebut dan 
mengakibatkan bencana lingkungan yang tidak kecil. Rakyat lagi yang susah
SalamOki

--- On Fri, 16/7/10, Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com wrote:

From: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
Subject: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]
To: iagi-net@iagi.or.id
Received: Friday, 16 July, 2010, 2:15 PM

Abah,
 
Sumur2 CBM dan shale gas per satu sumurnya produksinya biasanya di bawah 1 
MMCFGPD, seperti juga ditunjukkan sumur2 pilot punya Pemerintah di Lapangan 
Rambutan yang mengerjakan CBM di Muara Enim coal seams. Sumur2 CBM dangkal, 
rata2 di bawah 3000 ft. Sementara sumur2 shale gas dalam karena mengerjakan 
kitchen. Dari sini saja bisa dilihat bahwa sumur2 CBM mungkin akan lebih 
ekonomis. Tetapi melihatnya lebih detail harus dilakukan sebab sumur2 CBM harus 
dewatering, sementara sumur2 shale gas tidak, tetapi harus ada hydrolic fract.
 
Belum ada insentif khusus untuk K3S existing bila mau eksplorasi dan produksi 
shale gas. Di Tim Migas untuk pengelolaan shale gas ini pernah juga ada usulan 
itu, tetapi belum ada lanjutannya. Beberapa K3S pernah mengusulkan testing 
shale gas dan kami di BPMIGAS menyetujuinya untuk sama2 belajar. Regulasi shale 
gas mungkin hanya akan dibuat untuk wilayah yang sekarang masih terbuka, tetapi 
punya potensi shale gas. Belum ada hitungan2 cost recovery. Sementara ini 
Pemerintah (Ditjen Migas) masih sibuk dengan permintaan WK2 migas dan CBM. 
Shale gas dan hydrate gas masih menunggu. Tetapi bila ada existing WK yang mau 
eksplorasi shale gas boleh2 saja, beberapa sudah disetujui studi shale gasnya, 
dan beberapa sudah melakukan pilot test-nya.
 
salam,
Awang

--- Pada Jum, 16/7/10, yanto R.Sumantri yrs...@rad.net.id menulis:


Dari: yanto R.Sumantri yrs...@rad.net.id
Judul: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]
Kepada: iagi-net iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Jumat, 16 Juli, 2010, 10:56 AM




Pak Awang 

Dari pengalaman negara negara yang sudah memilki CBM
maupun shale gas , sebenarnya mana yang lebih ekonomis dari keduanya ?

Untuk Indonesia , bagaimana secara kontraktual , eksplorasi shale
gas itu dilaksanakan ?
Apakah bagi KKS berproduksi , diberikan
insentif tertentu kalau mereka mau melakukan eksplorasi shale gas ? 
Bgaiamana menghitung cost ecovery nya ?
Si Abah

 Original Message

Subject: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara
Mengenai CBM
From:    Awang Satyana
awangsaty...@yahoo.com
Date:    Fri, July 16, 2010 10:37
am
To:      iagi-net@iagi.or.id
--

Mbak Yuriza,
 
Kontraktor2 CBM di Kutei Basin
mengerjakan coal seams yang relatif tipis (5-20 ft) di deposit Delta
Mahakam, termasuk VICO. Bukti efisiensinya kita belum tahu sebab tahapnya
masih core hole drilling dan sebentar lagi akan dewatering. Tetapi mereka
telah melakukan berbagai studi berdasarkan analog-analog dengan coal seams
proven CBM yang relatif tipis.
 
Indonesia punya
potensi shale gas seperti yang Pak Wikan jelaskan. Beberapa company sudah
mengetesnya sekedar ingin tahu seperti Kondur atau Pertamina. Memang
hasilnya belum signifikan sebab mereka juga tak mengerjakan secara khusus
objektif shale gas. Kebetulan saja shale-nya punya gas reading tinggi.
Kontrak shale gas pun belum ada, regulasinya juga belum ada (pernah
didiskusikan di milis ini). Regulasinya kelihatannya tak akan berjudul
shale gas, tetapi shale reservoir. Kalau yang tight reservoir itu
menggunakan kontrak dan regulasi yang sudah ada. Kontrak yang sudah ada
pun mungkin bisa digunakan untuk eksplorasi shale gas bila memang
potensial. Regulasi kelihatannya hanya akan diperuntukkan buat open area
yang akan mengerjakan shale gas.
 
Coal liquefaction,
sebenarnya Indonesia sangat

Re: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-16 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
2010/7/16 oki musakti geo_musa...@yahoo.com:
 Dua/tiga tahun yang lalu Don Voelte, bos besar Woodside (waktu ditanya kenapa 
 tidak mengikuti jejak Santos, Petronas dan Shell ) mempertanyakan keekonomian 
 CBM.
 Dia bilang projek CBM seperti di Queensland akan banyak memerlukan statiun 
 transmisi/pompakarena tekanan gas yang keluar sangat rendah (saya gak punya 
 angka) hingga tidak bisa mengalir natural ke LNG plant. Banyaknya stasiun 
 pompa jelas menambah beban biaya yang kudu di recover

Dengan fakta yang diungkap Oki diatas (low pressure gas) itulah saya
berpikiran kenapa proyek CBM tidak dibuat seperti kontrak geothermal.
Full Project dari hulu (eksplorasi) hingga hilir (produksi LISTRIK).

Listrik didistribusikan tidak dengan tenaga (energi) yang besar. Cukup
dengan travo dan akan sedikit energi yang hilang selama distribusi
(kecuali listriknya dicuri tentunya).

Jadi saya rasa lebih pas kalau CBM dibuat kontrak full project dari
hulu ke hilir. Dengan demikian perusahaan akan menghasilkan listrik
bukan gas lagi. Dimana secara fisika jelas tidak ada tegana yang
hilang, juga akan lebih berkonsentrasi terhadap kebutuhan energi dalam
negeri.

Btw, saya cenderung memilih piping gas dan cenderung menentang LNG,
karena pada dasarnya tehnologi LNG adalah metode khusus dalam menyedot
energi suatu negara supaya bisa di transfer ke negeri lain.

RDP


PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt  Bdg), 5 departemen, banyak biro...

Ayo siapkan diri!
Hadirilah PIT ke-39 IAGI, Senggigi, Lombok NTB, 22-25 November 2010
-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
-



Re: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-16 Terurut Topik M. Taufik

Pak Oki,
setahu saya air buangan CBM itu tidak sangat asam dan korosif, mungkin 
Pak Oki punya data yang menunjukan hal tersebut dan bisa dishare ke 
kita...setahu saya sih asin saja..
dan CBM juga banyak alternatif selain ke LNG..misalnya PLN, IPP, 
konsumsi lokal dan lain-lain..


jadi bila menurut saya, keekonomian CBM lebih banyak bergantung pada 
konsumsi lokal...nanti tergantung bagaimana perspektif pihak investor


salam,
taufik

On 7/16/2010 1:23 PM, oki musakti wrote:

Dua/tiga tahun yang lalu Don Voelte, bos besar Woodside (waktu ditanya kenapa 
tidak mengikuti jejak Santos, Petronas dan Shell ) mempertanyakan keekonomian 
CBM.
Dia bilang projek CBM seperti di Queensland akan banyak memerlukan statiun 
transmisi/pompakarena tekanan gas yang keluar sangat rendah (saya gak punya 
angka) hingga tidak bisa mengalir natural ke LNG plant. Banyaknya stasiun pompa 
jelas menambah beban biaya yang kudu di recover
Mungkin saat itu dia membandingkan dengan project2 LNG milik Woodside di 
Northwest Shelf yang memang raksasa. Entah kalau hitung-hitungan ini diterapkan 
di projek CBM delta Mahakam atau Sumatra Selatan misalnya.
Selain itu saya juga punya pertanyaan terhadap treatment air buangan. Setahu saya di Australia, air hanya ditampund dalam evaporation pond (tentunya dibuat kedap hingga tidak mencemari ground water). Teknologi evaporation pond ini mungkin sesuai dengan iklim Australia yang kering gersang. Tapi kalau mesti diterapkan di Indonesia yang basah dan bercurah hujan tinggi, tentu ceritanya bisa lain. 
Begitu pond bocor atau bobol, Bisa-bisa air buangan CBM yang kita semua tahu sangat asam dan korosif masuk kedalam sistem air permukaan  daerah tersebut dan mengakibatkan bencana lingkungan yang tidak kecil. Rakyat lagi yang susah

SalamOki

--- On Fri, 16/7/10, Awang Satyanaawangsaty...@yahoo.com  wrote:

From: Awang Satyanaawangsaty...@yahoo.com
Subject: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]
To: iagi-net@iagi.or.id
Received: Friday, 16 July, 2010, 2:15 PM

Abah,
  
Sumur2 CBM dan shale gas per satu sumurnya produksinya biasanya di bawah 1 MMCFGPD, seperti juga ditunjukkan sumur2 pilot punya Pemerintah di Lapangan Rambutan yang mengerjakan CBM di Muara Enim coal seams. Sumur2 CBM dangkal, rata2 di bawah 3000 ft. Sementara sumur2 shale gas dalam karena mengerjakan kitchen. Dari sini saja bisa dilihat bahwa sumur2 CBM mungkin akan lebih ekonomis. Tetapi melihatnya lebih detail harus dilakukan sebab sumur2 CBM harus dewatering, sementara sumur2 shale gas tidak, tetapi harus ada hydrolic fract.
  
Belum ada insentif khusus untuk K3S existing bila mau eksplorasi dan produksi shale gas. Di Tim Migas untuk pengelolaan shale gas ini pernah juga ada usulan itu, tetapi belum ada lanjutannya. Beberapa K3S pernah mengusulkan testing shale gas dan kami di BPMIGAS menyetujuinya untuk sama2 belajar. Regulasi shale gas mungkin hanya akan dibuat untuk wilayah yang sekarang masih terbuka, tetapi punya potensi shale gas. Belum ada hitungan2 cost recovery. Sementara ini Pemerintah (Ditjen Migas) masih sibuk dengan permintaan WK2 migas dan CBM. Shale gas dan hydrate gas masih menunggu. Tetapi bila ada existing WK yang mau eksplorasi shale gas boleh2 saja, beberapa sudah disetujui studi shale gasnya, dan beberapa sudah melakukan pilot test-nya.
  
salam,

Awang

--- Pada Jum, 16/7/10, yanto R.Sumantriyrs...@rad.net.id  menulis:


Dari: yanto R.Sumantriyrs...@rad.net.id
Judul: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]
Kepada: iagi-netiagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Jumat, 16 Juli, 2010, 10:56 AM




Pak Awang

Dari pengalaman negara negara yang sudah memilki CBM
maupun shale gas , sebenarnya mana yang lebih ekonomis dari keduanya ?

Untuk Indonesia , bagaimana secara kontraktual , eksplorasi shale
gas itu dilaksanakan ?
Apakah bagi KKS berproduksi , diberikan
insentif tertentu kalau mereka mau melakukan eksplorasi shale gas ?
Bgaiamana menghitung cost ecovery nya ?
Si Abah

 Original Message

Subject: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara
Mengenai CBM
From:Awang Satyana
awangsaty...@yahoo.com
Date:Fri, July 16, 2010 10:37
am
To:  iagi-net@iagi.or.id
--

Mbak Yuriza,
  
Kontraktor2 CBM di Kutei Basin

mengerjakan coal seams yang relatif tipis (5-20 ft) di deposit Delta
Mahakam, termasuk VICO. Bukti efisiensinya kita belum tahu sebab tahapnya
masih core hole drilling dan sebentar lagi akan dewatering. Tetapi mereka
telah melakukan berbagai studi berdasarkan analog-analog dengan coal seams
proven CBM yang relatif tipis.
  
Indonesia punya

potensi shale gas seperti yang Pak Wikan jelaskan. Beberapa company sudah
mengetesnya sekedar ingin tahu seperti Kondur atau Pertamina. Memang
hasilnya belum signifikan sebab mereka juga tak mengerjakan secara khusus
objektif shale gas. Kebetulan saja shale-nya punya gas reading tinggi.
Kontrak shale gas pun belum ada

Re: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-16 Terurut Topik dedi yusmen
Empat tahun bergelut didunia CBM, merasakan bagaimana tidak mudah 
mengimplementasikan kegiatan CBM ini di tataran praktis, saat ini sudah 20 PSC 
CBM yang di TT, namun cuma segelintir saja yang benar-benar serius menjalankan 
tahap eksplorasinya (data lengkap mungkin dapat disampaikan BPMIgas melalui Pak 
Awang). 

 
Lapangan Rambutan (KKS Migas Medco ) bekerjasama dengan Lemigas sebagai area 
studi dengan 4 sumur test telah menghasilkan gas dari lapisan batubara ini, 
tapi 
hingga saat ini belumlah disebut layak untuk dikembangkan secara komersial.

Berdasar keekonomian memang pengembangan Gas CBM ini Marginal dibandingkan Gas 
Konvesional dengan rata2 IRR 15-25% dan POT  10 tahun (Hasil valuasi yang kami 
lakukan untuk beberapa area diSumatera dan Kalimantan dengan beberapa skenario 
berbeda mengikuti terms dan Condition yang ditetapkan Pemerintah).

Untuk Market/Pemanfaatan memang telah pula dibahas diberbagi kesempatan Joint 
Evaluasi bersma Tim CBM Pemerintah (Ditjen Migas dan BP MIGAS)  yang melibatkan 
Perguruan Tinggi (ITB, UGM, UPN, UNPAD, TRISAKTI) juga di berbagi kesempatan 
seminar IndoCBM, IATMI, IAGI dll. tapi sekali lagi tentu itu baru berupa 
kajian, 
termasuk untuk IPP, LNG, CNG, DME dsbnya

Untuk termsconditon CBM usulan ke Pemerintah, disaat kami bersama Tim 
(Lemigas, 
Medco, Pertamina, PGN) kemudian mendapt masukan dari berbagai Pihak perguruan 
Tinggi dan KPS lain telah pula memberikan kajian masukan sebelum dikeluarkan 
Permen ESDM 33-2006, dengan 2 masukan Model PSC dan Tax-Royalti dimana sekarang 
bertaaabh pula dengan wacana GROSS PSC. sejarah telah membuktikan model PSC ini 
yang tetap digunakan oleh Pemerintah. Apakah dengan model ini industri CBM ini 
akan 'running well' di Indonesia kita lihat saja.

Setidaknya di Australia, Amerika sebagai produsen utama CBM Komersiall saat ini 
menggunakan Model Tax  Royalti, India dulunya memakai model PSC saat ini ikut 
Regim Tax  Royalti, China dan Vietnam yaang memaki model campuran.begitu juga 
Kanada dengan Tax  Royaltinya

Setidaknya, di Quesland State Australia telah menggunakan 20% dari kebutuhan 
Energinya dari CBM. Bahkan Petronas telah membeli proyek LNG Santos  dari CBM 
lebih dari 1 Milyar dolar 2 tahun lalu.  Amerika sebagai Pionir yang dimotori 
BP, telah menggunakan 10% dari CBM untuk kebutuhan Energi Nasional mereka.

Dua Negara itu telah membuktikan CBM KOmersial untuk diproduksikan, Kasus CBM 
di 
INdonesia saat ini sama dengan Kasus Geothermal 20 tahun lalu, yang masih 
dianaktirikan, terbukti sekarang menjadi jargon 'Green Energi'.

CBM, mudah-mudahan akan menemukan jati dirinya juga. Tantangan terbesar insan 
per CBM an saat ini adalah bagaimana agar Gas dari CBM itu dapat diproduksikan 
dan dimanfaatkan segera secara ekonomis, semoga

Dedi Yusmen







From: Rovicky Dwi Putrohari rovi...@gmail.com
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Fri, 16 July, 2010 13:39:05
Subject: Re: Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010/7/16 oki musakti geo_musa...@yahoo.com:
 Dua/tiga tahun yang lalu Don Voelte, bos besar Woodside (waktu ditanya kenapa 
tidak mengikuti jejak Santos, Petronas dan Shell ) mempertanyakan keekonomian 
CBM.
 Dia bilang projek CBM seperti di Queensland akan banyak memerlukan statiun 
transmisi/pompakarena tekanan gas yang keluar sangat rendah (saya gak punya 
angka) hingga tidak bisa mengalir natural ke LNG plant. Banyaknya stasiun 
pompa 
jelas menambah beban biaya yang kudu di recover

Dengan fakta yang diungkap Oki diatas (low pressure gas) itulah saya
berpikiran kenapa proyek CBM tidak dibuat seperti kontrak geothermal.
Full Project dari hulu (eksplorasi) hingga hilir (produksi LISTRIK).

Listrik didistribusikan tidak dengan tenaga (energi) yang besar. Cukup
dengan travo dan akan sedikit energi yang hilang selama distribusi
(kecuali listriknya dicuri tentunya).

Jadi saya rasa lebih pas kalau CBM dibuat kontrak full project dari
hulu ke hilir. Dengan demikian perusahaan akan menghasilkan listrik
bukan gas lagi. Dimana secara fisika jelas tidak ada tegana yang
hilang, juga akan lebih berkonsentrasi terhadap kebutuhan energi dalam
negeri.

Btw, saya cenderung memilih piping gas dan cenderung menentang LNG,
karena pada dasarnya tehnologi LNG adalah metode khusus dalam menyedot
energi suatu negara supaya bisa di transfer ke negeri lain.

RDP


PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt  Bdg), 5 departemen, banyak biro...

Ayo siapkan diri!
Hadirilah PIT ke-39 IAGI, Senggigi, Lombok NTB, 22-25 November 2010
-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe

[Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-15 Terurut Topik yanto R.Sumantri


Pak Awang 

Dari pengalaman negara negara yang sudah memilki CBM
maupun shale gas , sebenarnya mana yang lebih ekonomis dari keduanya ?

Untuk Indonesia , bagaimana secara kontraktual , eksplorasi shale
gas itu dilaksanakan ?
Apakah bagi KKS berproduksi , diberikan
insentif tertentu kalau mereka mau melakukan eksplorasi shale gas ? 
Bgaiamana menghitung cost ecovery nya ?
Si Abah

 Original Message

Subject: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara
Mengenai CBM
From:Awang Satyana
awangsaty...@yahoo.com
Date:Fri, July 16, 2010 10:37
am
To:  iagi-net@iagi.or.id
--

Mbak Yuriza,
 
Kontraktor2 CBM di Kutei Basin
mengerjakan coal seams yang relatif tipis (5-20 ft) di deposit Delta
Mahakam, termasuk VICO. Bukti efisiensinya kita belum tahu sebab tahapnya
masih core hole drilling dan sebentar lagi akan dewatering. Tetapi mereka
telah melakukan berbagai studi berdasarkan analog-analog dengan coal seams
proven CBM yang relatif tipis.
 
Indonesia punya
potensi shale gas seperti yang Pak Wikan jelaskan. Beberapa company sudah
mengetesnya sekedar ingin tahu seperti Kondur atau Pertamina. Memang
hasilnya belum signifikan sebab mereka juga tak mengerjakan secara khusus
objektif shale gas. Kebetulan saja shale-nya punya gas reading tinggi.
Kontrak shale gas pun belum ada, regulasinya juga belum ada (pernah
didiskusikan di milis ini). Regulasinya kelihatannya tak akan berjudul
shale gas, tetapi shale reservoir. Kalau yang tight reservoir itu
menggunakan kontrak dan regulasi yang sudah ada. Kontrak yang sudah ada
pun mungkin bisa digunakan untuk eksplorasi shale gas bila memang
potensial. Regulasi kelihatannya hanya akan diperuntukkan buat open area
yang akan mengerjakan shale gas.
 
Coal liquefaction,
sebenarnya Indonesia sangat potensial sebab dari 86,3 milyar ton batubara
kita 85,2 %-nya low rank. Low rank coal baik untuk dicairkan jadi minyak.
BPPT pernah melakukan kajian teknis dengan Jepang untuk hal ini, dan
Februari lalu PT BA (Bukit Asam) merintis kerja sama dengan Sasol (South
Africa's Synthetic Oil Ltd) untuk membangun fasilitas coal liquefaction di
Indoneesia dengan investasi 10 milyar USD.. Pemerintah (Ditjen Migas)
dalam beberapa kesempatan mempresentasikan energi alternatif ini sebagai
sumberdaya yang lain, jadi protokolnya pasti kondusif.
 
salam,
Awang

--- Pada Kam, 15/7/10,
yuriza.n...@ep.total.no yuriza.n...@ep.total.no menulis:


Dari: yuriza.n...@ep.total.no yuriza.n...@ep.total.no
Judul: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM
Kepada:
iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Kamis, 15 Juli, 2010, 10:19 PM


Kalau boleh nambah pertanyaan pak Awang.
Terus apakah
multilayer coal akan efisien ?
Coal kita rata rata kan cuma tipis
tipis aja di Kaltim (sekitar 5-40an 
meter) tapi dibanyak lapisan,
sejauh ini apa yang dilakukan orang biar 
efisien ?
Melihat
perkembangan gas shale di eropa dan amerika, apakah Indonesia 
punya
potensi ?.
Selain itu bagaimana dengan coal liquifaction ?, katanya
ada perusahaan di 
Indonesia  yang sudah kearah sana, apakah
protokolnya sudah jelas ?..
Makasih

salam
y





Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com 
15.07.2010 17:02
Please respond to
iagi-net@iagi.or.id


To
iagi-net@iagi.or.id
cc

Subject
Bls: [iagi-net-l]
Berbicara Mengenai CBM






Mbak
Yuriza,

Status pengerjaan CBM saat ini menggembirakan, ada
banyak kontrak CBM yang 
telah ditandatangani, sekitar 25 WK CBM
status Juni 2010; sedang 
ditawarkan ada sekitar 10 WK, yang sedang
joint study dalam rangka direct 
offer ada sekitar 5 WK.

Beberapa operator WK CBM di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur telah

mengebor core holes-nya dan ada yang hampir dewatering process.
Belum ada 
yang produksi kecuali pilot hole CBM di Ranbutan Field di
Sumatera Selatan 
(proyek percobaan Pemerintah).

Airnya
memang harus dikeluarkan dulu (dewatering) baru gas yang tertekan 
dan masuk ke retakan2 (cleats) CBM atau matriksnya itu bisa keluar. Yang

generik dari hasil simulasi biasanya dewatering akan mencapai sisa
sekitar 
30 % setelah 4-5 tahun dewatering,saat itu gasnya sudah
mencapai peak 
production-nya. Tetapi dari awal2 dewatering pun gas
sudah keluar hanya 
masih kecil lalu bertambah banyak semakin tahun
berjalan sebab air hasil 
dewatering akan semakin sedikit semakin
berjalan waktu.

salam,
Awang

--- Pada Kam,
15/7/10, yuriza.n...@ep.total.no yuriza.n...@ep.total.no 
menulis:


Dari: yuriza.n...@ep.total.no
yuriza.n...@ep.total.no
Judul: [iagi-net-l] Berbicara
Mengenai CBM
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Kamis, 15
Juli, 2010, 4:44 PM


Pak Awang,

Boleh cerita
bagaimana statusnya CBM di Indonesia saat ini ?.
Aku dengar dengar
katanya 'pengairan' nya bisa sampai dua tahun dulu baru 
bisa
'panen'.
Apakah sudah ada yang produksi (bukan pilot) saat ini ?.

Terima kasih atas informasinya.

salam
y


This e-mail message is intended only for the use of the named
recipient. 
Information contained in this 

Bls: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]

2010-07-15 Terurut Topik Awang Satyana
Abah,
 
Sumur2 CBM dan shale gas per satu sumurnya produksinya biasanya di bawah 1 
MMCFGPD, seperti juga ditunjukkan sumur2 pilot punya Pemerintah di Lapangan 
Rambutan yang mengerjakan CBM di Muara Enim coal seams. Sumur2 CBM dangkal, 
rata2 di bawah 3000 ft. Sementara sumur2 shale gas dalam karena mengerjakan 
kitchen. Dari sini saja bisa dilihat bahwa sumur2 CBM mungkin akan lebih 
ekonomis. Tetapi melihatnya lebih detail harus dilakukan sebab sumur2 CBM harus 
dewatering, sementara sumur2 shale gas tidak, tetapi harus ada hydrolic fract.
 
Belum ada insentif khusus untuk K3S existing bila mau eksplorasi dan produksi 
shale gas. Di Tim Migas untuk pengelolaan shale gas ini pernah juga ada usulan 
itu, tetapi belum ada lanjutannya. Beberapa K3S pernah mengusulkan testing 
shale gas dan kami di BPMIGAS menyetujuinya untuk sama2 belajar. Regulasi shale 
gas mungkin hanya akan dibuat untuk wilayah yang sekarang masih terbuka, tetapi 
punya potensi shale gas. Belum ada hitungan2 cost recovery. Sementara ini 
Pemerintah (Ditjen Migas) masih sibuk dengan permintaan WK2 migas dan CBM. 
Shale gas dan hydrate gas masih menunggu. Tetapi bila ada existing WK yang mau 
eksplorasi shale gas boleh2 saja, beberapa sudah disetujui studi shale gasnya, 
dan beberapa sudah melakukan pilot test-nya.
 
salam,
Awang

--- Pada Jum, 16/7/10, yanto R.Sumantri yrs...@rad.net.id menulis:


Dari: yanto R.Sumantri yrs...@rad.net.id
Judul: [Fwd: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM]
Kepada: iagi-net iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Jumat, 16 Juli, 2010, 10:56 AM




Pak Awang 

Dari pengalaman negara negara yang sudah memilki CBM
maupun shale gas , sebenarnya mana yang lebih ekonomis dari keduanya ?

Untuk Indonesia , bagaimana secara kontraktual , eksplorasi shale
gas itu dilaksanakan ?
Apakah bagi KKS berproduksi , diberikan
insentif tertentu kalau mereka mau melakukan eksplorasi shale gas ? 
Bgaiamana menghitung cost ecovery nya ?
Si Abah

 Original Message

Subject: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara
Mengenai CBM
From:    Awang Satyana
awangsaty...@yahoo.com
Date:    Fri, July 16, 2010 10:37
am
To:      iagi-net@iagi.or.id
--

Mbak Yuriza,
 
Kontraktor2 CBM di Kutei Basin
mengerjakan coal seams yang relatif tipis (5-20 ft) di deposit Delta
Mahakam, termasuk VICO. Bukti efisiensinya kita belum tahu sebab tahapnya
masih core hole drilling dan sebentar lagi akan dewatering. Tetapi mereka
telah melakukan berbagai studi berdasarkan analog-analog dengan coal seams
proven CBM yang relatif tipis.
 
Indonesia punya
potensi shale gas seperti yang Pak Wikan jelaskan. Beberapa company sudah
mengetesnya sekedar ingin tahu seperti Kondur atau Pertamina. Memang
hasilnya belum signifikan sebab mereka juga tak mengerjakan secara khusus
objektif shale gas. Kebetulan saja shale-nya punya gas reading tinggi.
Kontrak shale gas pun belum ada, regulasinya juga belum ada (pernah
didiskusikan di milis ini). Regulasinya kelihatannya tak akan berjudul
shale gas, tetapi shale reservoir. Kalau yang tight reservoir itu
menggunakan kontrak dan regulasi yang sudah ada. Kontrak yang sudah ada
pun mungkin bisa digunakan untuk eksplorasi shale gas bila memang
potensial. Regulasi kelihatannya hanya akan diperuntukkan buat open area
yang akan mengerjakan shale gas.
 
Coal liquefaction,
sebenarnya Indonesia sangat potensial sebab dari 86,3 milyar ton batubara
kita 85,2 %-nya low rank. Low rank coal baik untuk dicairkan jadi minyak.
BPPT pernah melakukan kajian teknis dengan Jepang untuk hal ini, dan
Februari lalu PT BA (Bukit Asam) merintis kerja sama dengan Sasol (South
Africa's Synthetic Oil Ltd) untuk membangun fasilitas coal liquefaction di
Indoneesia dengan investasi 10 milyar USD.. Pemerintah (Ditjen Migas)
dalam beberapa kesempatan mempresentasikan energi alternatif ini sebagai
sumberdaya yang lain, jadi protokolnya pasti kondusif.
 
salam,
Awang

--- Pada Kam, 15/7/10,
yuriza.n...@ep.total.no yuriza.n...@ep.total.no menulis:


Dari: yuriza.n...@ep.total.no yuriza.n...@ep.total.no
Judul: Re: Bls: [iagi-net-l] Berbicara Mengenai CBM
Kepada:
iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Kamis, 15 Juli, 2010, 10:19 PM


Kalau boleh nambah pertanyaan pak Awang.
Terus apakah
multilayer coal akan efisien ?
Coal kita rata rata kan cuma tipis
tipis aja di Kaltim (sekitar 5-40an 
meter) tapi dibanyak lapisan,
sejauh ini apa yang dilakukan orang biar 
efisien ?
Melihat
perkembangan gas shale di eropa dan amerika, apakah Indonesia 
punya
potensi ?.
Selain itu bagaimana dengan coal liquifaction ?, katanya
ada perusahaan di 
Indonesia  yang sudah kearah sana, apakah
protokolnya sudah jelas ?..
Makasih

salam
y





Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com 
15.07.2010 17:02
Please respond to
iagi-net@iagi.or.id


To
iagi-net@iagi.or.id
cc

Subject
Bls: [iagi-net-l]
Berbicara Mengenai CBM






Mbak
Yuriza,

Status pengerjaan CBM saat ini menggembirakan, ada
banyak